SOLOPOS.COM - Eric Alexander Sugandi (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (8/5/2015), ditulis Eric Alexander Sugandi. Penulis adalah Ekonom Senior Standard Chartered Bank.

Solopos.com, SOLO — Pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla (Jokowi-JK) melakukan beberapa reformasi kebijakan di bidang ekonomi dalam enam bulan pertamanya. Dua kebijakan yang paling mengemuka adalah reformasi di sektor energi (dengan menghapus subsidi untuk premium dan menetapkan nilai subsidi tetap untuk solar) dan reformasi anggaran (dengan mengalokasikan lebih banyak porsi dana untuk pembangunan infrastruktur).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kedua kebijakan tersebut mendapatkan apresiasi positif lembaga-lembaga pemeringkat internasional dan investor global di pasar finansial karena dianggap dapat menyehatkan neraca keuangan pemerintah dan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.

Meskipun meyakini niat baik dan kerja keras pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian nasional, ada beberapa catatan yang hendak disampaikan penulis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Penulis melihat ada beberapa kelemahan yang harus segera diperbaiki pemerintah dalam mengeluarkan dan menjalankan kebijakan ekonomi: penetapan target yang terlalu ambisius; perencanaan yang kurang matang; koordinasi antarlembaga yang lemah; dan komunikasi politik yang kurang baik.

Penulis melihat beberapa target yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 terlalu ambisius dan sulit dicapai walau bukan mustahil. Angka pertumbuhan ekonomi pada 5,7% untuk 2015 mungkin sangat berat dicapai mengingat kondisi ekonomi eksternal dan domestik Indonesia. Perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai salah satu negara tujuan utama ekspor komoditas energi Indonesia dan masih lemahnya harga komoditas di pasar dunia kelihatannya masih menghambat pemulihan kinerja ekspor Indonesia.

Di sisi lain, kebijakan pengetatan moneter oleh Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan defisit neraca transaksi berjalan ikut memperlambat pertumbuhan ekonomi. Penulis juga melihat target penerimaan pajak pada APBN-P 2015 yang lebih tinggi 30% daripada realisasi penerimaan pajak pada 2014 akan sulit dicapai mengingat masih lemahnya sistem perpajakan di Indonesia. Dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mereformasi sistem perpajakan.

Para pelaku bisnis di sektor riil kerap kali dibingungkan oleh arah kebijakan pemerintah. Beberapa kebijakan terkesan dibuat setengah matang, kurang memperoleh masukan, dan tidak cukup waktu untuk disosialisasikan. Misalnya kebijakan pelarangan pegawai negeri sipil (PNS) rapat di hotel dan kebijakan pemotongan harga jual semen Rp3.000 per sak yang merugikan pelaku bisnis di sektor terkait.

Koordinasi kebijakan antarlembaga pemerintah juga terkesan lemah. Contohnya adalah pergesekan kepentingan terjadi antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Kementerian Pariwisata sehubungan dengan pelarangan PNS untuk rapat di hotel, maupun antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian soal pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket.

Konflik kepentingan juga terjadi antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya antara Gubernur DKI dengan beberapa kementerian: Kementerian Perikanan dan Kelautan mengenai reklamasi Pantai Utara Jakarta, Kementerian BUMN mengenai pemadaman listrik oleh PLN ketika terjadi banjir di Jakarta, Kementerian Dalam Negeri mengenai Pergub APBD 2015, dan Kementerian Perdagangan soal pelarangan penjualan minuman beralkohol.

Walaupun pada akhirnya pergesekan kepentingan antarlembaga ini bisa diselesaikan, perdebatan yang telanjur terjadi di ranah publik mengesankan ketidakkompakan dalam kabinet. [Komunikasi Politik]

 

Komunikasi Politik
Pemerintah terkadang kurang melakukan komunikasi politik dengan baik. Ketika BI mgetatkan kebijakan moneter untuk mengatasi defisit neraca transaksi berjalan, pemerintah secara terbuka sempat meminta BI menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ketika BI rate diturunkan 25 bps ke 7,50% pada Februari 2015—di luar konsensus pasar–banyak pelaku pasar yang menduga BI mendapatkan tekanan dari pemerintah. Walaupun BI mengaku tidak ada tekanan dalam penurunan suku bunga, lebih baik pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa menimbulkan kecurigaan para pelaku pasar bahwa BI mulai kehilangan independensinya dalam pembuatan kebijakan moneter.

Pemerintah juga kerap membingungkan investor asing baik di sektor finansial maupun sektor riil dengan mengeluarkan retorika nasionalistis dan sosialistis untuk menarik simpati publik ketika pemerintah justru mengundang investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Penulis berpendapat tidak ada yang salah jika pemerintah menjalankan kebijakan ekonomi yang nasionalistis dan sosialistis selama untuk kepentingan rakyat banyak dan berada dalam koridor UUD 1945. Meski demikian, pemerintah harus memberikan kejelasan arah kebijakan yang akan ditempuh pada sektor-sektor yang dimasuki oleh investor asing tersebut.

Salah satu agenda kebijakan yang masih menggantung adalah rencana pembatasan kepemilikan oleh asing di sektor perbankan yang sudah bertahun-tahun tertunda pembahasannya sebagai RUU di DPR.

Beberapa catatan di atas bukanlah hal yang sulit diperbaiki oleh pemerintahan Jokowi-JK. Ada beberapa masukan yang hendak penulis sampaikan kepada pemerintah sehubungan dengan kebijakan ekonomi.

Pertama, pemerintah perlu mulai melihat realitas dan tidak membuat target-target anggaran yang terlalu muluk-muluk. Kebijakan yang populis tidak selalu mudah dilaksanakan dan selalu ada trade-off (tarik ulur) antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Penulis berpendapat akan lebih baik jika dalam dua tahun pertamanya, Jokowi-JK memfokuskan diri pada konsolidasi ekonomi domestik di antaranya menurunkan defisit neraca transaksi berjalan ketimbang mengejar target pertumbuhan tinggi. Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa ditetapkan setelah konsolidasi domestik selesai dilakukan.

Kedua, pemerintah harus memperbaiki koordinasi antarkementerian mulai dari tahap perencanaan sampai implementasi dan evaluasi. Jangan terburu-buru mengeluarkan kebijakan populis yang “kejar tayang”. Akan lebih baik lagi para pemangku kepentingan termasuk para pelaku usaha dimintai masukan pada waktu kebijakan dibuat.

Ketiga, para pejabat pemerintah di tingkat pusat maupun daerah hendaknya lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan agar tidak membingungkan masyarakat. Para pejabat publik lebih baik tidak memberikan pendapat pribadi kepada masyarakat mengenai bidang kerja pejabat lain. Akan lebih baik para pejabat yang berkaitan memberikan keterangan pers bersama-sama daripada saling mengomentari hal yang bukan wewenang mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya