SOLOPOS.COM - Ridha al Qadri, Alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Dosen luar biasa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

 

Ridha al Qadri, Alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Dosen luar biasa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Maraknya proram anti-aging (antipenuaan) akhir-akhir ini, dari kosmetik hingga klinik, menggambarkan meningkatnya kesadaran dan perilaku masyarakat kelas atas dan setengah baya di Indonesia dalam memperlambat penuaan tubuh. Banyak yang mengartikan fenomena tersebut sebagai upaya pencitraan diri kalangan tertentu agar tampak cantik dan memesona.

Apakah gejala ini hanyalah upaya kalangan setengah baya (middle age) untuk memperindah dan meremajakan tubuh? Ataukah bisa ditafsirkan lebih dari pencitraan diri agar tampak muda kembali melainkan sebuah persiapan agar tubuh tidak keluar dari kehidupan sosial ketika masuk usia pensiun?

Ekspedisi Mudik 2024

Sebuah upaya antipenuaan bagi kalangan setengah umur adalah persiapan sebelum masa pensiun. Caranya dengan mengembalikan fungsi tubuh, yakni menunda usia fisik yang mudah rusak, seperti menghilangkan kerutan kulit, mengencangkan otot, menguatkan tulang, hingga kesehatan otak. Di antara praktiknya dilakukan melalui terapi, suntik hormon, meditasi, yoga, diet, vegetarian, suplemen vitamin dan injeksi.

Selain mengembalikan fungsi fisik, citra penampilan menjadi hal yang paling populer dalam proyek antipenuaan, seperti kebutuhan para artis, politisi dan publik figur. Sebagai ilustrasi, Mike Featherstone dan Mike Hepworth, dalam artikel Images of Positive Aging (1995), memaparkan perubahan gambaran negatif tentang ”hari tua” menjadi citra produktif di Inggris pada 1970-an, terutama sejak munculnya majalah Retirement Choice yang mewacanakan usia pensiun menjadi lebih positif di kalangan artis, kelas atas hingga politisi.

Sejak muncul disiplin ilmiah gerontology (ilmu tentang usia tua) pada awal abad ke-20, umumnya orang-orang lanjut usia dipahami sebagai anggota masyarakat yang tak sanggup lagi banyak beraktivitas. Sekarang, antipenuaan justru memungkinkan mereka melampaui stereotip lanjut usia yang dianggap pasif. Ketika masuk usia tua, tubuh mereka masih sanggup berperilaku layaknya remaja, seperti berpakaian, belanja, traveling, menikmati waktu luang (leisure time),  cinta, seks dan gaya hidup. Menjadi tua secara umur ternyata masih bisa aktif dan konsumtif secara fisik.

Untuk menunjang persiapan prapensiun, seperti mengembalikan fungsi tubuh, citra penampilan dan agar tetap aktif dan produktif, usia fisik tubuh mesti direkonstruksi. Sedangkan usia kronologis dapat disamarkan. Maka, sifat historis tubuh menjadi rumit. Tubuh pun menjadi tanpa sejarah ketika ciri-ciri penuaan tubuh diperlambat. Tubuh kemudian diposisikan melampaui kategori pengalaman sosio-temporer.

 

Identitas

Lalu apakah implikasi dari masyarakat antipenuaan yang tak sekadar untuk mengubah penampilan, tapi juga agar bisa tetap aktif dan produktif di masa tua, melampaui kategori sosialnya (pensiun)? Persoalannya di masyarakat, hingga sekarang ini, orang lanjut usia dianggap tak lagi menguntungkan, baik dari segi ekonomis dan fungsional.

Orang tua membawa persoalan-persoalan sosial, seperti sakit, kejiwaan, perawatan dan tunjangan makan. Tak mengherankan bila kalangan usia menengah mulai menyiapkan berbagai cara untuk mengurangi risiko-risiko negatif, khususnya kesehatan, di masa pensiun nanti. Masalahnya memang bukan soal kesehatan tubuh. Kesehatan hal yang penting. Masalahnya pada perlakuan ekonomis yang menempatkan tubuh manusia ibarat barang dagangan.

Mirip modal dan investasi, tubuh dipelihara melalui berbagai cara untuk memperpanjang usia ekonomis dan fungsionalnya. Bukankah sebaliknya justru banyak pepatah mengatakan, jika orang makin tua berarti kebutuhan ketenangan jiwa lebih besar? Produktivitas tubuh di masa tua mungkin justru menambah tekanan psikis. Secara kontradiktif, bisakah meremajakan jiwa?

Masalah lainnya, definisi pensiun pun akan bergeser seiring produktivitas orang tua terus berlanjut hampir seperti di waktu muda. Ranah-ranah sosial, seperti konsumsi dan pekerjaan, sangat sulit menyisihkan orang tua dari area publik, mengingat masyarakat kelas atas dan setengah baya sudah bersiap-siap menghadapi pertarungan profesi, politik dan ekonomi hingga mereka tua.

Hal yang juga perlu diantisipasi adalah makin meningkatnya konflik antargenerasi, baik di wilayah keluarga maupun publik. Di sebuah keluarga, misalnya, sudah lazim dipahami konflik lintas usia, khususnya menantu dan mertua dalam mengelola rumah tangga. Orang tua sebagai simbol tertinggi dalam kuasa keluarga, yang merasa masih kuat secara fisik dan pikiran, kadang menyulitkan generasi penerusnya dalam mengartikulasikan kebutuhan dan operasionalisasi rumah tangga.

Kesehatan hal yang penting dan wajar. Tapi, politik usia dijalankan ketika faktor kesehatan hanyalah unsur lain dari aspek kepentingan akumulasi kuasa, baik kuasa kultural (artis), kuasa sosial (politisi), kuasa simbolik (keluarga). Melalui antipenuaan, tubuh usia menengah (mid-life) yang menuju usia tua (old age) justru disiapkan untuk mengakumulasi modal-modal politik.

Inilah sebuah perilaku politik identitas yang memanfaatkan usia sebagai posisi-posisi distingtif dan mengaburkan dengan usia yang lebih muda. Ada baiknya kita mengingat syair lagu Elpamaz berjudul Pak Tua. Konon lagu ini sejenis sindiran bagi Presiden ke-2 Republik Indonesia. Pak Tua istirahatlah, di luar banyak angin… / Pak Tua sudahlah, engkau sudah terlihat lelah… / Pak Tua sudahlah, kami mampu untuk bekerja. (ridhaalqadri@gmail.com)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya