SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (25/9/2017). Esai ini karya Suwarmin, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah suwarmin@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO — Hampir setiap pekan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT). Sejumlah kepala daerah ditangkap. Termutakhir, kepala daerah yang ditangkap dalam OTT KPK itu adalah Wali Kota Tegal, Jawa Tengah; Wali Kota Batu, Jawa Timur; dan Wali Kota Cilegon, Banten.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebelumnya sejumlah kepala daerah lainnya telah diciduk KPK, termasuk Bupati Klaten Sri Hartini yang akhirnya divonis 11 tahun penjara. Drama OTT ini seperti layar yang ingin digeber KPK untuk diperlihatkan kepada publik. Rasanya publik sudah semakin terbiasa dengan kabar OTT oleh KPK.

Jangan-jangan masyarakat sudah mulai bosan dengan OTT. Bukan suatu hal yang dramatis ketika seorang bupati, wali kota, atau gubernur ditangkap dan ditahan KPK. Walaupun sudah semakin biasa, bagi publik kabar OTT KPK terhadap pejabat negara selalu seperti angin segar di tengah korupsi yang kian akut.

Ekspedisi Mudik 2024

Ini semacam tengara bahwa keadilan masih ada. Andai KPK ada di setiap kabupaten/kota atau provinsi, mungkin saja OTT akan lebih banyak lagi. Maklum, perilaku korup mudah menjangkiti penguasa karena sistem pemilihan kepala daerah yang mahal dan pemberian upeti yang mentradisi dan membudaya. Citra KPK masih lebih mulia dibandingkan lembaga negara lain, termasuk DPR dan Polri.

Selanjutnya adalah: Di layar sebelah KPK dihakimi seperti pesakitan…

Dihakimi

Sementara di layar sebelah KPK dihardik, dipersalahkan, dihakimi seperti pesakitan. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Henri Yosodiningrat pernah meminta Presiden Joko Widodo membekukan KPK. Pernyataan ini lantas membuat jengah koleganya di pusat maupun daerah.

“Pernyataan itu kebacuten. Ya, dia di Jakarta mungkin tidak pernah berhadapan langsung dengan rakyat kecil. Kami ini malu sama masyarakat. Kalau rakyat disuruh milih, milih KPK atau DPR, hasilnya pasti KPK menang telak,” kata seorang politikus senior PDIP di Solo beberapa saat lalu. Politikus PDIP Aria Bima juga menyayangkan pernyataan Henri.

Wacana ini kemudian padam tertiup angin, tertutup drama yang lain bernama Setya Novanto yang mengaku sakit saat dipanggil KPK untuk diperiksa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik. Apa hasil akhir drama seputar KPK ini? Semuanya masih belum jelas.

Apakah akan terjadi klimaks politik, misalnya KPK menahan Setya Novanto, atau DPR menggembosi KPK dengan revisi undang-undang? Atau diam-diam akan terjadi perdamaian politik, tidak akan terjadi ”jual beli pukulan” antara DPR dengan KPK, yang terjadi bisa saja pembelokan masalah.

Jadi apakah yang sebenarnya terjadi? Apakah ini tentang kerugian negara senilai Rp 2,3 triliun akibat korupsi dana proyek kartu tanda penduduk elektronik sehingga KPK berjibaku membentur tembok tebal bernama DPR? Apakah ini tentang harga diri lembaga negara? Apakah DPR membalas dendam setelah KPK memeriksa sejumlah anggota DPR?

Sungguh banyak kemungkinan yang akan terjadi. Menjadi sangat ironis kalau esensinya bukan tentang benar atau salah, bukan tentang pembelaan atas hak publik dan kebenaran umum. Ribut-ribut para elite lembaga negara ini jelas sangat menjengkelkan di tengah kelesuan ekonomi yang meresahkan.

Selanjutnya adalah: Perseteruan yang hanya seputar menyelamatkan citra…

Menyelamatkan Citra

Lebih menjengkelkan lagi kalau ternyata perseteruan antara DPR dengan KPK atau dengan Polri hanya seputar menyelamatkan citra di depan publik. Seorang teman mencoba berteori dengan mengatakan situasi ini terjadi sebagai imbas dari pemerintahan yang lemah.

Presiden lama-lama bisa kehilangan kewibawaan kalau para penyelenggara negara bertikai sendiri-sendiri, sementara masalah negara menumpuk di depan mata. Dia juga mengatakan sebuah persepsi lain, bahwa Indonesia harus melewati situasi ini sebagai risiko belajar pemerintahan sipil yang sebenarnya.

“Kita dipimpin oleh presiden yang orang kebanyakan. Bukan darah biru politik. Bukan militer pula. Baru kali ini terjadi. Suka tidak suka kita harus terbiasa dengan situasi seperti ini sampai terwujud penguatan masyarakat sipil yang sebenarnya,” kata dia.

Presiden Joko Widodo memilih menarik diri dari gegap gempita pertikaian antara KPK dengan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket untuk KPK. Semuanya diserahkan kepada kedewasaan masing-masing. Semuanya bisa jadi tergantung pada endurance energi masing-masing.

Di sisi lain, Presiden Joko Widodo memuji langkah KPK yang menangkapi para pejabat korup, tetapi di layar sebelahnya lagi malah sedang heboh urusan pro dan kontra menonton bareng film Penumpasan Pengkhiatan G 30 S PKI yang disutradarai Arifin C. Noer. Ah…, negeri ini memang negeri besar yang tak pernah sepi…

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya