SOLOPOS.COM - Sholahuddin

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (13/11/2017). Esai ini karya Sholahuddin, Manajer Penelitian dan Pengembangan Harian Solopos. Alamat e-mail penulis adalah sholahuddin@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO–Belakangan ini terjadi perubahan secara radikal pada lanskap ekonomi dan bisnis di Indonesia. Sektor bisnis konvensional mulai surut, cenderung muram, tapi di sisi lain ada sektor tertentu menunjukkan titik cerah.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Sektor ritel disebut-sebut mulai lesu yang ditandai dengan tutupnya beberapa outlet bermerek dan bernama besar. Beberapa pihak mengatakan suramnya bisnis ritel akibat turunnya daya beli masyarakat.

Di sisi lain fenomena itu terjadi karena perubahan perilaku ekonomi masyarakat. Temuan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan memang terjadi pergeseran (shifting) perilaku dari sebelumnya berbelanja barang kini berubah ke berbelanja untuk bersenang-senang (leisure).

Menurut Kamus Oxford, leisure maknanya use of free time for enjoyment atau menggunakan waktu luang untuk sesuatu yang menggembirakan, seperti berwisata, menonton, menikmati kuliner, menginap di hotel, membeli gadget, dan sebagainya.

Dalam diskusi Business Review 2017: Situasi Anomali? yang digelar Harian Solopos, Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Solo, dan The Sunan Hotel Solo pada 17 Oktober lalu juga mengonfirmasi temuan BPS itu.

Peserta diskusi yang mencakup para pelaku usaha dan akademisi bertestimoni terjadinya pergeseran lanskap bisnis di Soloraya khususnya. Para pengelola mal besar mengeluh pengunjung berkurang banyak dan tentu saja penjualan turun. Pelaku usaha layanan untuk bersenang-senang seperti pariwisata, penerbangan, kuliner tersenyum semringah karena penjualan melonjak.

Selanjutnya adalah: Condong ke arah gaya hidup

Gaya Hidup

Pada saat mengikuti diskusi tersebut saya ngobrol dengan doktor dan pakar manajemen dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Anton A. Setyawan tentang fenomena perilaku masyarakat yang mulai condong ke arah gaya hidup.

Dia mengatakan masyarakat yang cenderung mementingkan aspek gaya hidup itu menunjukkan kebutuhan-kebutuhan hidup dasar masyarakat sudah ”selesai” alias  tercukupi. Dia tidak menafikan adanya kesenjangan sosial di masyarakat.

Ada sekelompok orang yang masih kesulitan sekadar hidup secara layak. Dalam piramida kebutuhan menusia Abraham Maslow, kebutuhan aktualisasi diri berada di puncak piramida.

Ini menandakan orang cenderung berpikir eksistensi diri dalam konteks status sosial setelah kebutuhan pokok sandang, papan, pangan, pendidikan, serta rasa aman  tercukupi. Benarkah? Piramida Maslow memang tak lepas dari kritik.

Secara guyon muncul meme di dunia maya, piramida ala Maslow ini sekarang sudah berubah. Eksistensi diri sekarang menjadi kebutuhan pokok yang mengalahkan kebutuhan lainnya. Apakah benar masyarakat kita tengah bergerak menuju the leisure class?

Dalam perspektif ekonom sekaligus sosiolog Amerika Thorstein Veblen, teori leisure class adalah teori yang menjelaskan motivasi berkonsumsi, aktivitas sekelompok orang memanfaatkan waktu luang, menghabiskan uang untuk kepuasan diri dengan membangun status sosial di lingkungannya.

Veblen mengemukakan teori ini sebagai kritik atas masyarakat kapitalis Amerika Serikat yang cenderung tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Orang hanya mencari uang kemudian menghabiskannnya untuk bersenang-senang. Semakin banyak uang dibelanjakan untuk kesenangan akan dipandang makin tinggi status sosialnya.

Selanjutnya adalah: Dipicu media sosial

Media sosial

Secara sosial, perilaku leisure di masyarakat kita salah satunya dipicu media sosial. Media sosial menjadi etalase, ruang pamer, tempat setiap orang bisa menunjukkan eksistensi diri untuk memperoleh pengakuan orang lain.

Orang cenderung mendokumentasikan semua aktivitas leisure via dunia maya, baik dalam bentuk tulisan, gambar maupun video. Semakin banyak tanda like akan makin memberi kepuasan diri serta bermakna status sosial bagi yang memercayainya.

Perilaku unjuk  diri di media sosial itu akan menular ke orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dalam pandangan Veblen, motivasi orang berkonsumsi sangat dipengaruhi perilaku orang lain bila perilaku itu sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dirinya.

Demi eksistensi diri pula sebagian orang memanipulasi diri dengan menunjukkan etalase hidup yang tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Dalam pandangan teori dramaturgi Erving Goffman, saat berada di media sosial kita berada di panggung depan (front stage), panggung semu, untuk membangun kesan diri atas orang lain.



Individu berusaha menampilkan sosok sesuai kesan yang diinginkan, misalnya kesan kaya, pinter, mesra, saleh, dermawan dan bahkan kesan mesra dengan pasangan hidupnya, padahal boleh jadi kehidupan yang sebenarnya (back stage) tak seperti yang dipertontonkan.

Secara bisnis, semakin banyak orang suka bersenang-senang bisa menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Dalam diskusi di Business Review itu, salah peserta mengatakan,”Kalau Anda mau berbisnis, masuk saja bisnis gaya hidup. Tidak akan ada matinya….”.

Selanjutnya adalah: Bisa kita telaah dengan kritis

Telaah Kritis

Secara sosial, perilaku leisure bisa kita telaah dengan kritis. Demi gaya hidup orang rela mengeluarkan banyak uang untuk menaikkan posisi sosial di lingkungannya. Tak bisa dimungkiri, kelompok leisure class  yang berada di kelas menengah ini terkadang oportunis.

Mereka tak segan menghabiskan uang demi status sosial, tapi mereka masih meminta sebagian kebutuhan hidupnya disubsidi negara. Kelompok-kelompok ini paling keras protes saat pemerintah mencabut subsidi bahan bakat minyak, subsidi listrik, subsidi elpiji bagi mereka. Ya, beginilah ironi Indonesia…

Yang memprihatinkan adalah sikap bersenang-senang kini tidak hanya menyangkut perilaku ekonomi dan sosial, tapi makin jauh masuk pada ranah politik. Orang masuk ke jabatan-jabatan publik tidak dilandasi niat mengabdikan diri untuk kepentingan warga.

Pejabat publik bermakna status sosial, memiliki daya tawar, bisa membangun rente ekonomi untuk menumpuk kekayaan. Perilaku culas pejabat publik di Indonesia  salah satunya dipicu perilaku gaya hidup yang kelewat batas. Jabatan publik bukan lagi sesuatu yang sakral.

Tidak mengherankan, meski ketua lembaga terhormat di negeri ini jadi tersangka, nyaris tak ada politikus yang mempersoalkan. Sebagian malah membela. Maklum, hla wong jadi pejabat publik sekadar untuk mengisi waktu luang, untuk bersenang-senang. Tidak perlu mikir soal muruah wakil rakyat. Alamak…

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya