SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan Solopos, Rabu (17/2/2016), ditulis Adi Putra Surya Wardhana. Penulis adalah alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Rabu Pahing (17/2) ini Kota Solo kembali merayakan hari jadinya. Pada Rabu Pahing 271 tahun silam, tepatnya 17 Februari 1745, prosesi boyong kedhaton menjadi penanda adeging Nagari Surakarta Hadiningrat.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Hari lahir Kota Solo menyimpan kisah historis tentang praktik politik oportunis pada masa itu. Praktik politik yang kian jamak dilakukan para elite politik kekinian.

Oportunisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu.

Oportunisme ditunjukkan oleh Paku Buwono (PB) II dalam situasi politik yang melibatkan VOC dan etnis Tionghoa pada 1740. Peristiwa bermula ketika Batavia diguncang pembantaian 10.000 orang Tionghoa oleh VOC pada 1740.

Tragedi ini diakibatkan hubungan kompleks antara wabah malaria, kemerosotan ekonomi, dan rasa saling curiga terhadap orang Tionghoa di Batavia (Ricklefs, 2008). Tragedi yang berkembang menjadi perang besar di Jawa ini disebut Geger Pacinan (1740-1743).

Perang ini turut memengaruhi gejolak politik Keraton Kartasura. Riset Daradjadi, sejarawan autodidak, dalam bukunya yang  berjudul Perang Sepanjang 1740-1743, Tionghoa-Jawa Lawan VOC (2008) menunjukkan PB II memendam kekecewaan terhadap VOC yang terlalu turut campur dalam persoalan internal istana.

Di lingkaran istana sendiri sedang terjadi perebutan pengaruh antara faksi anti VOC yang dipimpin Patih Natakusuma dan faksi pro VOC yang didukung beberapa bupati pesisir. PB II melihat peluang dari pemberontakan Tionghoa untuk menundukkan VOC sekaligus mengikat kepatuhan para bupati yang berpotensi sulaya.

PB II memilih bermain aman dengan politik dua kaki. PB II berpura-pura membantu VOC, tetapi diam-diam membantu laskar Tionghoa. Ia sebenarnya ragu dengan kekuatan laskar Tionghoa, namun tetap memanfaatkan mereka untuk menundukkan VOC.

Di sisi lain, Patih Natakusuma juga mengharapkan keuntungan pribadi dari situasi ini untuk memperkuat pengaruhnya di istana. Pada Juli 1741, PB II menunjukkan keberpihakannya dengan menyerang benteng VOC di Kartasura. Garnisun VOC di Kartasura tumbang pada Agustus 1741. Ia lantas menggelorakan perang sabil.

PB II ingin mencitrakan dirinya sebagai raja sufi yang saleh sekaligus memanfaatkan ideologi agama untuk meredam suksesi para pangeran dan meredam ketidakpatuhan para bupati dalam masalah internal kerajaan.

Sisi positifnya adalah untuk kali pertama koalisi antara orang Jawa dan orang Tionghoa terjalin. Persatuan antara Tionghoa-Jawa sangat ditakuti VOC. VOC atau Belanda menerapkan politik pecah belah setelah Geger Pacinan.

Istilah ”tidak ada kawan atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi” berlaku juga untuk menggambarkan sikap PB II. Ia kembali berkoalisi dengan VOC setelah melihat laskar Tionghoa-Jawa gagal merebut Semarang.

Saudara ipar sekaligus musuh politiknya, Cakraningrat IV dari Madura, berkoalisi lebih dulu dengan VOC. PB II terlalu takut kehilangan takhtanya seandainya VOC menang, tanpa memikirkan perjuangan yang telah dilakukan laskar Tionghoa-Jawa, padahal posisi mereka belum terlampau buruk.

Lagi-lagi kepentingan jangka pendeklah yang menjadi pertimbangan. Idealisme PB II sebagai raja sufi yang saleh runtuh seketika. Fondasi solidaritas Islam yang dibangunnya ikut runtuh. Prinsip ideal raja sabda pandhita ratu tan kena wola-wali hilang dari dirinya. Dengan kata lain plin-plan alias mencla-mencle.

Tak mengherankan jika ia digambarkan dalam pasemon ”gajah meta semune tengu lelaken” (Kajawen, 18 April 1939). Artinya adalah raja besar yang berwibawa, tetapi keberaniannya kecil seperti hewan tungau. [Baca selanjutnya: Destruktif]Destruktif

Penghianatan PB II justru membuat koalisi Tionghoa-Jawa semakin kuat. Koalisi laskar Tionghoa-Jawa  yang dipimpin Sunan Kuning (Raden Mas Garendi) berhasil menjebol tembok Keraton Kartasura. PB II melarikan diri ke Ponorogo.

Tak lama kemudian, Cakraningrat IV berhasil merebut Keraton Kartasura dari kekuasaan laskar Tionghoa-Jawa. Atas desakan VOC, Cakraningrat mengembalikan Keraton Kartasura kepada PB II.

Pada 24 Desember 1742, PB II kembali ke Keraton Kartasura. Kondisi yang tak suci lagi membuat PB II harus memindahkan ibu kota kerajaan. Melalui perhitungan mistis, dipilihlah Desa Sala sebagai ibu kota baru (Radjiman, 2002).

Pada Rabu Pahing, 17 Februari 1745, dilangsungkan prosesi boyong kedhaton disertai beragam sesaji, diikuti seluruh pejabat, abdi dalem, dan kawula Mataram. Boyong kedhaton menghadirkan asa bagi segenap kawula Mataram setelah dilanda huru-hara.

Di balik secercah asa, tersembunyi simbol kekalahan politik terbesar dinasti Mataram. PB II harus menyerahkan sebagian besar wilayah pesisir, Jawa Timur, dan Madura kepada VOC. Ia terikat utang yang harus ditanggung juga oleh kawula Mataram.

Alih-alih meraih keuntungan, justru kemalangan yang didapat. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan nasib PB II akibat sikapnya sendiri.

Memori boyong kedhaton membuktikan politik oportunis berpotensi merusak setiap sendi-sendi negara sebagaimana Mataram kehilangan kedaulatannya. Politik oportunis malah menjadi awal perpecahan dinasti Mataram.

Kekuatan asinglah yang memetik keuntungan sebagaimana VOC semakin mencengkram erat Tanah Jawa. Lagi-lagi, korban utama politik oportunis adalah rakyat sebagaimana pernah dirasakan kawula Mataram pada khususnya dan Jawa pada umumnya.



Jika politik oportunis terbukti menggerus idealisme, bersifat destuktif, dan menyengsarakan rakyat, mengapa hingga kini politik oportunis masih saja dipraktikkan para elite politik kita?

Apakah politik oportunis sudah menjadi candu sehingga para elite politik ketagihan? Jangan sampai Indonesia mengalami nasib yang sama dengan Kerajaan Mataram.

Demikianlah sekelumit sisi lain kisah historis yang mengiringi peringatan hari jadi Kota Solo. Hal ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama bagi para elite politik yang saat ini sedang berebut kue kekuasaan di ”istana”. Dirgahayu Kota Solo!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya