SOLOPOS.COM - Agus Riewanto (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (9/8/2017). Esai ini karya Agus Riewanto, doktor Ilmu Hukum dan dosen di Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah agusriewanto@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Dalam beberapa tahun belakangan ini perhatian publik tertuju pada desa. Desa kini menjadi ikon baru dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo seiring disahkannya UU No. 6/2014 tentang Desa.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Politik otonomi daerah kini diproyeksikan ke penguatan otonomi desa dengan memperkuat basis pembangunan di kawasan perdesaan. Ini memang tercermin dalam program Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang menempatkan prioritas pembangunan negara dimulai dari desa.

Salah satu isu krusial tentang desa adalah persoalan akuntabilitas pengelolaan dana desa.  Dalam ketentuan Pasal 72 ayat (2 ) UU No. 6/2014 tentang Desa dinyatakan dalam rangka memakmurkan desa maka disusunlah model keuangan desa.

Akuntabilitas pengelolaan dana desa kini menjadi sorotan publik seiring dengan makin banyaknya kasus korupsi dana desa yang dilakukan aparatur pemerintah desa yang bersekongkol dengan elite politik pemerintah kabupaten.

Paling tidak, menurut catatan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sejak 2015 dalam penyaluran dana ke desa telah terjadi 48 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum. Kasus ini tersebar di 16 provinsi di Indonesia.

Kasus dugaan korupsi dana desa  yang paling mutakhir terungkap berkat operasi yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pamekasan. KPK menangkap Bupati Pamekasan, Kepala Inspektorat Kabupaten Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Pamekasan, dan sejumlah orang lainnya dalam kasus dugaan suap pengamanan korupsi dana desa senilai lebih dari Rp250 juta (Solopos edisi 4 Agustus 2017).

Selanjutnya adalah: Korupsi telah mewabah di desa…

Mewabah

Ini mencerminkan korupsi telah mewabah di desa dan bila terus terjadi tentu akan menggerus moralitas publik dan menjadikan desa sebagai basis korupsi baru di Indonesia. Tentu ini akan membahayakan proses pendewasan demokrasi di desa.

Paling tidak, menurut kajian KPK dan sejumlah lembaga pemerhati desa, penyebab terjadinya korupsi dana desa ini ada beberapa hal. Pertama, lemahnya koordinasi antara aparatur pemerintah desa, pemerintah daerah, dan masyarakat desa dalam pengelolaan dana desa, terutama dalam perencanaan dan implementasinya.

Kedua, lemahnya pemahaman teknis aparatur pemerintah desa ihwal model pengelolaan dana desa dan pelaporan akuntansi penggunaan dana desa sesuai dengan peruntukan dana desa.

Banyak pengeluaran dana desa tanpa disertai alat bukti pengeluaran dan pajak. Kasus korupsi dana desa terjadi karena keteledoran aparatur pemerintah desa dalam pertanggungjawaban teknis administrasi.

Ketiga, ketidakcukupan sumber daya manusia aparatur pemerintah desa yang memadai dan tenaga pendamping desa yang idealnya satu desa satu orang itu tidak efektif karena berpotensi melakukan korupsi (fraud) memanfaatkan lemahnya aparatur pemerintah desa. Peluang korupsi terjadi dari hanya memastikan anggaran diterima  aparatur pemerintah desa, namun tidak turut serta dalam proses perencanaan, penggunaan, dan pelaporannnya.

Potensi terjadinya korupsi dari kondisi demikian ini setidaknya berkaca pada program sejenis, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Perdesaan. Di program ini tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparatur pemerintah desa justru melakukan korupsi dan kecurangan (KPK, 2015).

Keempat, aspek regulasi dan kelembagaan berupa belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan dana desa. Ada potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.

Selanjutnya adalah: Formula pembagian dana desa tidak cukup transparan…

Pembagian dana desa

Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22/2015 tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan. Pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari alokasi dana desa (ADD) yang diatur dalam PP No. 43/2014 kurang berkeadilan. Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih (KPK, 2015).

Dari analisis tersebut jelas diperlukan evaluasi mendasar atas model penyaluran dana desa agar akuntabel dan terhindar dari korupsi sistematis di desa. Pertama, sebaiknya dana desa tidak dikucurkan sekaligus ke setiap desa melainkan bertahap sesuai dengan kebutuhan desa dan kas keungan desa. Hal ini untuk menghindari dana menganggur di desa yang nilainya cukup besar dalam rekening kas desa karena kesulitan dalam pembelanjaan.

Kedua, pengeluaran dana desa dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebaiknya tidak langsung dilakukan melalui rekening kas desa (RKD), melainkan melalui rekening kas umum daerah (RKUD). Hal ini untuk menghindari korupsi oleh aparatur pemerintah desa karena kapisitas sumber daya manusia belum memadai kalau harus menerima kucuran dana ratusan juta rupiah karena kesulitan mengelola.

Dengan penyaluran dana desa melalaui RKUD otomatis desa akan diawasi oleh aparatur pemerintah pada tingkat di atasnya secara berjenjang, mulai dari camat, bupati, hingga gubernur. Aparatur pemerintah desa tidak dibiarkan bekerja sendiri. Tentu saja ini akan efektif kalau aparatur pemerintah pada tingkat di atas desa tidak ikut serta dalam korupsi berjemaah dana desa.



Ketiga, dalam pengucuran dana desa dari APBN sebaiknya tidak dilakukan secara merata di setiap desa di Indonesia, melainkan dilakukan berdasarkan prinsip asimetris, hanya desa yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik, proses perencanaan yang matang dalam pengelolaan dana, dan kemungkinan menerapkan akuntabilitas penggunaan dana desa yang diprioritaskan menerima dana desa.

Sedangkan desa yang sumber daya manusia aparatur pemerintahannya belum memadai harus dibina dan dilatih sampai memadai. Pelatih dan pembinanya tentu saja Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Keempat, diperlukan partisipasi masyarakat untuk turut serta mengawasi akuntabilitas penggunaan dana desa. Masyarakat desa harus mau dan berani melaporkan setiap potensi penyimpangan pengelolaan dana desa sehingga dapat memastikan dana desa digunakan sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa, bukan semata-mata atas dasar kemauan elite pemerintahan desa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya