SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto P.A.

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Jumat (2/6/2017). Esai ini karya Albertus Rusputranto P.A., pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Alamat e-mail penulis adalah titusclurut@yahoo.co.uk

Solopos.com, SOLO — Cakrabirawa adalah nama kesatuan pasukan penjaga Istana Kepresidenan dan pengawal Presiden Republik Indonesia. Unit ini bubar bersamaan dengan diturunkannya Soekarno–secara paksa–dari kursi kepresidenan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sejak itu citra Cakrabirawa menjadi agak ”miring”, begitu juga semua yang dekat dan berkait dengan Bung Karno (nama populer dan kebanggaan Soekarno).

Ekspedisi Mudik 2024

Pasukan pengawal presiden di negara mana pun pasti orang-orang pilihan. Orang-orang yang terlatih secara fisik dan mental menjaga dan melindungi. Jago bertempur dan loyal terhadap yang dijaga/dikawal, apalagi yang ditugaskan di lingkaran satu. Nyawa taruhannya. Begitu juga Cakrabirawa.

Pasukan Cakrabirawa yang bertugas mengawal Bung Karno adalah unit yang bernama Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Pasukan ini menjadi cukup dekat dengan Bung Karno. Bung Karno adalah pribadi dan pemimpin negara yang unik maka DKP ini pun menjadi pasukan pengawal presiden yang unik pula.

Keunikan detasemen ini, di antaranya, selain mumpuni di profesian sebagai pasukan pengawal presiden, masing-masing anggota juga ”harus” pintar bermain musik. ”Keharusan” ini bertolak dari kesenangan Bung Karno menari Lenso dengan diiringi lagu berirama cha cha.

Komandan DKP, Mangil Martowidjojo, kemudian membentuk band pengawal presiden yang selalu siap kapan saja presiden ingin menari. Awal gagasan pembentukan band ini dimulai ketika Bung Karno menerima kunjungan Duta Besar Amerika Serikat, Howard Jones, di Cipanas.

Selepas makan siang, Bung Karno berniat menari lenso. Dia minta tarian lenso ini diiringi musik. Akhirnya Mangil memerintahkan anak buahnya meminjam alat-alat dapur dan menjadikannya ”alat musik” pengiring tari. Bung Karno dengan Ny. Hartini, Howard Jones dengan istri, diikuti staf kedutaan yang hadir menari lenso. Menari bersama, berpasang-pasangan.

Alhasil, alat-alat dapur yang digunakan penyok-penyok semua. Sejak itu Mangil selalu membawa kendang saat bertugas mengawal. Bung Karno suka sekali menari lenso. Hampir pada setiap menerima tamu atau melakukan lawatan, ke mana saja, Bung Karno menyempatkan diri mengajak orang-orang menari lenso.

Selanjutnya: Akhirnya Mangil tidak hanya menyiapkan kendang…

Kendang

Akhirnya Mangil tidak hanya menyiapkan kendang, bahkan membentuk band pengiring tari yang kemudian diberi nama band ABS. Band ini terdiri atas anggota DKP Cakrabirawa dan dipimpin oleh Iskandar Winata (berpangkat Mayor Polisi).

Bung Karno tidak tahu kepanjangan nama band pengiringnya. Tidak pernah diberi tahu oleh Mangil dan anggota band yang lain. ABS ini nama yang disematkan sendiri oleh para anggotanya. ABS itu kepanjangannya Asal Bapak Senang.

Nama ini muncul sebagai reaksi atas ”keotoriteran” Bung Karno pada band ini. ABS hanya boleh memainkan musik yang dikehendaki Bung Karno. Band ini pernah mereka mencoba memainkan musik selain yang disukai Bung Karno.

Maksudnya sederhana, hanya agar ada variasi, agar tidak bosan. Mereka justru kena damprat Bung Besar ini. Bung Karno hanya mau menari lenso dengan iringan musik irama cha cha. Ya, akhirnya asal bapak senang saja: ABS.

Tari Lenso adalah tari pergaulan masyarakat wilayah timur Indonesia: Manado, Minahasa, Maluku, dan daerah pesisir Papua. Tari Lenso merupakan bentuk tari tradisional yang lahir dari ekspresi kebersamaan, pergaulan, kemasyarakatan. Masyarakat tradisional yang majemuk, yang interkultur.

Pada bentuk tariannya kita bisa melihat ada juga pengaruh kebudayaan Barat di dalamnya. Kebudayaan para kolonialis yang pernah datang dan berbaur dengan kebudayaan masyarakat setempat. Sama dengan banyak kesenian tradisional lain di Indonesia yang muncul pada era kolonial.

Bung Karno sangat menyukai tarian ini. Ketika dengan sangat keras menolak ”serangan” produk-produk budaya (terutama kesenian populer dan gaya hidup) dari negara-negara yang dicapnya sebagai neokolonialis dan neoimperialis (nekolim) dia menaruh tari lenso di barisan terdepan. Setidaknya dalam versi Soekarno.

Tari Lenso yang sering disajikan kepada para tamu kehormatan dan dibawa Bung Karno ke mana pun dia pergi ini tidak sepenuhnya sama dengan ”bentuk aslinya”. Sebagaimana tari pergaulan di mana saja, sebenarnya juga tidak ada patokan baku bentuk aslinya.

Tari Lenso yang selalu ditarikan Bung Karno ini adalah tari lenso ala Bung Karno. Tari lenso yang ditarikan atas rasa nyaman dan tafsir kenyamanan ala Bung Karno, tapi memang begitulah karakter tari pergaulan, lebih bebas dalam mengekspresikannya; mengutamakan rasa nyaman orang-orang yang mempraktikkan.

Bung Karno dengan penyuka tari lenso yang lain bisa menjadikan kesenangan ini sebagai alat atau senjata untuk berdialog (bernegosiasi) politik budaya dengan bangsa-bangsa lain. Terutama bangsa-bangsa yang dianggapnya mengancam negara-negara bangsa yang baru merdeka (ancaman nekolim).

Bung Karno adalah salah seorang dari banyak pemikir, nasionalis, yang sadar perlunya persamaan kedudukan, kesejajaran, baik politik maupun budaya, bagi seluruh negara-bangsa di muka bumi ini. Tanpa itu bakal akan selalu ada ancaman dominasi dari satu bangsa terhadap bangsa lain.

Sebagai anak bangsa yang mempunyai pengalaman panjang keterjajahan, Bung Karno sangat peka dengan persoalan ini. Kuncinya adalah menunjukkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional.

Salah satu cara yang paling mujarab dan efektif lewat kesenian. Bung Karno menunjukkan kekuatan inovasi kreatif dalam kesenian sebagai sinyal kebersahajaan Indonesia dalam membangun dirinya sendiri. Tanpa inovasi kreatif tidak mungkin kebudayaan bertumbuh.

Tanpa pertumbuhan kebudayaan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi masyarakat bangsa yang semakin beradab. Tari lenso adalah piyandel Bung Karno untuk hadir dalam kebersahajaan dalam pergaulan internasional.

Dia tunjukkan kepada dunia apa-apa yang oleh dunia Barat diberi label tradisional (sebagai pembeda antara yang beradab dan kurang beradab) ternyata bisa hadir sederajat dengan berbagai produk kebudayaan bangsa-bangsa lain.

Dari sejak zaman Bung Karno hingga sekarang pemerintah Indonesia selalu mempunyai duta kesenian. Bedanya, zaman Bung Karno delegasi kesenian yang berangkat ke berbagai negara sahabat membawa misi dialog kebudayaan, sejak zaman Orde Baru-dan masih terasa aromanya hingga sekarang–menjadi sekadar promosi pariwisata.

Banyak kelompok kesenian (dan personel) yang dikirim sebagai duta. Bung Karno sendiri selalu mendudukkan dirinya sebagai duta kesenian setiap kali berkunjung ke negara-negara sahabat. Tidak sedikit cerita tentang kepiawaian Bung Karno dalam mengapresiasi dan mengekspresikan berbagai bentuk kesenian, baik yang dibawanya dari Indonesia maupun yang disuguhkan baginya sebagai tamu kehormatan.

Selanjutnya: Tak anti Barat

Tak Anti Barat

Wakil Komandan Cakrabirawa, Maulwi Saelan, pernah mengisahkan sebuah peristiwa menarik ketika Bung Karno berkunjung ke Roma. Dalam sebuah jamuan makan, seusai bersantap seluruh hadirin diundang memasuki ballroom, termasuk bung Karno.

Musik pembuka dilantunkan, sebuah lagu berirama waltz mengiringi beberapa pasangan turun berdansa. Bung Karno tidak terpengaruh dengan musik ini. Dia hanya duduk saja, bercakap-cakap.

Selepas lagu pertama Bung Karno memerintahkan pengawalnya mengambil alih band. Bung Karno mengajak semua yang hadir menari lenso dengan musik irama cha cha iringan kelompok band ABS. Akhirnya, sampai acara selesai semua hadirin menikmati menari lenso dan lagu-lagu berirama cha cha dari kelompok band ABS. Bayangkan, betapa menakjubkan kekuatan hadir Bung Karno, Presiden kita ini!

Fenomena bung Karno dan tari lenso ini menunjukkan bahwa presiden pertama kita ini tidak anti Barat. Neokolonialisme dan neoimperialisme yang saat itu mulai ditiupkan oleh negara-negara neokolonialis dan bekas kolonialis yang ditolaknya. Bung Karno anti nekolim.

Bung Karno menerima adanya interkultur, menghormati keberagaman budaya, tapi dia juga tidak pernah mau dihegemoni. Itulah sebabnya dia sangat keras menolak bentuk-bentuk kesenian populer (dan lifestyle) dari Amerika Serikat dan Inggris waktu itu sebab lewat inilah, menurut dia, angin neokolonialisme dan neoimperialisme berpotensi menjadi badai.

Terjadilah itu sekarang, hingga muncullah ungkapan: kepak sayap kupu-kupu di California menjadi badai di teluk Jakarta! Cha cha tentu bukan irama musik dari tradisi masyarakat Nusantara tetapi bukan tidak bisa digunakan untuk mengekspresikan kecintaan kita pada bangsa Indonesia.

Bertemunya cha cha dan tari lenso ini hanya satu di antara jutaan produk perjumpaan budaya berbagai bangsa di Indonesia. Negeri ini sudah kosmopolitan bahkan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Saya yakin masih akan terus begitu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya