SOLOPOS.COM - Hendra Kurniawan

Gagasan ini karya Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Esai ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (6/6/2017). Alamat e-mail penulis adalah hendrayang7@gmail.com

Solopos.com, SOLO — Esai Albertus Rusputranto P.A. bertajuk Bung Karno, Lenso, Cha Cha di Harian Solopos edisi 2 Juni 2017 mengemukakan sisi lain tentang Bung Karno. Dalam waktu senggang sebagai orang nomor satu di negeri ini, Bung Karno gemar menikmati ragam kesenian tradisi.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Ibunda Bung Karno, Ida Ayu Nyoman Rai Serimben, seorang gadis Bali, ternyata mengalirkan darah seni kepada anak lelakinya itu. Bung Karno tak hanya piawai meronce kata-kata di podium, namun juga cinta mati dengan seni dan budaya warisan luhur bangsa ini.

Bung Karno memang tokoh istimewa dan Juni setiap tahun menjadi bulan yang istimewa pula bagi dirinya. Pada 6 Juni 1901, Bapak Bangsa ini lahir menjelang fajar menyingsing dan diberi nama kecil Koesno. Akibat kesehatannya yang sering terganggu, Koesno berganti nama menjadi Soekarno.

Ekspedisi Mudik 2024

Pada Juni pula ia wafat dalam usia 69 tahun, tepatnya pada 21 Juni 1970, setelah merana sebagai tahanan politik. Selain dua momen penting hidupnya ini, pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyampaikan buah pikirnya, Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Sepanjang usianya Bung Karno telah membaktikan diri untuk bangsa dan negara ini. Bung Karno mewarisi banyak gagasan, ajaran, dan prinsip bernegara bagi bangsa ini. Salah satu hal yang jarang diketahui dan diungkap ke publik yakni perhatian Bung Karno pada budaya nasional.

Pemikiran Bung Karno mengenai pelestarian dan pewarisan budaya nasional kala itu telah melampaui zamannya. Senyatanya kini kekhawatiran mengenai nasib bangsa dan budayanya ini mulai terbukti benar.

Kepribadian Indonesia

Bung Karno tak hanya lihai berpolitik. Ia ternyata juga begitu cinta dengan budaya Indonesia. Dalam pidato peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1964 berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Tavip), Bung Karno menyampaikan konsepsi Tri Sakti.

Menurut Bung Karno, ada tiga modal penting dalam hidup bernegara yang tengah menghadapi bahaya yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Konsepsi yang terakhir ini jarang dikupas secara mendalam.

Selanjutnya adalah: Berkepribadian secara sosial budaya menjadi…

 

Sosial budaya

Berkepribadian secara sosial budaya menjadi penting tatkala imperialisme semakin merangsek tak hanya di sektor politik maupun ekonomi. Globalisasi menyebabkan dunia menjadi miyur tanpa sekat.

Akibatnya infiltrasi budaya asing begitu mudah terjadi dan menggoyahkan sendi-sendi kebudayaan lokal yang selama ini menjadi akar kebudayaan nasional. Dalam dunia yang taklagi pejal ini dibutuhkan upaya untuk mengukuhkan identitas kebangsaan melalui upaya nation and character building.

Intuisi Bung Karno terbukti benar. Pada masa sekarang westernisasi menjadi simbol modernitas. Generasi muda kebanyakan menganggap bahwa yang lokal dan tradisional itu sudah kuno dan ketinggalan zaman.

Nilai-nilai budaya lokal yang beraneka ragam dan selama ini dihidupi oleh berbagai suku dan etnis sebenarnya menjadi modal bagi terbentuknya identitas bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagaimana ditulis oleh Albertus Rusputranto P.A., kesukaan Bung Karno berjoget lenso dengan iringan musik cha cha melukiskan semangatnya dalam melestarikan budaya lokal. Tarian asal Maluku ini sarat dengan akulturasi budaya yang seakan-akan menjadi cermin keanekaragaman budaya bangsa.

Bukan Bung Besar jika tidak memperkenalkan kekayaan budaya bangsanya ini kepada dunia. Bung Karno tak ragu menyandingkan budaya negerinya dengan budaya luar yang banyak diagung-agungkan orang.

Dalam berbagai lawatan ke luar negeri maupun saat menerima kunjungan dari delegasi negara lain, Bung Karno selalu menyuguhkan berbagai hal yang khas Indonesia. Para perempuan, baik keluarga maupun anggota staf kepresidenan, selalu mengenakan kebaya dan bersanggul sebagai ciri perempuan Jawa.

Suguhan hiburan, makanan, hingga cenderamata juga dipilih dari berbagai daerah maupun suku di Indonesia. Kebiasaan ini sekarang diteladani Presiden Joko Widodo. Ia sering menginstruksikan agar makanan tradisional menjadi hidangan rapat maupun pertemuan kenegaraan.

Beberapa kali unit tentara pengawal istana tampil mengenakan baju khas daerah. Saat upacara Hari Lahir Pancasila beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan jajaran menteri Kabinet Kerja mengenakan baju khas daerah.

Jati diri bangsa

Upaya menghadirkan budaya lokal ke dalam istana tak semata simbol demi mencintai dan menjunjung nilai-nilai budaya lokal. Lebih dari itu yakni menggerakkan betapa pentingnya identitas bagi sebuah bangsa.



Dalam konsepsi ketiga dari Tri Sakti yang kini dihadirkan kembali oleh Presiden Joko Widodo, Bung Karno berharap berbagai budaya lokal dapat berkembang dan menjadi kebanggaan bangsa sebagai budaya nasional. Hal ini diharapkan berujung pada pemahaman terhadap jati diri bangsa.

Bung Karno mencita-citakan terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang hidup dalam batin bangsanya sendiri. Budaya nasional sebagai kesatuan dari berbagai warisan leluhur bangsa harus dilestarikan.

Lakunya tentu tak hanya soal berkesenian, namun juga nilai-nilai sosial bermasyarakat seperti gotong royong, keramah-tamahan, dan toleransi. Di tengah pergaulan internasional yang semakin cair, Pancasila sebagai manifestasi nilai-nilai luhur ini harus dihidupi bersama sebagai penjaga jati diri bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya