SOLOPOS.COM - Muhammadun madun.as@gmail.com Pemimpin Redaksi Majalah Bangkit Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY

 

 

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Muhammadun madun.as@gmail.com Pemimpin Redaksi Majalah Bangkit Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY

Muhammadun
madun.as@gmail.com
Pemimpin Redaksi
Majalah Bangkit
Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama DIY

Pada 30 Desember 2013 lalu genap empat tahun sudah Indonesia kehilangan sosok  K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Banyak kenangan dan obituarium yang dituliskan dengan berbagai perspektif untuk membaca teks bernama Gus Dur.

Tetapi, Gus Dur bukanlah teks yang monilitik, yang hanya bisa dibaca dalam satu atau dua perspektif. Gus Dur menjadi teks terbuka yang bisa dibaca dalam beragam tafsir baru yang terus ”diperebutkan”.

Teks bernama Gus Dur sangat baik dan menantang untuk terus-menerus dibaca. Gus Dur telah meninggalkan banyak warisan yang sangat inspiratif untuk generasi masa depan.

Sebagai teks, Gus Dur bukanlah sekadar harus dibaca terus-menerus. Membaca Gus Dur harus diikuti dengan menulis Gus Dur agar teks bernama Gus Dur bisa dibaca dengan baik, juga sekaligus ditulis dengan baik pula. Teks Gus Dur memang menarik.

Menulis ihwal Gus Dur berarti memungkinkannya menjadi abadi, tentu dalam kerangka bukan untuk menjadi kultus individu yang mematikan daya intelektualitas.

Tetapi, menulis Gus Dur akan selalu memantikkan diskursus baru. Bukan dengan memuja dan membanggakan Gus Dur. Sangat menarik kalau membaca Gus Dur dengan kritis dan mengkritik pemikiran Gus Dur.

Syaiful Arif (2009) melihat Gus Dur bukanlah sosok yang telah menjadi, tanpa proses pembentukan dan gejolak pemikiran. Mengenang Gus Dur janganlah hanya memahaminya secara taken for granted, hanya diterima begitu saja.

Gus Dur justru akan tersenyum di alam barzakh kalau kita pahami  pemikirannya secara kritis dan sering mempertanyakan. Bangsa Indonesia harus menjadi murid Gus Dur yang baik. Konon, murid yang baik adalah yang berani dan memberanikan diri mengkritik dan mempertanyakan pemikiran gurunya.

Justru di situlah letak kesuksesan sang guru karena telah meletakkan dasar-dasar pemikiran yang terbuka dan otonom kepada muridnya. Dalam khazanah hukum Islam, Imam Syafi’i, pendiri Mazhab Syafi’iyah, dengan tegas dan kritis mengkritik pemikiran gurunya, Imam Malik, pendiri Mazhab Malikiyah.

Begitu gencar Imam Syafi’i mengkritik gurunya sehingga terdapat ribuan persoalan antara keduanya yang saling bertentangan. Tetapi,  keduanya tetap saling menghormati dan menyayangi, tanpa ada tendensi apa pun.

Bahkan Imam Malik sangat bangga melihat muridnya yang kritis dan gencar menentang atau mengkritik pemikiran yang difatwakannya. Pembacaan atas Gus Dur secara kritis menjadikan kita mampu meletakkan Gus Dur secara proporsional sebagai seorang intelektual.

Gus Dur merupakan intelektual organik, meminjam istilah khas Antonio Gramsci. Yakni seorang pemikir yang mewakili dan menyuarakan harapan, keputusasaan, dan aspirasi kelompok dan golongan sosial tertentu; pemikir dengan lokasi sosial yang jelas, bukan mengawang-awang.

Gus Dur bukanlah seorang intelektual yang ”berumah di angin”, istilah yang pernah dipakai Arif Budiman dulu. Gerbong intelektualisme Gus Dur bukan tersekat dalam lokus tertentu saja. Gus Dur mampu tampil sebagai intelektual kritis dalam beragam peta kehidupan.

 

Menjadi Negara

Biografi intelektual Gus Dur terhampar dalam berbagai diskursus. Mulai medan pengetahun dan kekuasan, paradigma transformatif, pembebasan tanpa Marx, agama sebagai kritik pembangunan, pesantren sebagai sub-budaya, pribumisasi Islam, batas pembaruan Islam, anarkhisme kebudayaan, dan antinegara sentris.

Demikianlah neraca intelektual Gus Dur. Tak salah kalau kita menyebut Gus Dur sebagai ”guru ilmu sosial kritis” karena begitu besarnya neraca biografi intelektual dalam diri Gus Dur.

Alamat ini jelas sangat cermat. Bukan untuk mengultuskan individu  Gus Dur, karena objektif juga mewartakan bahwa Gus Dur bukan sekadar mampu memahamai pemaknaan ilmu sosial yang menjelimet sekali pun, tetapi Gus Dur juga mampu mengoperasikan gagasan ilmu sosialnya untuk memutus beragam ketimpangan sosial yang tidak sesuai dengan visi keadilan dan kemanusiaan.

Ketika Gus Dur belum berada di dalam birokrasi negara, kelihatan sekali Gus Dur berani menjadikan demokrasi yang mengusung kebebasan, kemanusiaan, dan kesetaraan. Tak pelak, saat itu Orde Baru sering kali kebakaran jenggot dengan berbagai ”ulah kritis” Gus Dur yang selalu menabrak kebijakan negara.

Ketika sudah ”menjadi negara”, Gus Dur juga tidak kehilangan daya kritisnya. Terbukti, Istana Negara saat itu menjelma menjadi istana rakyat. Walaupun akhirnya sejarah menggerakkan gerak liniernya: Gus Dur dihancurkan oleh negara. Saat itu Gus Dur sudah terperangkap dalam ”pasar besar” politik pasca-Orde Baru.

Kegagalan Gus Dur ”menjadi negara” ini menjadi indikasi bahwa Gus Dur absen dalam kritik ontologis atas negara. Yang terjadi, Gus Dur sering kali “mengecilkan tubuh negara”. Dan tanpa sadar, absennya kesadaran ontologis inilah yang membuat Gus Dur tetap bersikukuh ingin ”menjadi negara” lagi melalui partai politik.



Gus Dur akhirnya juga gagal ”menjadi negara” lagi ketika Gus Dur gagal maju sebagai calon presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Gus Dur akhirnya menjadi ”emas yang ditopang oleh bambu nan rapuh”, demikian pepatah yang tersirat.

Gus Dur akhirnya memang absen dalam melakukan kritik epistemologis yang menyediakan basis kritik atas muatan historis-ideologis bagi sebuah diskursus.

Dengan membaca biografi sosial Gus Dur secara proporsional demikian, kita bisa menjadi genesis warga yang bebas dan terbuka dalam membaca pemikiran Gus Dur. Sekali lagi, dengan pembacaan yang kritis atas Gus Dur inilah yang bisa membuat Gus Dur tersenyum di alam kubur sana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya