SOLOPOS.COM - Ilustrasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos Kamis (8/6/2017), ditulis A. Windarto, peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO–Esai Albertus Rusputranto P.A. berjudul Bung Karno, Lenso, Cha-Cha (Solopos, 2/6/2017) memperlihatkan betapa legendarisnya Presiden pertama Republik Indonesia itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pasukan pengawal pribadinya sanggup melayani kesukaannya pada hiburan seperti menyanyi dan menari dengan menjadi pemain musik pada setiap acara.

Sebagaimana dikutip Saya Sasaki Shiraishi (2001) dari autobiografi Sukarno seperti dituturkan kepada Cindy Adams (1965), Cakrabirawa adalah suatu pasukan khusus terdiri dari 3.000 orang dari empat angkatan.

Ekspedisi Mudik 2024

Unit ini dibentuk pada hari ulang tahun Presiden Soekarno pada 1962. Pasukan pengawal pribadi itu terbagi dalam beberapa detasemen yang 300 orang di antara mereka bergolongan darah sama dengan Bung Karno.

Tampak betapa Bung Karno sangat dekat dengan para anak buahnya. Kedekatan ini sungguh bersifat personal. Tak mengherankan panggilan ”Bapak” lebih populer dipakai daripada “Presiden”, terutama ketika Bung Karno bertindak di luar pengetahuan para pengawal pribadinya, seperti “menyelinap keluar istana dengan diam-diam.”

Hal itu ditanggapi oleh anak buahnya dengan mengirimi surat yang berbunyi: Bapak yang tercinta. Kami bertanggung jawab atas keselamatan Bapak. Mohon dengan sangat agar Bapak tidak lagi diam-diam menyelinap keluar. (Tertanda) Para Pengawal Bapak.

Selanjutnya adalah: Bung Karno adalah sosok yang secara emosional…

Emosional

Kenyataan itu menunjukkan Bung Karno adalah sosok yang secara emosional mampu menciptakan stabilitas, termasuk loyalitas, yang luar biasa. Masuk akal ketika meletus peristiwa G 30 S atau Gestok 1965 yang dipimpin Letnan Kolonel Untung yang merupakan komandan unit Cakrabirawa, Bung Karno justru berkata,”Yang semacam ini biasa dalam revolusi.”

Artinya, sejauh Bung Karno pernah mengalami hal serupa saat ”diculik” segerombolan pemuda ke Rengasdengklok pada 1945, peristiwa yang meledak 20 tahun sesudahnya bukan sesuatu yang perlu untuk dihancurkan ”sampai ke akar-akarnya”.

Cukuplah peristiwa itu—menurut Bung Karno–dipahami sebagai gaya pemuda Indonesia yang masih mudah membara dan terbakar oleh emosi yang tidak stabil. Itulah mengapa BK tidak pernah menyalahkan, apalagi menghukum, ”anak buah” yang telah menculiknya, bahkan yang gagal menjalalankan sebuah kudeta.

Menjadi Bapak

Pada titik ini Bung Karno bukan mau membalikkan punggung terhadap kekejaman-kekejaman (Siegel, 2001) yang telah terjadi. Dia justru ingin menjalankan peran sebagai ”bapak” yang tahu dan kenal dengan baik anak buahnya.

Itulah jenis hubungan yang sejak zaman revolusi dicita-citakan oleh Jenderal Sudirman. Dalam hubungan ini, anak buah boleh saja memberontak terhadap bapak, namun hanya demi melindungi perannya sebagai bapak.

Ketika Bung Karno dianggap telah gagal menghidupkan peran kebapakan, Wikana yang merupakan anak emasnya, bersama Sukarni dan serombongan pemuda lain, menculiknya dan membawa ke Rengasdengklok.

Sebagai seorang politikus kawakan, BK justru memutuskan untuk mengalah kepada para pemuda yang sebelumnya mengancam dan menghardiknya dengan sebilah pisau panjang dan pistol.

Keputusan serupa juga diambil ketika pada 1 Oktober 1965 kabar kudeta gagal yang dijalankan oleh sejumlah ”anak buahnya” telah sampai ke telinganya. Bung Karno tidak langsung menangkapi para penculik jenderal-jenderal Angkatan Darat, apalagi menghancurkan gerakan itu.

Dia berupaya menempatkan kudeta yang ”diarahkan kepada jenderal-jenderal dan perwira-perwira yang gila kekuasaan yang telah menelantarkan nasib anak buah” dalam konteks hubungan ”bapak dan anak buah”.

Hubungan yang lebih bersifat informal daripada hierarkis dan struktural seturut pengalaman para pejuang awal pada masa revolusi. Sayangnya, tidak semua perwira yang lebih tinggi dari letnan kolonel tertarik dengan pengalaman dan hubungan yang menimbulkan gerakan pada 30 September 1965.

Salah satunya Mayor Jenderal Soeharto yang dengan cerdik memanfaatkannya untuk menggalang dukungan bagi kubunya, sekaligus menghancurkan gerakan itu. Akibatnya, hubungan ”bapak dan anak buah” diganti dengan sosok “godfather” baru yang akan mengatur jalannya sejarah di negeri ini.

Sosok itulah yang selama lebih dari 30 tahun telah melarang anak untuk menentang bapak, dan sebaliknya memperbolehkan bapak berkata,”Begitulah!”  Figur Penyambung Lidah Rakyat pun lenyap di hadapan orang-orang yang pada zaman Bung Karno berkuasa masih merasa bahwa suara mereka didengarkan dan kepentingan mereka disuarakan.

Selanjutnya: Saat dan tempat tepat di hati dan pikiran rakyat…

Pikiran rakyat



Sulit untuk dibantah pada zaman Bung Karno berkuasa figur itu telah mendapatkan saat dan tempat yang tepat di hati dan pikiran rakyat. Artinya, melalui Bung Karno rakyat sungguh merasakan bahwa apa yang dikatakan Bung Karno adalah apa yang mereka pikirkan.

Berbeda dengan dewasa ini ketika orang-orang yang bersedia mengemban amanat rakyat tidak kurang, tetapi justru tidak mudah untuk menemukan orang-orang yang memikirkan suara dan kepentingan rakyat. Singkatnya, mereka—orang-orang yang memikirkan kepentingan rakyat–adalah orang-orang langka yang merupakan bagian dari yang dibuang dari pikiran.

Langkanya orang-orang yang seperti itu pada masa kini merupakan cermin dari pengabaian, bahkan pembuangan, pendapat atas, misalnya, kematian sekitar ratusan ribu dan mungkin hampir satu juta orang selama 1965-1966.

Kematian yang terkait dengan peristiwa Gestapu (Gerakan 30 September) itu hingga saat ini masih dianggap ”biasa-biasa saja” (Anderson, 2013), meski Pengadilan Rakyat Internasional 1965 pada setahun lalu telah memutuskannya sebagai sebuah ”genosida”.

Bukan sekadar ”anak buah” Bung Karno yang dihilangkan nyawanya akibat kudeta gagal itu, melainkan juga sebagian besar rakyat yang lidahnya pernah merasa disambungkan olehnya.

Kenyataan yang telah menghilangkan tokoh zaman sehebat Bung Karno itu agaknya perlu dipelajari lebih dalam agar tidak terjadi kelangkaan atau fosilisasi jiwa dan semangat untuk mengimajinasikan Indonesia yang dikenal dan dikagumi bangsa-bangsa di seluruh dunia seperti terjadi pada zaman Bung Karno.

Bukan kebetulan belaka ketika seorang bekas mahasiswa dari Indonesia datang ke Amerika Serikat pada 1983 dan berkenalan dengan seorang pekerja sosial dari kelas menengah, keturunan Irish, dan berumur 60-an tahun, dia langsung beraksi begitu mengetahui dirinya berasal dari Indonesia.

”Oh ya, Soekarnolah presidenmu!” demikian kata pekerja sosial keturuan Irish itu (Basis, 2001). Sebuah reaksi yang mungkin tidak mudah dijumpai lagi sesudah lebih dari 100 tahun zaman Bung Karno (1901-2017). Selamat ulang tahun, Bung Karno (6 Juni 1901-6 Juni 2017). Dirgahayu Pancasila!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya