SOLOPOS.COM - Mohamad Fauzi Sukri (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (11/6/2016), ditulis Mohamad Fauzi Sukri. Penulis adalah peminat filsafat pendidikan, ekonomi politik, dan filsafat agama. Saat ini penulis tinggal di Solo.

Solopos.com, SOLO — Keislaman mutakhir adalah Islam dalam bentuk budaya pop. Kita hidup dalam keseharian budaya pop, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kita bisa mengingat pada dekade pertama abad XX, umat Islam Indonesia sering dicemooh akibat terlambat mengikuti budaya pop.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Kita bisa mengingat melalui memoir Van Koran tot Bijbel yang ditulis Raden Kartawidjaja (1849-1914). Ia bekas santri cerdas nan resah dan akhirnya beralih agama. Salah satu yang dia perhatikan adalah budaya pop Eropa yang menggejala dalam kehidupan muslim Indonesia.

Kartawidjaja mencatat: dalam buku mengenai ajaran agama berjudulal-Mufid, orang-orang Mohammedan dilarang mengadopsi pakaian dan kebiasaan orang-orang Belanda seperti jaket, topi, dasi, sendok, garpu, dan sebagainya. Tidakkah itu aneh? Belakangan ini semua Mohammedan, bahkan para cendekiawan dan guru, mengenakan pakaian bermodel Belanda: topi, jas, dasi, dan sebagainya, dan mereka menggunakan garpu dan sendok (Laffan, 2015: 192-3).

Bisa dikatakan pada deka depertama abad XX, gejala perubahan budaya pop muslim tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh kawasan muslim di dunia. Perubahan ini sering dianggap sebagai pengkhiatan, tapi banyak juga yang menganggap budaya pop hanyalah mengikuti aru perubahan estetika bermasyarakat yang tidak menyentuh esensi keimanan.

Publik muslim di Indonesia pada awal abad XX sibuk mengurusi modernisasi pendidikan dan khususnya politik kenegaraan dalam arus besar nasionalisme. Banyak negeri muslim lepas dari kolonialisme Eropa, sekaligus runtuhnya keumatan yang bersifat global beralih menjadi negara kebangsaan dengan batas-batas territorial jelas(Noer, 1996).

Setelah Islam kenegaraan dianggap selesai pada pertengahan abad XX, khususnya setelah dikebiri pada zaman OrdeBaru, kita mulai melihat ekspresi keislaman dan keimanan dalam budaya pop. Para agamawan hampir tidak mungkin  mengutip kitab Al-Mufid ataukitab-kitab klasik lain yang sangat dipengaruhi kepentingan zamannya untuk mempertahankan identitas keislaman klasik.

Pada zaman sekarang, publik muslim bukan hanya mempertahankan identitas keislaman dan keimanan mereka, malah mereka turu tmencipta, memproduksi, dan mengonsumi budaya pop yang dianggap sesuaidengan keislaman dan keimanan mereka.

Sekarang para penggerak budaya pop islami adalah muslim muda yang hidup di alam metropolitan dengan pikiran yang jauh lebih terbuka dan kritis plus tingkat ekonomi yang jauh lebih berdaya untuk mencipta dan menikmati budaya pop.

Sejak era 1980-an hingga kini, budaya pop islami menjadi ekspresi keislaman dan keimanan yang paling dominan. Ramadan adalah puncak ekspresi budaya pop. Secara ekonomis religius, jumlah penduduk muslim Indonesia sekitar 207 juta jiwa (87,2%) yang membutuhkan budaya pop islami.

Ini belum umat Islam secara global yang bisa menjadi potensi pasar budaya pop islami. Dengan meningkatnya kekuatan ekonomi umat Islam secara global, budaya pop adalah kebutuhan yang niscaya.  Kita bisa dengan gampang melihat budaya pop islami seperti hijab.

Hijab diperjualbelikan di pasar tradisional, pasar modern, pasar ultramodern, bahkan di pasar maya (online). Bentuk hijab juga terus berevolusi secara kreatif, inovatif, dan tentuislami, mengikuti perekembangan daya cipta modest wear yang semakin bergairah dan bersemangat. [Baca selanjutnya: Pusat Mode Islami]Pusat Mode Islami

Potensi bisnis modest wear bakal mencapai nilai US$2,2miliar dalam lima tahun mendatang (Koran Tempo, 4-5 Juni 2016). Ini angka yang fantastis. Sudah sekian tahun para produsen budaya pop Islam dalam bidang pakaian berambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat mode islami dunia.

Dengarkan saja radio-radio yang memutar lagu-lagu islami yang berbahasa Arab, Inggris, dan tentu bahasa Indonesia. Setiap menjelang Ramadan, selalu ada penyanyi atau band yang merilis single atau album Ramadan. Tahun ini, band D’Masiv mengeluarkan album religi berkolaborasi dengan penyanyi spiritual kelahiran Amerika Serikat (negeri budaya pop) Raef Haggag.

Pada 2014, Raef mengeluarkan album religi The Path, meski tidak begitu bergaung di Indonesia dibandingkan penyanyi asal Swedia yang termasyhur secara global, Maher Zain (Kompas, 3 Juni 2016). Ada juga girlband Noura yang meluncurkan album Ramadan Berhenti Bersedih.

Semua lagu itu sekarang menemani agenda berpuasa publik muslim Indonesia. Dalam budaya pop islami audio, barangkali Indonesia memang agak ketinggalan, namun, bukan tidak mungkin bakal mengeksporasi lagu-lagu islami secara masif pada tahun-tahun mendatang mengingat etos kreativitas yang mulai terbentuk.

Kita wajib menyebut sinetron-sinetron seperti Para Pencari Tuhan yang menemani publik muslim Indonesia selama 10 tahun berturut-turut. Kita juga wajib menyebut film yang dirilis pada 2008, Ayat-ayat Cinta, yang ditonton empat juta lebih penduduk Indonesia.

Film ini diproduksi dengan biaya sekitar Rp11 miliar lebih (Rolling Stone, edisi 37, Mei 2008). Susah sekali kita membayangkan proyek beragama yang harus mengeluarkan dana pribadi (swasta) sampai sebanyak itu. Ini artinya jika menggunakan harga minimal tiket Rp25.000 per penonton, terkumpul sekitar Rp100 miliar.

Tidak pernah ada pengajian berbayar yang bisa menghimpun empat juta orang dan menghasilkan Rp100 miliar. Tentu saja angka ini belum termasuk film-film islami yang terus diproduksi sampai sekarang dan pada masa mendatang.

Itu belum urusan wisata islami yang digerakkan pemerintah, buku-buku islami, kuliner islami, hotel-hotel syariat, dan tentu wajib disebut bank-bank syariat. Bisa dikatakan budaya pop yang islami begitu akrab dalam keseharian publik muslim Indonesia kini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya