SOLOPOS.COM - Yeni Mulati (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (12/2/2016), ditulis Yeni Mulati. Penulis adalah novelis, bloger, dan pecinta buku yang tinggal di Solo.

Solopos.com, SOLO — Beberapa hari lalu publik dihebohkan tindakan Banyu Biru, putra Eros Djarot, seorang sutradara kondang yang namanya terkenal di kalangan masyarakat. Banyu Biru mengunggah surat keputusan pengangkatannya sebagai anggota Badan Intelijen Negara (BIN).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dalam logika apa pun surat itu seharusnya dirahasiakan, jangan diunggah di media sosial. Reaksi masyarakat sangat beraneka ragam. Ada yang menganggap peristiwa itu konyol. Ada yang merasa sedih dan marah. Ada pula yang menganggap hal itu hanya sebuah peristiwa yang disengaja pihak-pihak tertentu untuk pengalihan isu.

Entah mana yang benar, namun reaksi keras datang dari Kepala BIN, Sutiyoso. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut memastikan Banyu Biru dikeluarkan dari keanggotaan BIN. Sebagai warga negara, saya merasa prihatin dengan kasus tersebut.

BIN adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan tertentu, yang pasti untuk kebaikan negara ini. Sejak dahulu, intelijen atau pada zaman dahulu disebut sebagai telik sandi, memaikan peran penting dalam proses kenegaraan.

Tentu saja menjadi seorang telik sandi harus siap untuk bekerja dalam diam, siap tidak terkenal, dan siap tidak dipuja-puja meskipun jasanya luar biasa. Saya berharap permasalahan ini segera ditangani dan diantisipasi agar tak terulang lagi.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada Banyu Biru? Mengapa dia begitu mudah membocorkan kepada khalayak hal penting yang seharusnya dia rahasiakan? Ada banyak kemungkinan. Salah satu kemungkinan yang cukup besar adalah, bisa jadi, Banyu Biru merupakan salah satu penderita fear of missing out (FOMO) kronis.

Saat ini FOMO sedang menjadi trending topic di sejumlah ruang diskusi publik, khususnya di media sosial. Di lini masa akun media sosial milik saya, misalnya, topik FOMO hingga kini masih dibicarakan dengan berbagai macam analisis, mulai dari yang ringan hingga njlimet khas kalangan akademisi dengan menukil referensi dari sana sini. [Baca selanjutnya: Penyakit Mental]Penyakit Mental

Banyak definisi tentang FOMO. Untuk mudahnya FOMO adalah semacam penyakit mental yang banyak menimpa pengguna media sosial, yaitu semacam kecemasan, ketakutan, keengganan, juga ketidakmauan tertinggal dari suatu informasi.

Cukup menarik karena survei dari MyLive.com menjelaskan 56% manusia di seluruh dunia ternyata mengidap sindrom FOMO. Beberapa indikasi FOMO antara lain keinginan untuk selalu mengaktualkan apa pun peristiwa atau kejadian yang menimpa agar bisa diketahui publik.

Tujuannya untuk pamer atau setidaknya menunjukkan eksistensi kepada publik. Tak mengherankan kita sering menyaksikan para pengguna media sosial berlomba-lomba memberitakan aktivitas mereka, meski hanya aktivitas remeh, misalnya dia sedang di kota ini, sedang makan di restoran itu, sedang bertemu selebritas, atau sekadar check out dari sebuah tempat.

Indikasi FOMO lainnya adalah keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang lain. Muncullah istilah knowing every particular object (KEPO), sebuah perasaan ingin tahu segala sesuatu  tentang orang lain. Keingintahuan ini kadang disertai dengan stalking, alias melacak “hingga sudut-sudut tergelap” dari seseorang. Stalking menjadi sebuah kegiatan yang sangat mengasyikkan.

Uniknya, terkadang sosok yang menjadi objek KEPO bukanlah sosok yang disukai, tetapi justru dibenci. Muncullah istilah haters. Anda memiliki haters? Bisa jadi haters itu lebih tahu detail-detail kehidupan Anda daripada suami atau istri Anda sendiri.

Kecanduan masyarakat kepada gawai dan aktivitas daring memang telah mencapai taraf yang mencemaskan. Kecanduan ini ternyata tak hanya menghinggapi kalangan muda. Kalangan senior terdidik, para lulusan pascasarjana, profesional, pengusaha, dan kalangan yang selama ini dianggap “mapan” tak luput dari demam daring.

Demikian juga kalangan ibu, tak mau kalah untuk eksis di media sosial. Pemandangan tentang sebuah keluarga yang berada dalam satu ruangan, seolah-olah bersama, namun sesungguhnya jiwa mereka tengah mengembara entah ke mana seiring kesibukan mereka berselancar di dunia maya. Ini menjadi sesuatu yang kita lihat sehari-hari.

Kecanduan ini sedemikian hebatnya sehingga banyak kasus yang tampaknya konyol namun benar-benar terjadi. Dari yang ringan seperti gawai yang tercebur bak mandi, hingga masalah yang cukup serius seperti kecelakaan karena menyopir sambil main gawai, maraknya cinta lama bersemi kembali (CLBK), perselingkuhan, hingga perceraian. [Baca selanjutnya: Hiper-Realitas]Hiper-Realitas

Tingginya trafik di website media sosial semacam Facebook, Twitter, Instagram, dan kali ini ada aplikasi-aplikasi semacam Whatsapp, Blackberry Messenger, Line, dan sebagainya, yang bahkan mengalahkan website mesin pencari (search engine) seperti Google, menunjukkan aktivitas daring mayoritas masyarakat kita adalah di media sosial.

Kecenderungan pengguna media sosial untuk selalu up date ternyata telah berhasil membentuk sebuah kenyataan semu. Kita sendiri pun mungkin mengalaminya. Contohnya saat memilih foto yang akan kita gunakan sebagai gambar profil, mungkin kita akan memilih foto yang terbaik.

Terkadang foto itu kita edit sehingga terlihat lebih cantik dari biasanya. Kita tidak berbohong dengan foto itu, namun foto itu bukan tampilan kita sehari-hari. Realitas yang semu ini sering berupa sebuah hiper-realitas.

Menurut Jean Baudrillard, hiper-realitas adalah konsep ketika realitas dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (hyper-sign). Keadaan yang asli berbaur dengan yang palsu, fakta dan rekayasa, dusta dan kebenaran, terkocok dalam sebuah blender kehidupan sehingga akhirnya kita sulit membedakan keduanya.

Hiper-realitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum (jamak: simulacra), atau lebih dikenal sebagai image atau representation.

Hiper-realitas membuat orang akhirnya terjebak pada simulacra dan bukan pada sesuatu yang nyata. Kita mengenal sosok A di media sosial. Bisa jadi si A bukanlah si A yang sebenarnya, namun image/representation dari si A.

FOMO dan simulacrum telah membuat manusia seakan terbang ke dunia yang berbeda. Dunia tempat kita bebas menjadi siapa saja seperti yang kita inginkan. Kita bisa saja mencitrakan diri begitu hebat di mata friends atau followers kita, toh mereka tidak mengamati keseharian kita.

Toh interaksi kita dengan mereka hanya sebatas “dialog dua layar”. Segala prestasi yang kita dapatkan akan kita umbar sehingga ujung-ujungnya orang akan kagum kepada kita. Begitu kuatnya penyakit FOMO itu mencengkeram khalayak, sampai-sampai jemari seseorang yang telah lolos seleksi ketat sebagai anggota BIN ternyata tak cukup sabar untuk menyimpan rahasianya.



SK sebagai anggota BIN dia bagikan kepada publik. Untung saja pihak yang berwewenang bereaksi cepat. Jika tidak, bisa jadi suatu saat kita akan mendapatkan seorang anggota BIN mengunggah foto saat dia berswafoto atau selfie dengan penjahat yang baru saja ditangkapnya dan mencitrakan diri sebagai James Bond si Agen 007.

Bisa saja dia menulis status semacam ini: “Tweeps, saya sedang siap menyergap mangsa nih, doakan proyek ini sukses, ya?” Lalu status itu akan menyebar secara viral di media sosial dengan ribuan jempol dan komentar. Bisa berabe!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya