Mudhofir Abdullah, Wakil Rektor Bidang Akademik Institut Agama Islam Negeri Surakarta. (FOTO/Istimewa)

PromosiJalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Partai-partai berbasis agama memiliki tugas moral ganda. Mereka bukan saja harus menyerukan moralitas dan politik bersih, tetapi juga merupakan simbol moral itu sendiri. Sebagai simbol moral, partai-partai agama tak boleh salah. Mereka merepresentasikan ajaran Tuhan dan tampil dengan wajah suci. Auranya yang suci membuat partai-partai agama dengan ketat diawasi publik. Inilah pandangan umum masyarakat terhadap mereka.

Ekspedisi Mudik 2024

Karena itu, keterlibatan elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam kasus suap kuota impor daging sapi baru-baru ini dianggap melukai pandangan suci di atas. Ada tugas dan beban ganda yang harus dipikul. Publik kecewa dua atau tiga kali lipat bila partai agama seperti PKS terlibat korupsi. Seruan moral yang menjadi ikon partai ini pun akan tumpul dan perlu waktu lama untuk memulihkannya.

Saya kira, pandangan umum publik tak perlu disalahkan. Itu justru mencerminkan sebuah harapan publik pada peran partai agama dalam memimpin politik bersih dan penuh moralitas. Hanya saja, jika peran moral tak mampu diperankan bahkan justru sebaliknya terperosok dalam permainan politik kotor maka partai agama akan tetap kerdil. Misi sucinya dianggap gagal sehingga dianggap hanya sebagai topeng ”ketuhanan” yang memanipulasi publik untuk kepentingan partai. Inilah, tampaknya, yang menjadi sebab mengapa partai agama dari zaman ke zaman tak pernah besar.

Partai berbasis agama seperti PKS, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) dianggap mewakili ”sayap” Tuhan. Meski mengaku sebagai partai terbuka (terhadap agama, ideologi berbeda dan suku lainnya), partai-partai itu mengartikulasikan aspirasi dan nilai-nilai kitab suci—yang dalam batas-batas tertentu—mengeksploitasi sentimen mazhab dan keagamaan.

Publik menempatkan partai-partai agama sebagai juru bicara Tuhan. Kenyataan ini tak bisa dielakkan karena publik kita sebagian besar masih buta agama sehingga mudah berpandangan semacam itu. Itulah sebabnya, pilar partai agama mudah rapuh hanya karena elite-elite politiknya tak memiliki moralitas kuat dalam menyelenggarakan politik bersih dan berintegritas.

 

Hukum Besi Politik

Sejatinya banyak bukti sejarah yang dapat ditampilkan. Konflik-konflik politik di masa Islam klasik juga terjadi karena isu korupsi dan perebutan kekuasaan. Jatuh bangunnya dinasti-dinasti dalam pemerintahan Islam yang diakibatkan terutama dua faktor itu menunjukkan adanya hukum besi politik. Hukum besi itu mendeskripsikan bahwa idealisasi-idealisasi ajaran agama tak semudah diimplementasikan dalam politik praktis.

Perlu menurunkan tingkat abstraksi ideal-ideal itu sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk praktis. Dan ini sangat sulit. Al-Farabi (pemikir politik muslim klasik) pernah mengusulkan politik ”negara utama” yang hanya mungkin diwujudkan di dalam negeri Tuhan akhirat.

Apa artinya? Sekali agama diturunkan ke dalam ranah politik, ia turun dari wilayah universal ke wilayah partikular. Ia dibatasi oleh unit-unit kebangsaan dan batas-batas teritorial. Agama lalu hanya menjadi gugus-gugus ideologis yang melegitimasi kepentingan partai dan segenap kaum elitenya.

Dalam posisi ini, tak heran jika partai-partai agama tak jarang terlibat korupsi, kisruh, konflik, kolusi dan bentuk-bentuk politik kotor lainnya. Ini terjadi karena agama tidak lagi ditempatkan sebagai panduan moral, tetapi diturunkan sebagai legitimator gerakan politik. Dengan demikian hukum besi politik berlaku.

Jadi, formalisasi agama ke dalam partai menurut saya lebih banyak minusnya. Agama diformalkan hanya untuk dilanggar dan disalahgunakan. Dampaknya bagi agama sangat dahsyat. Lalu apa bedanya dengan partai nonagama? Mana yang lebih penting: lagu atau penyanyinya? Bentuk atau isinya? Ini menegaskan bahwa nilai-nilai agama itu tidak tergantung pada wadahnya, tetapi pada tindakan nyata.

Nilai-nilai agama juga bisa diterapkan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja. Moralitas yang merupakan bagian dari agama, sebenarnya, adalah nilai-nilai universal yang secara fitrah dimiliki oleh setiap manusia beradab. Partai politik tertentu tak boleh menyombongkan diri bahwa mereka paling benar, paling bersih dan paling bermoral.

Memperkuat Isi

Harus diakui bahwa koruptor dan pelanggar hukum hampir merata ada di sejumlah partai politik. Sebaliknya, orang-orang yang jujur juga ada di hampir semua partai politik. Politisi busuk dan politisi bermoral tidak ditentukan oleh asal partainya. Kebaikan dan keburukan adalah milik semua orang. Penguatan moral dan nilai-nilai keadaban lebih penting daripada bentuk partainya.

Jadi dapat ditegaskan bahwa nilai-nilai substantif lebih penting daripada nilai-nilai formalistis.  Argumen ini memungkinkan semua orang dapat memperjuangkan kebaikan-kebaikan melalui partai mana pun. Dan inilah yang lebih baik. Kita dianjurkan untuk tidak meletakkan semua telur di satu tempat karena bisa pecah semua dalam satu kejadian. Variasi strategi dan perjuangan sangatlah perlu sehingga kapasitasnya berdaya guna.

Pengalaman PKS dan partai-partai agama lainnya di masa lalu perlu menjadi pelajaran berharga. Sekali partai agama itu ternoda, ada migrasi besar-besaran orang untuk antiagama atau antipartai agama. Meski pun orang partai yang terlibat, tetapi publik tak mau tahu dan tetap menghakimi partai itu busuk. Sialnya, jika kesan busuk itu lalu berlanjut ke agama asal partai itu.

Harus diakui pula bahwa antara partai sebagai organisasi politik dan agama sebagai institusi Tuhan tak dapat dipisahkan. Keduanya seperti dua sisi pada mata uang koin. Tak mengherankan jika orang mulai mempertanyakan masih relevankah partai agama?    Pertanyaan itu penting karena efek noda oleh partai agama—dalam batas-batas tertentu—bisa melegitimasi orang awam untuk meniru.

Misalnya dengan mengatakan ”jika kiai atau ustaz atau pendeta itu korupsi maka saya pun boleh melakukannya”. Terjadi pendangkalan dan relativisasi nilai agama tersebab perbuatan orang partai agama. Pantaslah jika dulu almarhum Nurcholsih Madjid pernah mengumandangkan ”Islam, yes! Partai Islam, no!” Pesan Cak Nur ini masuk akal dan mulai menjadi pandangan umum masyarakat dewasa ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Rekomendasi