SOLOPOS.COM - Heru Agus Prayitno, Presiden BEM FISIP UNS Solo. (FOTO/Istimewa)

Heru Agus Prayitno, Presiden BEM FISIP UNS Solo. (FOTO/Istimewa)

Setelah kasus Polri yang menarik enam belas penyidiknya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini giliran DPR yang mulai ikut-ikutan “bermain” dengan KPK. Diawali dari sebuah wacana revisi Undang-Undang KPK, alih alih bukan makin menguatkan, tapi “mengebiri” sang cicak ini. Tentu ini adalah kejadian yang kontras dengan apa yang digembar-gemborkan pemerintah melalui semangat pemberantasan korupsinya. Ketika banyak masyarakat yang gelisah akan semakin banyaknya kasus korupsi yang mencuat maupun “tidak mencuat” di media, kemudian muncul lagi modus baru untuk melanggengkan korupsi di negeri ini.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Dilihat dari perspektif struktural sistemik, korupsi bersumber dari kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai perangkat pokoknya. Sistem rezim politik jelas berpengaruh terhadap menjamurnya korupsi, seperti Orde Baru yang kuat akan sistem otoriternya. Dengan kekuasaan presiden yang hampir tidak terbatas ditambah dengan transparansi yang diciutkan, membuat keleluasaan untuk “memakan” uang negara semakin tinggi. Apalagi dulu belum ada lembaga yang diberikan kewenangan khusus untuk memonitor secara langsung korupsi pemerintahan, seperti KPK sekarang ini. Bahkan ketika reformasi dan dengan adanya KPK pun pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan.

Keadaan saat dan pasca-Orde Baru memang menunjukkan perbedaan yang mendasar dari sistem politiknya. Orde Baru dengan multipartai semu karena lebih menjorok ke salah satu golongan saja. Sementara reformasi sekarang ini dengan sistem multipartai yang lebih demokratis. Secara garis pengawasan antara legislatif kepada eksekutif, era reformasi lebih baik, karena sekarang tidak hanya satu partai yang menguasai mayoritas kursi parlemen, sehingga mekanisme pengawasan akan lebih berjalan, meskipun efektivitas pemerintahan agak berkurang. Namun inilah yang memang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan, yakni pengawasan oleh legislatif sebagai representasi seluruh rakyat dalam bentuk majelis/parlemen. Dengan begitu, skema check and balance dalam pemerintahan dapat terjadi.

Seharusnya dengan sistem pengawasan yang lebih baik, era reformasi harus jauh lebih menunjukan peningkatan dalam pemberantasan korupsi. Kerja sama antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif mutlak diperlukan. Lembaga eksekutif sebagai pelaksana roda pemerintahan, legislatif sebagai pengawas dengan pembuatan dan pengesahan kebijakan sebagai alatnya, dan yudikatif sebagai pemutus dan eksekutor pelanggaran terhadap peraturan. Ketiganya harus disinergikan dalam semangat pemberantasan korupsi. Namun lain halnya jika salah satu pihak ini menggunakan kewenangannya untuk hal sebaliknya, seperti yang terjadi sekarang ini, di mana DPR yang gencar untuk melakukan revisi UU KPK. Merevisi pasal tentang kasus korupsi yang boleh ditangani KPK minimal adalah Rp5 miliar dari yang tadinya Rp1 miliar. Padahal jika ini terjadi, maka efektivitas KPK dalam menangani kasus korupsi makin berkurang karena wilayah jangkauannya semakin terbatas hanya kepada koruptor Rp5 miliar atau di atasnya. Secara kuantitatif tentu akan menurunkan kinerja KPK.

Kemudian pasal hasil revisi yang mengharuskan KPK untuk meminta izin ketua pengadilan negeri setempat di mana penyadapan akan dilakukan kepada terduga koruptor. Pelemahan ini sifatnya administratif karena penyadapan ini panjang tahapnya, ditambah lagi dengan izin kepada ketua pengadilan negeri, yang mana ketika izin tersebut tidak dikeluarkan maka KPK tidak akan bisa melakukan penyadapan. Tentu saja ini akan semakin menambah panjang proses perizinan. Padahal ini adalah “senjata” khusus yang memang harus dipakai KPK untuk mengungkap kasus korupsi. Kemudian tentang pasal yang berisi pembentukan Dewan Pengawas KPK dan pasal tentang penyidikan yang akan dihilangkan berdasar draf revisi UU KPK.

Bentuk manifestasi pemberantasan korupsi seperti inilah yang dianggap sebagai kekurangseriusan pemerintah era reformasi dalam melaksanakan agenda pemberantasan korupsi. Perbedaanya dengan pemerintah Orde Baru adalah penyebaran dan jumlah korupsinya. Ketika Orde Baru, lembaga pengawas dan penegak hukum seperti tidak berdaya menghadapi tangan besi penguasa, sehingga penguasa bisa sewenang-wenang dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi negara untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

Di era reformasi, penguasa saling “berbagi keadilan” terhadap sumber daya ekonomi tersebut, dan ketika ada satu pihak yang merasa tidak diberikan “keadilan”, maka ia akan berteriak lantang mencari kawannya yang korupsi dan bersama menyeretnya ke pengadilan.

Dengan makin maraknya kasus tindak pidana korupsi, bukan hanya pada level “yang diawasi” tapi juga “yang mengawasi”, tentu menjadi agenda besar yang harus diselesaikan oleh KPK. Biar bagaimana pun, KPK adalah lini terdepan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini yang masih bisa diandalkan meskipun seringkali dilemahkan, karena mengingat lembaga penegak hukum lainnya masih tercekik oleh mafia peradilan. Keadaan KPK saat ini, dengan begitu banyak berondongan pelemahan, mulai dari Polri dan DPR yang mungkin tidak ingin KPK ini menangkap mereka, juga menjadi hal yang harus diperhitungkan agar KPK bisa tetap eksis dalam perburuan koruptor negeri.

Bukan saja Polri dan DPR, karena mungkin saja di depan nanti ada pihak lain yang juga “takut” pada “serangan gerilya” ini sehingga arus pelemahan terhadap KPK akan semakin kuat. Maju terus KPK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya