SOLOPOS.COM - Dhanu Priyo Prabowo, Peneliti Sastra dan Bahasa di Balai Bahasa Yogyakarta

Dhanu Priyo Prabowo, Peneliti Sastra dan Bahasa di Balai Bahasa Yogyakarta

Di tengah hiruk-pikuk masyarakat memperingati hari-hari penting, ada satu hari penting yang sering luput dari perhatian warga bangsa Indonesia, yaitu Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari.  Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional dua hari lalu itu seakan tanpa jejak, tak ada acara khusus, kecuali di beberapa komunitas dan perguruan tinggi, seperti Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Mungkin masyarakat tidak memedulikan hari yang telah disahkan oleh UNESCO pada 17 November 1999 itu. Penyebabnya bisa bermacam-macam, salah satunya: apa uniknya Hari Bahasa Ibu Internasional itu? Ajip Rosidi dalam bukunya Bahasa Indonesia Bahasa Kita: Akan Diganti dengan Bahasa Inggris? (2010, cetakan ke-4) menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan istilah ”bahasa ibu” adalah yang selama ini biasa disebut dengan istilah ”bahasa daerah”. Menurut dia, istilah ”bahasa daerah” kurang tepat karena pada kenyataannya bahasa-bahasa tersebut tidak mempunyai daerah yang khusus.

Misalnya, bahasa Jawa, kecuali digunakan di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, juga digunakan di Jawa Barat (Cirebon dan Banten). Selain itu, juga di tempat-tempat permukiman para transmigran di luar Pulau Jawa. Di kota-kota besar di luar Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta seperti di Jakarta dan Bandung, misalnya, ada komunitas yang mempergunakan bahasa Jawa. Ia memberikan contoh di Bandung pernah ada wayang wong dan ketoprak dalam bahasa Jawa. Demikian pula di Deli (Sumatra bagian timur) banyak komunitas yang berbahasa Jawa dan mempunyai kelompok kesenian Jawa. Di Suriname juga terdapat komunitas berbahasa Jawa.

Ekspedisi Mudik 2024

Bahasa Sunda tidak hanya digunakan di wilayah Jawa Barat dan Banten. Di beberapa wilayah yang secara administratif termasuk provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Cilacap dan Brebes, sebagian masyarakatnya mempergunakan bahasa Sunda. Sastrawan dwi bahasa (Indonesia dan Sunda) itu menambahkan bahwa di Jakarta dan kota-kota lain bahasa Sunda juga dipergunakan sebagai alat komunikasi. Sebaliknya di daerah-daerah itu tidak hanya terdapat bahasa yang bersangkutan saja, karena selain bahasa Jawa, di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga ada bahasa Madura, bahasa Osing dan bahasa Sunda.

Di Jawa Barat, selain bahasa Sunda, juga ada bahasa Jawa dan bahasa Betawi. Jadi, bahasa Betawi tak hanya ada di Jakarta dan digunakan warga Jakarta saja. Bahasa Betawi bahkan juga digunakan di Jawa Tengah, yakni oleh warga Jawa Tengah yang merantau ke Jakarta dan ketika pulang ke daerah asal tetap menggunakan idiom-idiom bahasa Betawi.

Dengan adanya kenyataan itu, Ajip Rosidi tidak sependapat dengan istilah ”bahasa daerah”, bahkan istilah itu terasa tidak tepat karena penggunaan bahasa-bahasa itu tidak terbatas di daerah-daerah tertentu. Menut Ketua Yayasan Rancage itu, istilah ”bahasa ibu” lebih tepat (daripada bahasa daerah) karena memang dipergunakan oleh para ibu dengan anaknya, lagi pula istilah sesuai dengan istilah yang digunakan UNESCO: mother language.

Hasil penelitian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2012, dengan mengambil sampel di 70 lokasi di wilayah Maluku dan Papua, ditemukan jumlah bahasa dan sub-bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Tahun berikutnya, kemungkinan, jumlahnya akan menembus 600 jenis karena penelitian kembali dilakukan dengan mengambil sampel di 109 wilayah.

Dari sekian banyak bahasa ibu, ada yang sudah tertulis/teraksara tetapi juga ada yang masih dalam bentuk bahasa lisan. Pandji R Hadinoto dari Gerakan Kebudayaan Nusantara demi Ketahanan Sosial Budaya Indonesia menyatakan bahwa aksara Nusantara yang kini sudah mengglobal adalah aksara-aksara tradisi dari Bugis/Lontara, Bali, Rejang, Sunda, Jawa  dan Batak, karena memang sudah diakui dan terdaftar di Unicode/UNESCO Consortium. Ia berpendapat sudah saatnya kini aksara-aksara Nusantara tersebut di atas kembali diperkenalkan untuk dipergunakan dan dimasyarakatkan wujudnya di Nusantara.

Kiprah aksara-aksara Nusantara merupakan penyanding huruf Latin yang mengekspresikan nama-nama diri, rumah, jalan dan jembatan, kampung atau desa, kelurahan, kecamatan, kota, kabupaten, provinsi, warung, toko, gedung, kawasan perumahan dan industri, judul lagu atau tembang dan lain sebagainya. Pemakaian aksara Nusantara itu pada hakikatnya juga memperteguh jati diri (eksistensi) bangsa.

Bangsa Thailand, China, Vietnam, Kamboja, Jepang, Korea, Arab, dan sebagainya adalah contoh-contoh konkret bangsa-bangsa yang memiliki karakter. Mereka dapat menunjukkan kepada dunia bahwa keberadaan mereka sebagai bangsa dapat disimak dari lambang-lambang gagasan (aksara) yang mereka miliki.

 

Menghargai

Namun, gambaran seperti itu hendaknya kita refleksikan kembali ke dalam kenyataan sehari-hari, khususnya terhadap bahasa ibu. Bahasa ibu itu dipergunakan oleh puluhan juta orang (Jawa dan Sunda) sebagai alat komunikasi mereka, paling tidak dalam acara-acara nonresmi (nonperkantoran). Namun, suasananya semakin ”murung” setelah bahasa ibu tidak (akan) lagi sebagai mata pelajaran mandiri, tetapi hanya akan disubordinasikan dengan mata pelajaran lainnya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh mengatakan bahasa daerah tetap ada yakni di kolom kurikulum seni budaya dan prakarya. Daerah-daerah dipersilakan memasukkan bahasa ibu dalam kurikulum seni budaya dan prakarya itu.

Pergulatan bahasa ibu untuk tetap bertahan memang tidak ringan. Orang-orang dengan berbahasa ibu dengan pengguna mayoritas di Indonesia (Jawa dan Sunda) banyak yang tidak mau dengan setulus hati menggunakannya. Orang-orang itu merasa lebih ”percaya diri” apabila menyampaikan pendapat mereka dengan bahasa Indonesia. Barangkali untuk acara resmi, kita masih dapat memahaminya. Akan tetapi, kenyataannya dalam komunikasi sehari-hari di tengah keluarga atau dalam acara yang tidak resmi, keinginan menggunakan bahasa Indonesia lebih besar daripada dengan bahasa ibu.

Bahasa Jawa, misalnya, di samping sebagai media penyampai gagasan, juga mengajarkan si pemakai untuk dapat bertata kromo. Dalam pandangan pragmatis, undha-usuk atau tingkat tutur menjadi sangat tidak efektif sebagai sarana penyampaian ide/pikiran. Ada yang mengatakan rumit, feodal dan tidak familier. Bahasa Jawa memang mengandung ajaran bagi mereka yang memakai untuk dapat mengendalikan diri (emosinya). Ketika ia berbicara dengan orang lain dengan undha-usuk kromo, ia akan sangat sulit untuk mengeluarkan kemarahan. Si penutur pasti akan berusaha untuk menahan amarah karena tingkat tutur itu memang tidak efektif untuk ekspresi marah.

Itu baru sebuah contoh, masih banyak ”pendidikan” yang dapat diserap dari bahasa ibu. Seperti seorang ibu, bahasa ibu selalu mengajarkan kearifan pada anak-anaknya. Ibu tidak akan pernah mendidik anaknya menjadi seorang berandalan, demikian pula dengan bahasa ibu. Bahasa ibu, misalnya Jawa, mengajak anak-anak untuk dapat menghargai bukan hanya perasaan tetapi juga perilaku orang lain. Jika sekarang banyak perilaku menyimpang dari anak-anak keluarga Jawa, pertama-tama bukan karena mereka tidak suka, tetapi karena mereka tidak pernah diperkenalkan dengan bijaksana terhadap bahasa ibunya (yang memberikan keteduhan jiwa).

Kalau anak-anak dari keluarga Jawa tidak lagi dapat berperilaku sopan kepada mereka yang lebih tua (ayah, ibu, saudara dan sebagainya), jangan terus mereka dikambinghitamkan. Pertanyaannya: apakah anak-anak kita telah kita beri ruang yang cukup untuk mengenal bahasa ibu mereka di tengah keluarganya? Barangkali pertanyaan ini sulit untuk dijawab pada saat ini oleh keluarga Jawa yang berbahasa ibu bahasa Jawa, karena mereka tidak memahami apa sebenarnya yang mereka alami. Benarkah?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya