SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi
bandungmawardi@yahoo.co.id
Pengelola Jagat Abjad Solo

Berita tentang pemecatan pegawai honorer di Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu, Riau, akibat tak mengikuti salat Subuh berjemaah mengandung pesan ganjil atas relasi agama dan politik di Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berita yang mengemuka pada pertenganan Desember tahun lalu itu menunjukkan peraturan tentang salat secara berjemaah oleh penguasa adalah representasi dari ambiguitas berpolitik dan beragama.

Kita curiga ada agenda pembentukan kesalehan dalam birokrasi tapi mengesankan ada politisasi. Kasus ganjil dari Riau ini membuktikan kita terlalu lama abai sejarah mengenai signifikansi salat dalam agenda berpolitik para penggerak bangsa sejak masa kolonialisme.

Sepucuk surat Soekarno untuk T.A. Hassan, tokoh Persatuan Islam di Bandung, 1 Desember 1934, berisi tentang hasrat belajar agama. Soekarno menulis surat itu di Endeh (Flores), berlaku sebagai manusia terhukum akibat ulah politik melawan kolonial.

Di pengasingan, Soekarno tergerak mempelajari agama Islam. Korespondensi antara Soekarno dan T.A. Hassan membuktikan keseriusan mempelajari agama berbarengan menggerakkan ide-ide politik.

Di surat pendek, Soekarno minta agar T.A. Hassan mengirimi buku Pengadjaran Shalat. Buku susunan T.A. Hassan ini terkenal di kalangan umat Islam sejak masa 1930-an.

Soekarno tak cuma manusia politik. Soekarno juga manusia religius, mengartikan agama dalam pelbagai amalan kehidupan. Barangkali hasrat religius itu bertumbuh sejak hidup di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya.

Kesadaran religius bersinggungan dengan politik dijelaskan Soekarno dalam risalah memikat berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme (1926). Represi kolonial justru menggerakkan Soekarno membaca buku-buku agama, berpikir tentang Islam di Indonesia.

Pada 25 Januari 1935, Soekarno menitip pesan kepada T.A. Hassan agar disampaikan ke Muhammad Natsir. Isi pesan: “Haraplah sampaikan saja poenja compliment kepada Toean Natsir atas ia poenja toelisan-toelisan jang memakai bahasa Belanda, antara lain ia poenja inleiding di dalam Komt tot het Gebed adalah menarik hati.”

Soekarno mengapresiasi buku M. Natsir berjudul Komt tot het Gebed (Marilah Shalat), terbit 1931. Salat menjadi urusan penting dalam kehidupan Soekarno di masa 1930-an. Buku M. Natsir memang sengaja ditulis dalam bahasa Belanda. Di buku mengenai salat, M. Natsir menggunakan nama samaran: Muadzin.

Buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 1955. Argumentasi M. Natsir menulis buku Komt tot het Gebed: ”… untuk melajani saudara-saudara kita, jang oleh karena pendidikan istimewa jang diterimanja, maka bahasa sendiri banjak sedikitnja djadi asing baginja. Pengarang ingin mentjapai mereka untuk mendjelaskan kepadanja apa dasar dan dalil-dalil Islam itu. Diusahakan menjusun uraian ini berpedoman kepada tjara berpikir lingkungan jang ditudju.”

M. Natsir berlaku sebagai orang peka zaman, mengajukan buku agama untuk elite terpelajar pribumi berbahasa Belanda. Soekarno menganggap buku susunan M. Natsir itu apik dan ”menarik hati”.

Soekarno membaca buku Pedoman Shalat dan Komt tot het Gebed sebagai pembuktian mempelajari agama. M. Natsir mengakui bahwa buku Pedoman Shalat susunan T.A. Hassan menjadi pedoman dalam penulisan Komt tot het Gebed.

Shalat telah menjadi urusan penting dalam biografi Soekarno dan arus pergerakan politik di Indonesia. Politik tak cuma berbekal protes atau orasi. Basis politik bisa merujuk ke agama.

Salat pun menjadi penentu dari olahan iman dan ideologi untuk melawan kolonialisme, membarakan sosialisme dan nasionalisme. Kita bisa mengingat penjelasan H.O.S. Tjokroaminoto dalam buku Islam dan Sosialisme (1924).

Tokoh Sarekat Islam itu menganggap salat adalah representasi dari sifat Islam: sosialisme. Pelaksanaan ibadah salat berjemaah membuktikan orang tidak membedakan warna kulit, derajat, etnis. Salat menghadirkan ”persaudaraan yang mesra”.

H.O.S. Tjokroaminoto menganggap salat adalah ejawantah sosialisme, memengaruhi amalan Islam dalam berbangsa dan bernegara. Anggapan ini mengacu ke teladan Muhammad dalam menjelaskan dasar sosialisme melalui salat.

Ibadah salat menggerakkan orang untuk ”kemadjuan achlak dan kemadjuan budi-pekerti”. Soekarno belajar pada H.O.S Tjokroaminoto, T.A. Hassan, M. Natsir dalam mengerti Islam dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, dari ibadah sampai urusan politik. Agenda belajar agama dilakukan Soekarno dengan membaca buku dan korespondensi, selama menjalani masa pengasingan di Endeh.

 

 

Kegelisahan

Soekarno membuat pengakuan pada 17 Juli 1935: Nah, begitoelah keadaan saja di Endeh: maoe menambah pengetahoean, tetapi koerang petoendjoek. Poelang balik kepada boekoe-boekoe jang ada sadja. Padahal buku-buku jang tertoelis oleh autoriteit-autoriteit keislaman pun, masih ada jang mengandoeng beberapa pasal jang beloem memoeaskan hati saja, kadang-kadang malahan tertolak oleh hati dan ingatan saja. Kalau dinegeri ramai, tentoe lebih gampang melebarkan saja poenja sajap.

Soekarno selama ini dikenal sebagai pemikir dan penggerak politik. Kita telah lama abai melihat Soekarno sebagai pemikir soal-soal agama dan berikhtiar menjadi manusia religius. Soekarno memang sering dipandang ada di pinggiran diskursus agama atau politik Islam.



Soekarno cenderung membarakan nasionalisme, menempatkan agama di halaman-halaman belakang meski termanifestasikan dalam agenda politik, sejak berperan sebagai tokoh pergerakan sampai saat berkedudukan sebagai penguasa.

Di masa 1930-an, Soekarno menginsafi diri sebagai manusia religius, menekuni tema-tema agama: membaca buku dan korespondensi. Soekarno telah berikhtiar mengerti dan mengamalkan Islam meski lahir di keluarga tanpa tradisi mengaji Alquran setiap hari.

Soekarno mulai mengenal Islam secara menakjubkan saat remaja, hidup di rumah H.O.S. Tjokroaminoto selaku penggerak Sarekat Islam. Pembelajaran dan tasfir atas ajaran-ajaran Islam terus dilangsungkan meski harus hidup di penjara dan tanah pengasingan.

Islam adalah referensi. Salat menjadi urusan besar dalam menentukan gerakan politik dan agama di negeri terjajah, di masa 1930-an. Soekarno mulai mengartikan salat dalam bingkai pemahaman tentang politik pembebasan, nasionalisme, sosialisme, kemajuan.

Kita perlahan mengerti tentang ambiguitas Soekarno dalam arus pergerakan politik dan pemikiran agama di Indonesia. Soekarno berhasrat menjadi manusia religius meski sulit mengelak dari tikungan politik.

Di halaman-halaman sejarah, Soekarno sering dituduh ”berseberangan” dengan umat Islam saat menjalankan agenda-agenda politik selama masa Orde Lama. Tuduhan itu politis, mengabaikan gejolak religiositas Soekarno, sejak kecil sampai menjadi penguasa.

Episode kehidupan Soekarno di Endeh membuktikan ada kegelisahan dalam laku berpolitik dan beragama. Ikhtiar mempelajari dan mengamalkan salat melalui rujukan buku-buku T.A. Hassan dan M. Natsir mengartikan ada pemaknaan kompleks.

Salat adalah ibadah, memengaruhi adab dan siasat dalam berpolitik. Soekarno tampil sebagai pelaku untuk memajukan Islam berbarengan agenda nasionalisme dan kemajuan di Indonesia meski menimbulkan salah pengertian, dari dulu sampai sekarang.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya