SOLOPOS.COM - Erdy Priharsono (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (11/2/2016), ditulis Erdy Priharsono. Penulis adalah peminat masalah sosial dan budaya yang tinggal di Kota Solo.

Solopos.com, SOLO — Sebanyak 569 unit dari total 1.632 unit pos keamanan lingkungan (poskamling) di Kota Solo mangkrak atau beralih fungsi (Solopos edisi 1 Februari 2016).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut Kepala Seksi Bina Potensi Masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan Masyarakat Kota Solo, Hari Siyamto, fenomena itu salah satunya disebabkan kesadaran warga yang rendah ihwal pentingnya kegiatan ronda.

Sejatinya sistem keamanan lingkungan dalam bentuk ronda yang menuntut partisipasi aktif warga ini terbukti efektif mampu menghadirkan suasana aman, nyaman, dan tenteram. Para laki-laki dewasa atau remaja melakukan kegiatan pengamanan lingkungan pada malam hari.

Arus deras globalisasi membawa dampak perubahan sosial, yaitu mengubah pola pikir masyarakat. Pola pikir guyub, gotong royong, dan kepedulian digantikan pola pikir egois individualistis yang memuja kebebasan, yang jauh dari semangat peduli lingkungan sekitar.

Dampaknya pos ronda menjadi sepi. Sedangkan di perumahan tertentu, sistem pengamanan ronda telah lenyap digantikan oleh tenaga upahan satuan pengamanan (satpam) lingkungan. Warga perumahan tersebut lebih senang menggunakan jasa satpam karena menganggap tradisi ronda kontraproduktif dengan tuntutan modernisasi.

Ronda dinilai tidak ada manfaatnya karena hanya membuang waktu, tenaga, dan biaya. Kumpul bareng tetangga dan bincang-bincang akrab di pos ronda dianggap bukan gaya hidup modern. Bagi warga yang suka bersosialisasi, mereka lebih senang pergi ke kafe atau foodcourt untuk bertemu dengan rekan bisnis atau teman komunitas seminat.

Agaknya budaya pergi ke kafe telah mampu menggeser tradisi pergi ke pos ronda. Alhasil interaksi sosial yang terbentuk bukan menguatkan suasana guyub rukun dengan lingkungan sekitar tempat tinggal, tetapi relasi eksklusif dengan teman bisnis atau komunitas seminat.

Sejatinya tradisi ronda memiliki akar sejarah panjang, melekat dengan konstelasi sosial politik dan budaya Indonesia. Menurut Djumarwan (www.brilio.net), sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tradisi ronda ini adalah warisan masa penjajahan Belanda. Saat itu pos ronda banyak dibuat di Indonesia.

Kala itu pos ronda masih berupa pos-pos jaga yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan penjajah untuk mengekang orang-orang pribumi. Hal serupa juga terjadi ketika Indonesia dalam masa penjajahan Jepang. Sejak era kemerdekaan Indonesia, pos-pos penjagaan tersebut diambil alih orang-orang pribumi.

Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, edisi 2008, memaparkan perdesaan tebu Mangkunegaran merupakan wilayah yang rawan perampokan dan pencurian. Kondisi demikian berlangsung sejak abad XIX dan terus berlangsung hingga abad XX.

Pelaku tindak kejahatan itu berupa kecu atau koyok. K.G.P.A.A. Mangkunagoro VI mengambil tindakan memerintahkan pengawasan secara ketat gardu ronda desa (patrolan dhusun). Di setiap tempat yang berbahaya agar didirikan gardu ronda dan diatur perondanya.

Menurut Wasino, pada mulut jalan masuk desa dibangun gardu penjagaan. Gardu ini wajib dijaga penduduk desa dengan ketentuan setiap gardu dijaga tiga orang.

Penjagaan dilakukan sejak pukul 18.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB. Petugas ronda dilakukan oleh penduduk desa dan dilakukan secara bergiliran. Mereka menggunakan senjata canggah, tombak, pedang, dan tampar.

Setelah masa kemerdekaan, Orde Baru, hingga saat ini, tradisi ronda masih terus berlangsung ditandai keberadaan pos ronda dalam bentuk gardu sederhana maupun mewah. Ronda tidak hanya berfungsi mengamankan kampung, tetapi juga sarana membangun kebersamaan.

Dalam kegiatan ronda, warga kampung berkumpul dan berbincang-bincang yang bisa menghadirkan suasana akrab dan guyub. Interaksi sosial yang dekat tersebut pada gilirannya menciptakan solidaritas sosial yang baik.

Budaya ronda juga memantapkan integrasi sosial karena dalam kegiatan itu akan saling kenal tetangga dari berbagai macam suku, agama, kelompok, dan lapisan sosial.

Ronda sekaligus juga memupuk semangat patriotisme. Warga dari berbagai macam latar belakang primordial akan melebur menjadi satu dalam semangat kebersamaan berbangsa.

Pengaruh pola pikir pragmatis, individualistis, materialistis, dan hedonis pada gilirannya mengeleminasi pola pikir gotong royong, guyub rukun, dan kebersamaan. Menurunnya semangat kebersamaan otomatis menurunkan kesadaran melakukan tradisi ronda. [Baca selanjutnya: Solidaritas Sosial]Solidaritas Sosial

Pola pikir materialistis berdasar anggapan tujuan hidup manusia itu mencari harta dunia. Meraih harta benda sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri (individualistis) merupakan tujuan hidup yang utama, tanpa perlu pertolongan atau tanpa tergantung orang lain.

Sedangkan pola pikir hedonistis menyatakan manusia hanya ingin memuaskan kesenangan duniawi. Setiap orang tidak perlu memikirkan keadaaan orang lain dan itu semua menyebabkan munculnya sifat egoisme.

Orang yang berpikiran anti sosial seperti ini tidak memiliki konsep hidup gotong royong dan tidak memiliki kesadaran solidaritas sosial. Semangat kebersamaan, gotong royong, dan semangat peduli sesama harus dilestarikan karena itu merupakan akar budaya Indonesia.

Menurut Koentjaraningrat (Bintarto, 1980), nilai budaya orang Indonesia mengandung empat konsep. Pertama, manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi di lingkungan komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya.

Kedua, manusia pada hakikatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya. Ketiga, manusia harus selalu berusaha sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Keempat, manusia selalu berusaha sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dan bersama dengan sesama komunitas.



Persoalan ini memberi pelajaran bahwa tradisi ronda memiliki peran penting untuk memupuk semangat kebersamaan dan menguatkan integrasi sosial. Kegiatan ronda dan pos ronda perlu direvitalisasi agar menemukan kembali peran strategisnya.

Pos ronda tidak sekadar gardu untuk melaksanakan ronda, tetapi pos ronda harus menjadi pusat kegiatan warga kampung. Artinya jantung kegiatan bersosialisasi dan solidaritas sosial kampung mulai terbangun dari pos ronda.

Pos ronda juga harus menjadi tempat yang teduh (baca: katalisator) untuk melepaskan penat karena tekanan pekerjaan. Dengan demikian pos ronda akan menjadi pusat kegiatan bapak-bapak, remaja karang taruna, pemuda-pemudi, ibu-ibu, dan juga anak-anak.

Berbagai macam program kreatif edukatif yang mampu menarik minat warga kampung perlu dikembangkan untuk mewujudkan visi pos ronda sebagai pusat kegiatan.

Program senam bersama, berkaraoke, sepeda santai, nonton bareng, atau olahraga bersama di pelataran pos ronda merupakan salah satu bentuk program itu. Perihal ini memang sudah dilaksanakan beberapa kampung (rukun tetangga) yang memiliki pos ronda, tetapi perlu dimaksimalkan.

Perlu cara persuasif untuk menyadarkan arti penting ronda bagi warga yang enggan melakukan ronda. Warga perlu disadarkan sebab keamanan dan kebersamaan bukan hanya tanggung jawab pengurus rukun tetangga an-sich, tetapi tanggung jawab seluruh warga.

Sejarah masa lalu mencatat cara-cara agar warga dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ronda. Menurut Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jay Akbar, historia.id, 2015), di Desa Nglunge, Klaten, pada awal 1919, buruh tani harus melakukan ronda malam di jalan negara sekali setiap 35 hari. Jika mengabaikan, penduduk bisa dikenai hukuman.

Di Jepara – sebagaimana ditulis dalam biografi tokoh pergerakan politik Raden Adipati Ario Koesoemo Oetoyo, Perjalanan Panjang Anak Bumi – Residen Semarang J van Gigh melaporkan 63 orang penduduk desa yang tak mau ronda dan jaga malam dihukum denda sebesar 2,50 gulden atau tiga hari penjara.

Apakah cara-cara seperti ini masih relevan diterapkan untuk ”memaksa” warga agar ikut melaksanakan ronda? Rasanya tidak. Setiap warga kampung harus memiliki kesadaran tinggi bahwa budaya kita adalah budaya gotong royong dan budaya guyub rukun. Bukan budaya egoisme dan individualisme yang tidak peduli lingkungan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya