SOLOPOS.COM - Suharno (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (16/6/2016), ditulis Suharno. Penulis adalah dosen di Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Solo.

Solopos.com, SOLO — Kasus Rumah Sakit (RS) Sumber Waras, Jakarta, yang menyeret nama Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, memasuki babak baru.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebelumnya beberapa elemen masyarakat, bahkan anggota DPR, sempat menuntut agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembelian Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Desakan muncul karena auditor independent negara, yaitu Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), telah menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) proses jual beli lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang oleh BPK disimpulkan merugikan negara.

Tidak tanggung-tanggung, BPK sampai  melakukan dua kali pemeriksaan terhadap kasus ini. Pemeriksaaan pertama terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014. Sedang pemeriksaan kedua  adalah pemeriksaan investigatif atas permintaan KPK.

Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Tahun 2014, BPK menyimpulkan pengadaan (pembelian) tanah Rumah Sakit Sumber Waras tidak melalui proses yang memadai sehingga merugikan daerah Rp191,33 miliar.

Pemeriksaan kedua yang dilakukan selama empat bulan tetap berkesimpulan sama, yaitu telah terjadi kerugian keuangan negara (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta) terkait pengadaan (pembelian) tanah Rumah Sakit Sumber Waras.

Terkait dua hasil pemeriksaan BPK itu, Ahok bersikeras tidak terjadi penyimpangan, bahkan dengan tegas Ahok mengatakan BPK ngaco. Ahok berpandangan tuduhan kerugian negara  muncul karena adanya perbedaan metode perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP)

NJOP  versi BPK dan versi Pemerintah Provinsi DKI  Jakarta berbeda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghitung NJOP berdasarkan fakta dan data-data  yang didukung dokumen yang valid. Sedangkan BPK menggunakan data dan fakta yang sebaliknya.

Di tengah kontroversi yang semakin memanas, muncul pernyataan mengejutkan yang disampaikan pimpinan KPK dalam acara dengar pendapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan,  Jakarta, Selasa (14/6).

KPK berkesimpulan sejauh ini belum menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Kesimpulan KPK tersebut didukung pendapat para ahli dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia Jakarta, dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. [Baca selanjutnya: Agenda Terselubung]Agenda Terselubung

Versi mana yang harus kita percaya? Versi KPK atau versi BPK yang harus kita yakini sebagai kebenaran? Bila kita menilisik ke belakang ihwal sejarah eksistensi dan kinerja KPK dan BPK, tampaknya masyarakat lebih memercayai KPK.

Dari latar belakangnya, pimpinan dan auditor BPK tidak sedikit yang memiliki latar belakang  orang-orang dari partai politik. Di samping itu juga ada indikasi  ada orang/pejabat BPK  yang bermain api saat menyalahgunaan wewenang dan profesinya.

Beberapa orang/pejabat BPK terjerat operasi tangkap tangan KPK. Mereka ditangkap saat menerima suap untuk memuluskan laporan hasil pemeriksaan APBD di suatu daerah agar mendapat opini tertinggi, yaitu  Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Lalu muncul pertanyaan: ada agenda apakah sehingga BPK secara kelembagaan berani menyatakan hasil pemeriksaan telah memenuhi standar audit, valid., dan dapat dipertanggungjawabkan, bahkan bergeming saat mendapat kritikan dari berbagai pihak?

Bukan rahasia lagi, sebagian orang bisa menebak  dan menduga bahwa hasil pemeriksaan BPK untuk  memenuhi pesanan politik pihak tertentu untuk menjegal Ahok agar tidak bisa maju kembali dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 mendatang.

Demikian beranikah BPK mempertaruhkan nama lembaga dan bermain api dalam pusaran politik?  Kalau ini benar, sungguh sangat disayangkan.

Mestinya BPK dalam menjalankan tugas selalu  berpegang teguh pada independensi, integritas, dan profesionalisme. Ingat, BPK merupakan satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri.

Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 23E ayat 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amendemen) yang menyatakan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

Bila pernyataan KPK  benar, tidak atau belum ditemukan bukti indikasi korupsi dalam pembelian Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, berarti LHP BPK yang salah.

Ini sangat memalukan karena bukan lagi menyangkut sosok atau beberapa orang auditor karena LHP adalah menyangkut kelembagaan. Bisakah ini diartikan BPK  secara kelembagaan telah mengkhianati negara? Bagaimana pendapat Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya