SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (29/2/2016), ditulis Kalis Mardi Asih. Penulis adalah pembaca buku simpatisan Festival Belok Kiri”.

Solopos.com, SOLO — Kita tak kunjung cerdas memaknai wacana kiri, bahkan mungkin memang tak cerdas memosisikan makna ”kiri”. Festival Belok Kiri yang sedianya akan digelar di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki pekan ini harus dibatalkan.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Festival yang digagas Yayat Yatmaka, Dolorosa Sinaga, dan Bilven Gultom itu sebenarnya berisi serangkaian diskusi, pameran grafis, workshop, sekaligus peluncuran buku terbitan Penerbit Ultimus Bandung berjudul Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula.

Sayang seribu sayang, pada pembukaan acara, Sabtu (27/2), massa yang beratribut organisasi kemasyarakatan Islam dan sekelompok kaum muda beratribut Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berusaha membubarkan acara tersebut.

Ekspedisi Mudik 2024

Aparat keamanan memang berjaga, tapi anehnya tidak berusaha mengamankan acara. Kerusuhan terjadi. Panitia telah mengadakan konferensi pers dan membacakan pernyataan sikap secara damai terkait acara, namun berujung tidak dikeluarkannya izin acara.

Festival Belok Kiri itu kemudian dibuka di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl. Diponegoro, Jakarta, dan tetap diselenggarakan hingga 5 Maret mendatang. Penerbit Ultimus adalah penerbit buku-buku wacana dan pemikiran kiri.

Bilven, penggagas Penerbit Ultimus, pada sebuah wawancara dengan Majalah Playboy (2006) pernah berujar, ”Saya dan kawan-kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan.”

Ia juga mengatakan sebuah perubahan (revolusi) seharusnya terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya tidak ada lagi pihak yang memberangus pemikiran pihak lain, juga tidak ada korupsi. Ia tidak memungkiri pada masa lalu filsafat Marx pernah disalahgunakan.

Dari sanalah ia tidak bersepakat ketika ajaran Marx digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk merebut kekuasaan. Bilven bersama pengelola Penerbit Ultimus dan pengelola penerbit-penerbit buku kiri seperti Resist dan Marjin Kiri barangkali telah sangat terbiasa dengan tindakan barbar dan kekerasan yang menyalahpahami gerakan literer mereka.

Festival Belok Kiri adalah ikhtiar yang tak jemu untuk melaksanakan niat baik tersebut. Apa daya, Taman Ismail Marzuki sebagai simbol kebudayaan publik tak sanggup memberi perlindungan pada kemerdekaan berserikat dan berkumpul dan tampak tak memiliki nyali berkonfrontasi dengan kelompok-kelompok tertentu.

Sebagai pembaca buku-buku penerbit di atas, izinkanlah saya menyatakan duka mendalam. Kisah ”kegagalan” Festival Belok Kiri ini adalah bukti masih kuatnya indoktrinasi nilai-nilai Orde Baru yang mengebiri pemikiran-pemikiran lain, selain pembangunanisme dan militerisme. Faksi Islam dalam hal ini beruntung dapat bermesra dengan Orde Baru pada akhir 1980-an hingga 1990-an.

Sekali lagi, peristiwa ini menjadi bukti sebagian warga bangsa ini masih belum mampu memberikan ruang yang berbeda pada diri mereka selaku umat beragama yang bersifat transeden untuk kepentingan spiritualitas mereka dan pada diri yang berjalan di antara riuh sejarah yang kelam dan kepentingan kuasa yang mengorbankan apa pun termasuk ideologi, agama, dan etika politik.

Spanduk yang bertuliskan “PKI Musuh Umat Islam”, “PKI Pembunuh Para Ulama”, “Komunisme Bertentangan dengan Pancasila” kerap kita jumpai. Spanduk demikian muncul tak hanya pada peristiwa pelarangan Festival Belok Kiri, tapi juga tersebar bebas di sudut-sudut Kota Solo dan kota besar lain.

Ada beberapa hal yang harus menjadi kesadaran kita, khususnya generasi muda. Pertama, sebagai generasi muda, kita tak bisa memilih sejarah yang disajikan kepada kita. Sejarah mencatat semua bagian dari berbagai pandangan politik di negeri ini pernah bersalah, baik itu Partai Komunias Indonesia (PKI), partai Islam, maupun partai nasionalis.

Belum tibakah saatnya kita berdamai dengan sejarah dan lebih jernih meletakkan kembali seluruh pandangan kebangsaan dan politik untuk memecahkan soal-soal ontologis dan aksiologis di masa depan?

Kedua, kita harus sama-sama berlapang hati bahwa sejak disahkan pada 1945, Pancasila memang sebuah ideologi kebangsaan yang terlampau terbuka, oleh karenanya pandangan filsafati (worldview) apa pun saling berebut menafsirkannya. Ada sebuah cerita dari artikel K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur di Media Indonesia edisi 8 Oktober 1998 berjudul A. Wahid Hasyim, Islam dan NU.

K.H. A. Wahid Hasyim merupakan salah satu penggagas Piagam Jakarta, dokumen penting yang terkait langsung dengan kelahiran Pancasila. Seperti jamak kita tahu, K.H. A. Wahid Hasyim wafat pada usia yang cukup muda, yakni 39 tahun.

Hal tersebut membuat generasi selanjutnya mengalami kesulitan untuk menafsir dengan tepat pandangan-pandangan politik Islam generasi pendahulu mereka. Gus Dur mengulas ketika K.H. A.Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama pernah membuat kebijakan yang memperbolehkan para perempuan mendaftar di Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN).

Kebijakan ini membuat Gus Dur meyakini pandangan politik K.H. A. Wahid Hasyim merupakan pandangan politik sekuler. Alasan Gus Dur adalah sebagaimana syariat telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, termasuk seorang perempuan yang dinyatakan tidak boleh menjadi hakim agama.

Jika K.H. A. Wahid Hasyim menjadikan syariat sebagai landasan hukum positif negara, seharusnya perempuan tidak boleh belajar di SGHAN sebab lulusan dari sekolah itu kelak akan menjadi guru hakim atau hakim agama. Kini SGHAN adalah salah satu jurusan di Universitas Islam Negeri (UIN). [Baca selanjutnya: Progresif]Progresif

Nurcholish Madjid dalam Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987) mengajukan tesis tentang modernisasi yang ia maknai sebagai rasionalisasi, yakni berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah (hukum ilahi) yang haq (sebab, alam adalah haq).

Relativitas ruang dan waktu yang progresif membuat definisi bersikap rasional sebagai proses ilmiah dalam penemuan kebenaran-kebenaran relatif menuju pada penemuan kebenaran yang mutlak, yakni Allah SWT.

Seseorang tidak berhak mengklaim sebuah kebenaran insani sebagai kebenaran mutlak. Dunia pernah begitu riuh dengan revolusi industri, kapitalisme, bahkan telah menjadi jalan hidup yang pahit dan kita jalani bersam, atau revolusi Islam yang diakhiri oleh Kemal Ataturk di Turki atau Syah Reza Pahlevi di Iran.

Kita menjadikan semuanya sebagai bahan kajian. Seharusnya sekadar meluncurkan buku Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula adalah prestasi tersendiri bagi rakyat dan aktivitas ini berhak memperoleh tempat yang baik pula.



Lagi pula di tempat lain aparat keamanan justru membiarkan kepada kelompok-kelompok orang yang membubarkan pesantren waria di Jogja atau membakar patung Arjuna di kawasan wisata Situ Wanayasa, Purwakarta, dengan alasan takut menyebabkan kemusyrikan.

Negara dan aparat juga membiarkan spanduk arak-arakan kelompok-kelompok orang yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi agama (khilafah). Barangkali narasi kiri memang tidak boleh hidup di negeri ini sebab narasi kiri adalah narasi kelas bawah.

Narasi kiwi memberi kesadaran kepada masyarakat untuk melawan serta memperjuangkan hak yang mengilhami masyarakat untuk membentuk syarikat berkeadilan yang jika berkembang tentu akan berbahaya bagi struktur-struktur pongah yang telah ada. Mungkin demikian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya