SOLOPOS.COM - Alfi Hafidh Ishaqro (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (12/3/2016), ditulis Alfi Hafidh Ishaqro. Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Solopos.com, SOLO — Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan digelar pada Februari 2017 atau hampir setahun dari sekarang. Tahapan-tahapannya akan dimulai beberapa bulan lagi, namun euforia dan berbagai dialektika sudah menyeruak memenuhi ruang-ruang publik.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Apa yang membuat pilkada serentak 2017 begitu menarik untuk dibicarakan? Siapa pun akan sepakat mengatakan dinamika pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang mengawali tingginya antusiasme masyarakat untuk memperbincangkannya.

Apabila ditarik ke objek yang lebih mikro lagi, sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kini menjadi aktor di balik nyaringnya perbincangan ihwal pilkada serentak pada 2017 tersebut.

Keputusan (sementara) Ahok untuk menggunakan jalur perseorangan atau independen untuk maju dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta menjadi sumber dialektika di kalangan masyarakat.

Seksinya posisi Ahok sebagai petahana sekaligus kandidat kuat yang merajai banyak survei dalam berbagai aspek (popularitas, elektabilitas, dan kapasitas) tentu menjadi nilai plus tersendiri.

Kondisi ini tentu menjadi modal kuat Ahok menggaet partai politik untuk mengusung dan mendukungnya. Dengan mencalonkan Ahok partai politik tidak akan mengalami kesulitan untuk memenangkannya. Segenap potensi yang dimiliki Ahok membuat partai politik tidak perlu bekerja ekstrakeras untuk bersaing dengan calon-calon yang lain. [Baca selanjutnya: Hakikat Demokrasi]Hakikat Demokrasi

Dengan berbagai kemungkinan yang luar biasa terbuka untuk didukung banyak partai politik, terbersit pertanyaan kenapa Ahok memilih menggunakan jalur Independen?

Bukankah komunitas Teman Ahok itu berisi para penggawa yang kurang begitu dikenal dan belum teruji kapasitasnya sebagai pekerja politik? Apakah keberhasilan pengumpulan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai bukti mendukung Ahok bisa menjadi indikator kelayakan mereka memperjuangkan Ahok sebagai gubernur?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini tentunya menjadi hal yang menarik untuk dipikirkan karena yang akan mereka hadapi mesin partai politik. Mereka adalah para aktor, pekerja, intelektual, elite, dan kader-kader yang berpengalaman merasakan asam garam menjadi pasukan pemenangan pilkada, bahkan tak jarang partai politik mendatangkan juru strategi dari luar daerah pemilihan untuk melancarkan operasi pertarungan di pilkada.

Terlepas dari bagaimana cara Ahok dan sukarelawan pendukungnya berhitung peluang, setidaknya ada dua hal yang dapat ditangkap dari keputusan Ahok berangkat dari jalur Independen.

Pertama, pengembalian hakikat demokrasi. Sudah menjadi sebuah keniscayaan di masyarakat bahwa pilkada tak lebih dari seremonial demokrasi yang tak dibarengi esensi di dalamnya.

Perjalanan demokrasi di Indonesia semenjak reformasi digulirkan terus mengalami kemunduran. Kemunduran yang dimaksud adalah problematika akut bahwa demokrasi yang selama ini kita nikmati tak lebih dari sekadar perlombaan mobilisasi.

Penggalangan massa yang dibarengi dengan iming-iming fasilitas dan materi masih menjadi tren menarik di setiap pilkada. Tradisi mobilisasi dalam demokrasi lambat laun membuat demokrasi kita menjadi sakit dan semakin menjauhkan esensi dari nilai demokrasi itu sendiri.

Keberanian Ahok menggunakan kendaraan politik jalur independen dapat dilihat sebagai upaya mengubah pola pikir masyarakat dengan memaknai demokrasi sebagai ajang partisipasi, bukan mobilisasi.

Dengan berbondong-bondongnya masyarakat Jakarta menyisihkan waktu untuk mengisi formulir dukungan dan mengumpulkan fotokopi KTP tanpa kompensasi apa pun dapat dijadikan ukuran sederhana perubahan pola pikir tersebut.

Dengan tumbuhnya model demokrasi partisipasi yang sehat, kelayakan calon kepala daerah bukan lagi dilihat dari apa dan berapa yang ditawarkan, namun siapa, bagaimana, dan akan melakukan apa ketika terpilih nanti.

Kedua, memberi pelajaran kepada partai politik. Tak dapat dimungkiri pada setiap hajatan pilkada partai politik mendadak menjadi seperti gadis cantik yang dilirik dan diperebutkan oleh banyak pria. Nilai partai politik menjadi tinggi dan eksklusif.

Partai politik tak segan-segan memasang tawaran atau malah meminta ”mahar” tinggi dan sejumlah syarat tertentu kepada para calon kepala daerah yang melamarnya untuk mendapatkan dukungan dari partai politik tersebut.

Tingginya nilai ”mahar” dan biaya politik memang sulit untuk diendus dan diketahui publik karena merupakan hal yang sangat tabu. Ibarat orang kentut, bau nya ada namun siapa yang kentut dan siapa yang mencium baunya tak terlihat dan jamaknya mereka akan cenderung diam.

Di titik inilah para para kandidat kepala daerah seperti menjadi sapi perah partai politik. Bukan hanya ketika tahapan dan kampanye pilkada para kandidat tersebut diperlakukan seperti boneka, bahkan ketika jadi pun pun partai politik tak segan-segan mengintervensi kebijakan dan meminta program-program tertentu dari kepala daerah yang mereka dukung.

Fenomena inilah yang dilawan oleh Ahok. Ahok tidak ingin diperlakukan sedemikian rendah oleh partai politik. Ahok berpandangan calon kepala daerah dan partai politik pendukung adalah mitra yang sejajar. Ahok ingin mengubah bentuk demokrasi yang selama ini cenderung kukuh di tataran prosedural tanpa sedikit pun menyentuh aspek substansial. [Baca selanjutnya: Penyangga]Penyangga

Partai politik adalah salah satu tiang penyangga demokrasi. Partai politik pada hakikatnya adalah saluran ekspresi dan gagasan dari konstituen, namun yang terjadi di Indonesia partai politik tak lebih dari sekadar gambar dan simbol ketokohan yang muncul setiap hajat pemilihan.

Partai politik di Indonesia tidak begitu menjalankan fungsi dasarnya yakni sebagai sarana perekrutan kader, sosialisasi, dan pengatur konflik. Relasi masyarakat dengan partai politik sangat cair dan cenderung berubah-ubah.



Hal ini menandakan lemahnya kelembagaan partai politik dalam perekrutan dan sosialisasi, bahkan partai politik dalam realitasnya bukan menjadi sarana pengatur konflik, namun sering kali justru berperan sebagai pemicu konflik.

Tidak berjalannya fungsi kelembagaan politik dan sikap-sikap partai politik beserta elitenya yang mengarah pragmatis tersebut yang menjadikan partai politik semakin berjarak dengan masyarakat.

Pilkada langsung yang seharusnya menjadi arena kaderisasi pemimpin di level daerah nyatanya gagal diimplementasikan. Menilai kegagalan tersebut ukurannya sederhana, yakni betapa rajinnya partai politik mengerahkan kader dari daerah lain atau bahkan dari level nasional untuk dicalonkan menjadi kandidat kepada daerah di suatu daerah.

Tak jarang pula partai politik mencomot artis yang sebenarnya bukan siapa-siapa dalam politik untuk diusung. Ini karena fatsun mereka yang penting memenangi kontestasi atau pertarungan politik pemilihan kepala daerah.

Anggapan departaipolitikisasi (deparpolisasi) begitu kencang ketika Ahok menyatakan memilih jalur indpenden untuk maju dalam pilkada DKI Jakarta tahun depan.

Beberapa pihak terutama dari kalangan partai politik dengan lantang menyebut ada upaya deparpolisasi yang dilakukan Ahok dann itu menurut mereka harus dilawan.

Dengan kata lain, Ahok menjadi kambing hitam dari berbagai kepanikan elite partai politik dalam proses pemilihan gubernur DKI Jakarta. Menurut hemat saya, anggapan tersebut perlu dikaji ulang dan tak bisa diterima begitu saja.

Jalur independen dalam pilkada dijamin konstitusi dan diatur dalam undang-undang yang mengatur pilkada serentak secara langsung. Anggapan deparpolisasi harus dilihat berdasarkan rasionalitas objektif dan alat ukur yang tepat.

Ahok sejauh ini memang merajai berbagai survei dan nyaris belum ada kandidat lain yang berpotensi mampu mengejar Ahok, namun waktu masih panjang dan tahapan-tahapan pilkada juga belum dimulai.

Masih ada waktu bagi partai politik merekrut dan menjaring kandidat-kandidat terbaik untuk turut bersaing dan berivalitas dengan Ahok. Mengutip apa yang disampaikan Otto von Bismarck, politik adalah seni kemungkinan. Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Mengalahkan Ahok dan sukarelawan pendukungnya bukanlah sebuah perkara yang musykil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya