SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo Panitia Kongres Ki Hadjar Dewantara di Solo 4–5 Mei 2013

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo Panitia Kongres Ki Hadjar Dewantara di Solo 4–5 Mei 2013

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih sibuk mengurusi partai politik. Kita bisa membuktikan di adegan pidato SBY tentang Partai Demokrat saat di Istana Negara, mencengangkan dan memprihatinkan. Kita tak bisa memaklumi atau mengikhlaskan adegan itu terjadi berulang. SBY memang harus bekerja keras mengurusi negara dan Partai Demokrat. Pidato dan rapat tak mencukupi. SBY pun mesti memasuki model komunikasi mutakhir: Twitter.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Presiden sibuk, menteri pun ikut sibuk berlipat ganda akibat ujian nasional dan kurikulum baru. Pelaksanaan ujian nasional amburadul. Kurikulum masih jadi polemik. Menteri cuma mengharap agar publik memahami persoalan-persoalan pelik di jagat pendidikan. Presiden dan menteri minta dipahami tanpa mengajukan permintaan maaf kepada publik.

Orang-orang di parlemen sibuk mempersiapkan diri untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Mereka rela membolos di sidang-sidang paripurna dengan alasan mengurusi tugas-tugas partai politik. Aduh! Menteri-menteri turut masuk daftar calon penghuni gedung parlemen. Sibuk! Ungkapan ini pantas untuk mereka, kaum pembesar dan pejabat.

Mereka tak harus pusing memikirkan pendidikan di Indonesia. Oh! Kita tidak diperkenankan mengganggu atau menghajar dengan kritik. Mereka adalah panutan kita, penentu nasib Indonesia. Kita berdoa saja agar mereka menemukan jalan terang, menghambakan diri demi kepentingan negara dan bangsa. Amin.

Alinea-alinea di atas melatari kesedihan kita atas situasi pendidikan di Indonesia. Penjelasan-penjelasan wagu dari para pembesar tentang ketidakberesan ujian nasional membuktikan ada khilaf ejawantah adab dan ideologi pendidikan. Mereka menganggap pendidikan itu cuma tema alit, serpihan dari misi berindonesia.

Pendidikan ada di ”telapak kaki” kekuasaan, terhinakan oleh kebijakan dan ulah tak beradab kaum politikus. Pengabaian pendidikan sebagai basis berindonesia menguak agenda-agenda politik reduksionis. Politik dipahami sebagai selebrasi jabatan, hasrat berkuasa dan menjajakan kharisma. Pendidikan mirip nukilan renta di abad XXI, ditaruh di lembaran kertas tanpa amalan.

Kita sering melupakan adegan-adegan sejarah dan tokoh-tokoh politik di masa silam. Berpolitik itu mendidik! Anutan itu semakin terang melalui kerja adab dan politik dari Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, PNI. Usulan dan program-progam pendidikan diajukan untuk pemartabatan kaum pribumi, melawan arogansi kolonialisme dan menumbuhkan rangsang nasionalisme.

Politik berjalan, pendidikan dijadikan suluh. Pergerakan politik dan partai politik menghendaki pendidikan menjadi basis atas arsitektur berbangsa-bernegara. Mereka mendirikan kursus dan sekolah, mengantar Indonesia ke peradaban melek-huruf, melek-politik, melek-modernisasi. Kita tentu mengenali Kartini, Soetomo, Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir.

Mereka adalah tokoh pendidikan, berpolitik dengan basis pendidikan. Kehendak mengadabkan kaum pribumi diusahakan oleh Kartini dengan pengajuan nota pendidikan kepada penguasa kolonial. Douwes Dekker mendirikan dan mengurusi sekolah berjuluk Ksatriaan Institut. Soekarno menjadi pengajar alias guru. Soewardi Soerjaningrat justru menekuni ilmu pendidikan saat mengalami hukuman pembuangan di Belanda.

Pendirian Perguruan Taman Siswa (1922) membuktikan amalan pendidikan dan politik. Hatta dan Sjahrir mengajar dan memberi kursus selama mengalami hukuman pembuangan, mengamalkan politik secara beradab. Mereka pun menggerakkan Pendidikan Nasional Indonesia berdalil pendidikan adalah ”kewadjiban politik”. Represi kolonial dalam ordonansi sekolah liar di masa 1930-an dilawan oleh kaum pendidik dan kaum politik. Tokoh-tokoh di pergerakan politik atau partai politik tampil ke depan, mengajukan protes dan perlawanan sengit.

 

Intim

Urusan sekolah, hak pendidikan, guru berpolitik, tak boleh disepelekan oleh kolonial. Gerakan melawan itu membuktikan ada keintiman politik dan pendidikan. Berpolitik itu mendidik! Ikhtiar menjadi manusia politik berarti menjadi pendidik. Mereka tak jera oleh hukuman penjara atau pembuangan. Agenda-agenda pendidikan tetap dijalankan secara bergairah, berpamrih mengadabkan Indonesia.

Sejarah itu tak terbaca oleh kaum politik di Indonesia saat ini. Pendidikan di abad XXI seolah tugas menteri, guru, dosen, orangtua, murid. Kaum politik di DPR dan partai politik tampak tak berurusan dengan pendidikan. Mereka memang berpendidikan untuk menjadi kaum terhormat di gedung parlemen atau pejabat meski tak bermisi pendidikan.

Kita bisa membuktikan dari kontroversi ujian nasional dan kurikulum baru. Kritik dan kecaman bermunculan, mengarah ke kerja menteri dan pejabat-pejabat di institusi pendidikan. Situasi darurat sulit ditanggulangi secara etis dan politis. Keributan tentang ototitas, integritas, tanggung jawab, justru terbiarkan jadi tema bergelimang kecewa dan luka. Kita pun sering menimpakan pengharapan dan sesalan ke birokrasi sebagai ”pelaksana” agenda-agenda pendidikan.

Kita justru lupa, tak menengok ke partai politik dan kaum terhormat di DPR. Mereka tampak sungkan dalam mengatasi situasi darurat pendidikan. DPR mungkin cuma sanggup mengirimkan surat panggilan, menghadirkan menteri ke gedung parlemen untuk diadili. Kita memiliki hak memberi kritik atas ulah kaum politik di DPR dan partai politik.

Mereka itu tekun mengiklankan diri, menampilkan keperlentean dan gagasan-gagasan politik tak merujuk ke pendidikan. Silakan membuka progam-progran kerja partai politik atau agenda-agenda di DPR. Urusan pendidikan cuma ”catatan kaki”, ada di pinggiran misi berpolitik. Hlo! Mereka berpolitik demi kekuasaan, uang, popularitas. Pendidikan sebagai ”kewadjiban politik” digantikan oleh dalil-dalil picisan.

Kecemasan atas situasi pendidikan tak teralami oleh kaum politik di DPR dan partai politik. Mereka masih resah dan bekerja keras demi Pemilu 2014. Kita adalah ”pemikir” dan ”penangung jawab” untuk urusan-urusan pendidikan. Kita tak menginginkan jadi kaum politik tapi memiliki keinsafan tentang signifikansi pendidikan di Indonesia.

Silakan partai politik terus mengumbar janji dan mewartakan kebohongan. Silakan kaum politik mendandani diri agar perlente dan berpolitik demi pamrih-pamrih keserakahan. Kita cuma berharap Indonesia tak lekas rapuh oleh ulah kaum politik. Keinsafan mengurusi pendidikan telah diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Berpolitik tak mesti berkuasa.

Berpolitik melalui pendidikan adalah mewartakan adab dan keindonesiaan untuk menapaki ”kemadjoean” dan masa depan. Ki Hadjar Dewantara memilih pendidikan sebagai basis ikhtiar berindonesia. Kita sering melupakan masa silam, meninggalkan sejarah di buku-buku tua berdebu. Kaum politik kita juga sering abai dan menghinakan sejarah. Mereka berpolitik tapi enggan bereferensi pada peran tokoh-tokoh politik dan pemaknaan pendidikan di awal abad XX. Berpolitik itu seharusnya mendidik! (bandungmawardi@yahoo.co.id)

 

 

 



 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya