SOLOPOS.COM - Naimatur Rofiqoh

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (17/6/2017). Esai ini karya Naimatur Rofiqoh, ilustrator lepas yang tinggal di Solo dan merupakan alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah naimaturr@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Sejak mata sanggup menerima dan menerjemahkan pesan cahaya, manusia turut menyusun biografi diri sebagai makhluk warna. Manusia tak saja bertemu warna secara saintifik sebagai merah, kuning, hijau, biru, dan seterusnya yang terpatri di alam dan benda-benda.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Manusia bersua pula dengan warna putih kasih ibu dan bapak, berwarna merah membara ketika terpesona asmara, atau keabu-abuan lalu putih saat hendak terjemput ajal. Secara bersahaja Y.B. Mangunwijaya atau Romo Mangun (1988: 213) pernah menuturkan,”Warna memang merupakan sesuatu yang vital bagi perkembangan pribadi dan suasana rasa manusia.”

Warna emosi manusia tidak cukup terbahasakan dalam laku dan ruang. Manusia bernaluri memberi arti benda-benda di tempat hidupnya tak cuma dengan memberi bentuk, tetapi juga memulas benda-benda dan ruang itu dengan warna.

Pilihan warna busana, dinding rumah, lantai, pagar, meja, rak buku mencandrakan keadaan batin pemilik dan meresapkan warna emosi pada si penangkap warna: sendu, tenang, melankolis, atau menggairahkan.

Manusia tak cuma menikmati warna secara artistik, tetapi juga menginginkan warna mengajak diri menapaki jalan batin. Sejak lampau, warna adalah pujaan keppada Sang Pencipta. Rumah-rumah untuk bertemu Tuhan tidak dibiarkan tanpa warna.

Pertemuan dengan Tuhan mesti penuh gairah warna iman. Di Mesir, orang-orang membangun kuil dan patung-patung berwarna untuk meminta berkat Tuhan. Orang India memiliki warna-warna untuk simbol dewa-dewa (Sulasmi Darma Prawira, 1989: 54).

Kita melihat kesadaran warna yang khidmat pada rumah-rumah ibadah karya arsitektur Romo Mangun. Karya arsitekturnya, terutama gereja-gereja, seperti Gereja Bunda Maria Sapta Duka, Gereja Maria Assumpta (Klaten), Gereja Salib Suci (Jakarta), Pertapaan Trapistin Bunda Pemersatu (Salatiga), Seminari Anging Mammiri (Kaliurang), Wisma Salam dan Gereja St. Theresia, juga Wisma Sang Penebus (Yogyakarta) memiliki warna-warna merah, kuning, hijau, biru, cokelat tua, cokelat muda, krem, hitam, dan putih.

Saat merancang bangunan, Romo Mangun memberi pertimbangan psikologis kemanusiaan tak cuma pada bentuk, tetapi juga warna. Warna merah wajar mengesankan rasa gairah dan kehangatan, sedangkan warna biru mengesankan rasa hening dingin. Kuning membuat ria dan hijau membuat hati kita tenang. Putih tidak berbicara apa-apa dan hitam jelas mengatakan kekosongan (1988: 213).

Sebagai arsitek yang rohaniwan, Romo Mangun sadar warna rumah ibadah juga membentuk dan meresapkan ke dalam hati para pendoa sifat psikologis dan teologis yang dikandung warna itu. Biru, kuning, merah, dan putih adalah warna gerejawi.

Biru itu warna Tuhan, kuning milik Yesus, dan merah adalah perlambang Roh Kudus (Sulasmi Darma Prawira, 1989: 55). Saat memasuki Gereja Bunda Maria Sapta Duka di Mendut, Mungkid, Jawa Tengah, para pendoa berada di bawah atap berwarna merah.

Para jemaat berdoa dalam naungan Roh Kudus yang memancarkan gairah dan kehangatan iman. Di Gereja St. Theresia, Salam, Jawa Tengah, kita bertemu Tuhan dalam sunyi putih nan tenang hijau. Gereja Maria Assumpta yang tercandra sebagai burung membentangkan sayap memiliki tiga kolom berwarna biru menyerupai pohon.

Selanjutnya adalah: Biru mempertemukan pendoa dengan wajah Tuhan…

Para Pendoa

Biru mempertemukan para pendoa dengan ”wajah” Tuhan dalam keheningan dingin yang khusyuk. Di jalan-jalan kita semakin sering menemukan rumah ibadah, seperti masjid-masjid (yang paling banyak ditemui), bersolek menor dengan warna-warna megah.

Warna tak lagi mengandung keteduhan dan mengajak para hamba Tuhan melihat dan merasai rengkuhan-Nya. Kita semakin sulit menemukan tubuh-tubuh yang khusyuk menemu Tuhan dalam hening. Tubuh-tubuh yang datang ke rumah Tuhan lebih sering merah meriah dengan hasrat mewartakan diri pada dunia lewat potret-potret.

Romo Mangun dalam Wastu Citra (2013: 10) menyatakan bangunan punya citra sendiri-sendiri dan mewartakan mental dan jiwa seperti apa yang dimiliki oleh pembuatnya. Kita terdiam merenungi betapa rumah ibadah banyak yang kini tinggal sebuah bangunan berpeluk keimanan artifisial.

Mimbar-mimbar tempat ibadah sering tak menyeru pada keimanan yang memberi kedamaian untuk semua umat manusia, tetapi malah membangun tembok pembatas yang dari atasnya menyebarkan alergi terhadap perbedaan antara ”kita” dan ”mereka”.

Kita juga menemui warna yang memberi warta haru serupa di Surabaya (Kompas, 13 September 2016). Kampung Kenjeran bersalin rupa. Rumah-rumah di kampung yang semula kumuh itu dicat dengan pusparagam warna. Jendela, pintu, atap, dan gang-gang berpaving kini berwarna merah jambu, kuning, hijau, dan biru.

Kita sering mengingat kampung jamak dalam warna cokelat tanah, hijau tetumbuhan, kuning riang tawa bocah-bocah berkejaran, biru ibu-ibu memandikan bocah, merah ayam-ayam kampung berlarian. Kampung melambangkan peristiwa dalam berbagai warna.

Kampung-kampung berwarna menyimbolkan pusparagam peristiwa dalam estetika artifisial berpotret bersama untuk wisata. Sekali lagi, kampung bernasib serupa dengan rumah-rumah ibadah yang bersolek dalam warna-warna menor.

Kita mengingat saat Romo Mangun membangun dan mewarnai permukiman di tepi Kali Code, Kota Jogja, yang kumuh dan terancam digusur. Kampung itu kemudian berganti rupa menjadi merah, kuning, hijau, biru, dan hitam dalam pusparagam pola.

Warna-warna tetap berpadu apik dengan tetumbuhan, sumur, dan bebatuan yang dibiarkan dengan watak asli warnanya. Warna-warna itu tak membunuh warna cokelat muda yang dibiarkan pada dinding gedek.



Tubuh-tubuh penghuni kampung serasi dengan kebersahajaan warna kampung. Bagi Romo Mangun, yang ragawi dan rohani itu sebuah emanasi. Rumah memang kita gunakan, namun lebih dari itu, rumah adalah cermin dan bahasa kemanusiaan kita yang bermartabat (1988: 9).

Mata manusia tidak pernah melihat warna hanya dengan mematuhi hukum-hukum fisika. Bagi Romo Mangun, peristiwa melihat (warna) juga secelah jalan menjadi manusia mulia. Kita bisa menyimak pendapat Romo Mangun itu (1995: 20-21).

[…] kita selalu melihat dengan hati, dengan jiwa yang sudah menafsir dan bersikap. […] dengan seluruh kecenderungan dan watak masing-masing, dengan segala simpati atau benci, nafsu atau keinginan hati, dengan seluruh sikap dasar dan cita-cita yang meresapi suasana jiwa pada saat melihat.

Saat melihat, mata mengajak pusparagam motif manusiawi dalam diri bersamanya. Mata tak dibiarkan melihat dengan ketelanjangan optis dua bola mata. Bermula warna, manusia menjadi makhluk paling biadab.

Biadab karena kejam terliput dendam, mendamba kekuasaan dan meraihnya dengan segala cara, sampai jadi makhluk paling hitam. Akhirnya, warna juga menjadikan manusia makhluk paling beradab, mulia, lembut penuh kasih, paling putih.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya