SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (11/5/2015), ditulis Tundjung W. Sutirto. Penulis adalah pemerhati budaya dan dosen ilmu sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Rakyat Inggris dan dunia menyambut dengan penuh sukacita ketika anak kedua Pangeran William dan istrinya Kate Middleton lahir. Anak kedua ”adipati” William dan Kate yang berjenis kelamin perempuan itu diberi nama Charlotte Elizabeth Diana.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gelar juga sudah diberikan oleh pihak kerajaan kepada Charlotte dengan sebutan Her Royal Highness Princess Charlotte of Cambridge atau Yang Mulia Putri Charlotte dari Cambridge. Gelar kehormatan itu diberikan karena secara otomatis Charlotte adalah pewaris takhta urutan keempat di kerajaan Three Lions itu.

Kelahiran Charlotte itu otomatis menggeser posisi sang paman, yaitu Pangeran Harry, yang berada di urutan kelima. Dasar urutan pewaris ditentukan dalam perkembangan konstitusi yang berpuncak pada Bill of Rights (1689) and Act of Settlement (1701).

Ditambah juga ada ”paugeran” bagi anggota kerajaan penganut Katolik Roma tak akan masuk urutan pewaris takhta. Demikian pula penguasa yang menikahi seorang Katolik Roma atau anggota keluarga kerajaan yang menikahi seorang Katolik harus menyerahkan hak atas takhtanya sehingga sangatlah ketat dan transparan suksesi di Inggris.

Saat Ratu Elizabeth II nanti mangkat maka sudah ada stok pewaris yang sah dan diterima oleh siapa pun baik dari kalangan istana maupun masyarakat luas. Pewaris pertama tentu Pangeran Charles yang saat ini bergelar Prince of Wales.

Setelah Charles di urutan kedua adalah ”sang adipati” William yang bergelar Prince William of Wales. Setelah itu kedua anak Pangeran William, George dan Charlote. Jadi, Charlotte adalah perempuan urutan pertama yang punya hak takhta kerajaan,

Setelah itu ada banyak perempuan yang punya hak menduduki deretan pewaris seperti Putri Beatrice  dan Putri Eugenie dari York yang keduanya merupakan anak Pangeran Andrew, yaitu ”mbahliknya” Charlotte.

Kemudian dalam deretan panjang pewaris takhta Inggris Raya itu masih ada lagi perempuan-perempuan yang sah menduduki takhta nantinya. Bagi Kerajaan Inggris soal suksesi sudah ada paugeran yang diakui oleh siapa saja termasuk tampilnya perempuan sebagai penguasa tertinggi yang akan bertempat di Istana Buckingham.

Lain Inggris lain pula Mataram. Dalam tradisi Mataram pewaris takhta adalah anak laki-laki. Kaidah pewaris haruslah anak laki-laki itu selalu menjadi persoalan politik kerajaan jika raja yang sedang berkuasa tidak mempunyai keturunan laki-laki.

Intrik dalam sejarah suksesi Mataram sering kali terjadi dan melahirkan krisis.  Misalnya, kurun 1834-1858 terjadi krisis suksesi di Keraton Surakarta sejak wafatnya Pangeran Buminata pada 1834 yang telah menyandang putra mahkota.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi antara 1834 dan 1858 di Keraton Solo berfokus pada masalah suksesi. Demikan halnya di Jogja dalam kurun waktu 1847 dan 1869 adalah masa yang diwarnai dengan intrik suksesi.

Bahwa Sultan Hamengku Buwono V yang naik takhta sejak 1828 tidak pernah dikaruniai putra lak-laki. Meskipun sudah berkali-kali menikah dia juga tidak mendapatkan putra dari istri-istri resminya.

Sementara dari selir-selirnya memberikan sejumlah anak perempuan, tetapi pada 1840 hanya satu yang masih bertahan hidup yaitu Raden Ajeng Sukinah yang baru berumur tiga tahun (Mandoyokusumo, 1977: 43).

Jadi, bukan peristiwa yang unik dan aneh yang terjadi di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tatkala Sultan tidak memiliki keturunan atau semua keturunannya adalah perempuan.

Yang penting dalam tradisi pewarisan takhta di dinasti Mataram adalah anak atau sudara laki-laki raja yang sedang berkuasa yang tampil penggantian takhta karena pancer (genealogi) atau karena faktor politik eksternal yaitu penguasa Hindia Belanda yang saat itu ikut bermain.

Ketika Sultan Hamengku Buwono X pada 30 April 2015 mengangkat G.K.R. Pembayun anak perempuan sulungnya dengan gelar G.K.R. Mangkubumi wajar kegegeran muncul di kalangan internal dan masyarakat.

Ada anggapan Sultan Hamengku Buwono X [kini Hamengku Bawono X]  “durhaka” kepada para leluhur Mataram karena telah merusak tatanan dengan mengangkat perempuan sebagai putri mahkota yang berarti secara simbolis disiapkan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. [Baca selanjutnya: Revolusi Simbolis]

 

Revolusi Simbolis
Preferensi laki-laki dalam pancer takhta Mataram akan berganti menjadi perempuan yang entah apa gelarnya nanti. Sekalipun tidak ada sabda raja yang eksplisit bahwa Pembayun adalah putra atau putri mahkota tetapi karena penggunaan nama Mangkubumi itu simbolis dalam tradisi Keraton Jogja maka tersiratlah peluangnya sebagai putri mahkota.

Bahwa nama Mangkubumi bagi Pembayun itu nulad asma para pendahulunya yaitu Sultan Hamengku Buwono I dan berikutnya yang dahulu bernama Mangkubumi. Dengan pemberian nama Mangkubumi kepada Pembayun maka Sultan sebenarnya sedang melakukan revolusi kebudayaan Mataram dengan jalan simbolis.

Demikian juga dengan menanggalkan gelar Khalifatullah yang esensinya adalah wali negara dalam pandangan Islam maka secara simbolis Sultan memutus beban sejarah bahwa tidak mungkin Khalifatullah itu dijabat oleh seorang perempuan.

Jadi, sabda raja Sultan yang penuh kontroversi itu dimaknai oleh banyak kalangan sebagai perlawanan kepada para leluhur Mataram. Di sisi lain tidak ada keraguan soal kemampuan Pembayun dalam memimpin.

Sederet pengalaman berorganisasi dan latar belakang pendidikan modern yang dilaluinya tentu memberi bobot kepada kapasitas dan kualitas dirinya.  Lagi pula tidak ada persoalan di era sekarang perempuan menjadi pemimpin.



Gubernur Banten pun pernah dijabat seorang perempuan. Jika Pembayun benar-benar disiapkan Sultan untuk menggantikan kedudukannya kelak maka Pembayun adalah perempuan pertama dari anak turun garis Ki Ageng Pemanahan yang menduduki takhta kerajaan sekaligus sebagai gubernur.

Sultan juga bersabda akan mengubah perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring terkait ”revolusi” yang digulirkan kali ini. Tentu laku spiritual satu-satunya strategi yang akan dilakukan oleh Sultan karena tindakan Sultan mengubah perjanjian itu dari pandangan ilmu sejarah adalah anakronistis.

Bagi trah Mataram yang selama ini merasa establish dengan paugeran adat akan terancam eksistensi mereka jika sabda raja itu diapresiasi oleh kalangan luas. Kita sedang ditunjuki kontras kejadian antara dua kerajaan di dunia antara pewaris Kerajaan Inggris dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Di Inggris ingar-bingar menyambut hadirnya sosok perempuan bernama Charlotte sebagai pewaris sah takhta. Sementara di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga ingar-bingar kontroversi dengan hadirnya sosok perempuan Pembayun sebagai ”yang disiapkan” untuk menjadi pewaris takhta dengan menerobos preferensi laki-laki yang berabad-abad sudah berjalan.

Kita tentu akan menunggu skenario selanjutnya dari Sultan, terutama bagaimana menjelaskan fenomena spiritual dan ritual terkait hubungan seorang penguasa kerajaan di tanah Jawa dengan Kangjeng Ratu Kencana atau Kangjeng Ratu Kidul yang bersosok perempuan.

Dalam pandangan magis, setiap raja Jawa pewaris takhta Mataram haruslah ”bersatu” secara sosok visual dan spiritual. Jika Pembayun benar menjadi Sultan perempuan, apakah Kangjeng Ratu Kidul juga siap untuk menjadi ”lesbian”? Wallahu a’lam…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya