SOLOPOS.COM - Triyono Lukmantoro (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (19/10/2017). Esai ini karya Triyono Lukmantoro, dosen Sosiologi Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang dan mahasiswa Program Doktor Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah triyonolukmantoro@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Politik identik dengan pemakaian bahasa. Bahasa yang diberdayakan dalam dunia politik tidak sekadar bahasa verbal. Kata-kata, kalimat, paragraf, dan aneka pidato pasti menjadi serangkaian strategi dalam politik itu sendiri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bahasa verbal menyampaikan makna melalui ucapan dari elite politik kepada kerumunan atau publik. Ada bahasa lain yang menyatu dengan berbagai ungkapan verbal. Itulah yang disebut sebagai sisi nonverbal dalam bahasa politik.

Bahasa nonverbal memang tidak terucapkan secara lantang, tapi hal itu yang justru menarik untuk ditelaah. Bahasa nonverbal politik dapat disimak pada kalangan aktornya, yang secara sadar maupun tidak, menggerakkan bagian-bagian tubuh tertentu.

Bahasa nonverbal politik ini, pada akhirnya, memang bahasa tubuh itu sendiri. Ketika berinteraksi dengan sesama pelaku politik, setiap aktor mempunyai gaya bahasa tubuh yang khas. Ada yang mengangguk-anggukkan kepala dengan mantap untuk menunjukkan tanda kesepakatan.

Ada yang senang menunjuk-nunjuk untuk memberikan perintah dengan garang. Ada pula yang bersikap ngapu rancang untuk menunjukkan kesantunan. Peristiwa menarik bahasa politik nonverbal terjadi saat Presiden Joko Widodo melantik Anies Rasyid Baswedan sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Sandiaga Salahudin Uno sebagai wakilnya, Senin sore, 16 Oktober 2017, di Istana Negara.

Ketika memberikan ucapan selamat kepada Anies maupun Sandi, Presiden Joko Widodo sekadar berjabatan tangan. Ada senyum lebar yang menghiasi wajah-wajah yang tampak berbinar-binar itu. Tidak ada adegan cium pipi kanan (cipika) dan, tentu saja, tiada juga aksi cium pipi kiri (cipiki). Rasanya terasa sangat hambar.

Selanjutnya adalah: Berlainan halnya ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla…

Berlainan

Berlainan halnya ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan ucapan selamat bagi pengganti Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat tersebut. Ada adegan cipika-cipiki selain juga senyum yang sedemikian semringah.

Begitu pula ketika Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto menyampaikan selamat. Cipika-cipiki yang terjadi terasa begitu hangat, bahkan Prabowo menepukkan kedua tangannya di dua bahu Anies. Muncul aneka pesan yang dapat dibaca.

Ada luapan rasa bangga karena berhasil memenangi pertarungan politik yang begitu ketat. Dari adegan itu terlihat pula pesan khusus untuk menjaga amanat dari seorang bapak kepada anak-anak pilihannya dalam mengelola ibu kota negara.

Bahasa tubuh, sebagai ungkapan komunikasi nonverbal itu, memang memiliki keunikan. Tentulah tiada diucapkan, tapi bisa mengundang aneka interpretasi. Tidak perlu diberi penegasan, namun justru dianggap mengungkap kejujuran.

Sekadar melalui gerak-gerik itu saja telah mampu menyulut rasa ingin tahu. Itu semua berlangsung karena komunikasi nonverbal tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial maupun situasi verbal yang melingkupinya.

Lebih penting dari itu semua, komunikasi nonverbal itu juga hanya berlangsung sesuai dengan watak kekuasaan yang terjadi. Jadi, adegan cipika-cipiki telah menjadi penanda bahasa tubuh, sekaligus bahasa politik, kalangan elite kekuasaan saat ini.

Perilaku itu hanya terjadi setelah rezim Orde Baru (1966-1998) tumbang. Soeharto tidak pernah menjalankan hal itu selama dia memegang kendali kekuasaan. Soeharto hanya sudi berjabat tangan dengan kalangan elite politik yang lain. Soeharto hanya mengulurkan satu tangannya dengan badan tetap tegap.

Sementara itu, elite-elite politik lain, seraya berjalan tergopoh-gopoh, juga menjulurkan dua tangan mereka sambil membungkukkan tubuh mereka sebegitu takzim. Komunikasi tanpa bicara, karena sekadar senyuman dan jabat tangan, itu telah menunjukkan siapa yang berkedudukan sebagai magnet otoritas tertinggi.

Kebiasaan bercipika-cipiki agaknya mulai berlangsung pada era rezim Presiden B.J. Habibie. Artinya, setelah peristiwa reformasi 1998 itu adegan kalangan elite politik berpelukan dan saling menempelkan pipi kanan serta pipi kiri itu terjadi. Mungkin jika ditelusuri dari mana kebiasaan ini berlangsung, tampaknya, pengaruh kultur Arab yang sedemikian mewarnai.

Selanjutnya adalah: Boleh jadi hal ini sebagai penanda keakraban…

Penanda Keakraban

Boleh jadi hal ini sebagai penanda keakraban di antara orang-orang yang telah saling mengenal, tapi adegan ini bertransformasi sebagai gerak-gerik yang berlaku bagi elite tertentu. Bagi masyarakat awam, dengan status dan pekerjaan yang biasa-biasa saja dalam kehidupan, bercipika-cipiki belum masuk pada kamus pergaulan mereka.

Senyum dan jabatan tangan erat dianggap telah cukup. Bercipika-cipiki sebagai komunikasi politik yang bercorak nonverbal telah menjadi keharusan. Tindakan ini tidak boleh ditingggalkan. Harus dicatat siapa saja yang boleh menjalankan perilaku ini.



Mengapa Presiden Joko Widodo tidak (sudi) menjalankannya kepada Anies serta Sandi? Kenapa Presiden Joko Widodo justru beberapa kali menjalankan cipika-cipiki kepada Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?

Bukankah Anies pernah menjadi anak buah Presiden Joko Widodo selama beberapa waktu ketika menduduki jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? Bukankah Prabowo dan SBY adalah dua orang yang justru sebegitu kritis dan memang beroposisi kepada kekuasan Presiden Joko Widodo?

Dalam perspektif teoretis, komunikasi nonverbal memiliki empat karakteristik, sebagaimana dikemukakan Kathleen S. Verderber, Rudolph F. Verderber, dan Deanna D. Sellnow (Communicate!, 2010).

Pertama, tidak bisa dielakkan. Ketika komunikasi secara verbal berlangsung maka tanpa mampu dihindarkan komunikasi nonverbal pasti terjadi. Kedua, penyampai utama emosi-emosi kita. Marah, sedih, gembira, atau duka cita lebih mampu dihadirkan secara nonverbal daripada digulirkan sebagai hal-hal yang dibicarakan.

Selanjutnya adalah: Ditampilkan dalam berbagai cara…

Berbagai Cara

Ketiga, ditampilkan dalam berbagai cara. Postur, gestur, gerak tubuh, penampilan fisik, dan kebiasaan-kebiasaan pengucapan vokal dengan cara tertentu adalah gerak-gerik yang lazim sebagai komunikasi nonverbal.

Keempat, bersifat ambigu. Makna dari pesan komunikasi nonverbal itu tidak bisa dipastikan 100% kecuali harus melacak nilai-nilai konvensi kebudayaan yang mengitarinya. Dalam sudut pandang demikian, cipika-cipiki merupakan penanda erat- tidaknya jalinan komunikasi verbal yang berlangsung di antara elite politik itu.

Aksi itu juga bisa dimaknai sebagai bentuk luapan emosi kegembiraan. Selain itu, perasaan kedekatan dan bahkan keintiman juga bisa terkuak dari persentuhan dua pipi tersebut. Tentulah cipika-cipiki tidak bisa terlepas dari kepentingan politik yang hendak dimainkan elite politik.

Tidak mungkin elite politik, yang baru saja saling kenal, lantas bercipika-cipiki. Mereka yang telah saling akrab, entah sebagai kawan sejalan atau lawan yang bertentangan, pasti terbiasa dengan tindakan ini. Bisa jadi, tindakan ini diperlihatkan untuk menunjukkan keramahan.

Hal yang tidak terhindarkan pula adalah adegan ini bisa dimaknai sebagai upaya untuk merangkul lawan.     Dalam kasus Anies-Sandi, ketidakmauan Presiden Joko Widodo bercipika-cipiki ialah tanda jarak sosial, antara yang berkuasa dan yang tidak berkuasa, juga antara yang berposisi lebih tinggi dan lebih rendah, sengaja terus-menerus dijaga.

Dalam interpretasi lain, Presiden Joko Widodo memang sama sekali tidak memberikan dukungan politik kepada pasangan Anies-Sandi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Pada peristiwa itu, terjadi gesekan sosial yang demikian keras dengan basis politik identitas begitu hebat.

Latar belakang politik itulah yang bisa menjawab mengapa Jusuf Kalla dan Prabowo sudi bercipika-cipiki dengan duet gubernur-wakil gubernur baru DKI Jakarta itu.Cipika-cipiki ialah bahasa tubuh dan bahasa politik. Ke(tidak)mesraan pun dapat dibaca dari sana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya