SOLOPOS.COM - Agung Pambudi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (21/7/2015), ditulis Agung Pambudi. Penulis adalah alumnus Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Advokat senior O.C. Kaligis resmi ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (14/7) malam. Setelah menjalani pemeriksaan selama berjam-jam di KPK, pengacara kondang itu keluar dari Gedung KPK mengenakan rompi oranye, rompi khusus tahanan KPK.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bagi saya yang masih baru dalam menggeluti dunia beracara dan masih berstatus advokat magang, penangkapan O.C. Kaligis ini tentu menjadikan saya prihatin.

Sejak saya menempuh Pendidikan Khusus Profesi Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (PKPA Peradi), selalu ditekankan bahwa profesi advokat adalah profesi yang terhormat (officium nobile).

Ekspedisi Mudik 2024

Profesi advokat bisa dijadikan sebagai cara mencari rezeki sekaligus bisa juga dijadikan cara beramal. Mengapa beramal? Dalam melaksanakan profesinya, seorang advokat dapat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma terhadap pencari keadilan yang tidak mampu. Ini sesuai Pasal 22 ayat (1) UU No. 18/2003 tentang Advokat.

Merujuk pada Pasal 3 huruf b Kode Etik Advokat, seorang advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi, tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan. Sungguh profesi yang mulia bukan?

Profesi sebagai advokat merupakan profesi yang memiliki pekerjaan yang sangat luas. Jika berbicara mengenai ”lahan” profesi advokat tentu tidak akan lepas dari perkara litigasi dan nonlitigasi.

Perkara litigasi dalam bahasa sederhana adalah segala macam perkara yang melibatkan badan/lembaga peradilan, contohnya seperti perkara di pengadilan agama atau pengadilan negeri.

Perkara nonlitigasi dalam bahasa sederhana adalah segala macam perkara yang tidak melibatkan badan/lembaga peradilan, contohnya konsultasi hukum, pengurusan perizinan, pembuatan kontrak kerja sama, dan sebagainya.

Perkara litigasi tentu tidak akan lepas dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Merujuk Pasal 18 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung  (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi (MK).

Lingkungan peradilan di bawah MA itu mencakup lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Profesi advokat dapat masuk ke seluruh lingkungan peradilan tersebut, termasuk dalam lingkungan peradilan tertentu yang memerlukan izin tambahan seperti izin khusus di pengadilan perpajakan. Benar-benar lahan yang sangat luas bukan? [Baca: Moral dan Kepercayaan]

 

Moral dan Kepercayaan
Dalam perkara litigasi, profesi advokat, hukum, dan pengadilan selalu berjalan beriringan. Berbicara mengenai hukum, terdapat tulisan almarhum guru besar ilmu hukum, Satjipto Rahardjo, yang membahas mengenai identifikasi ihwal hukum.

Salah satu identifikasi yang paling dikenal luas adalah menerimanya sebagai suatu institusi moral. Masyarakat ingin memasukkan sekalian gagasan, harapan, dan cita-cita moral ke dalam hukum.

Salah satu contoh yang sering kita dengar adalah bagaimana masyarakat (ingin) melihat pengadilan sebagai ”benteng terakhir keadilan”.

Identifikasi lain terhadap hukum adalah dengan menyebutnya sebagai institusi kepercayaan. Sampai di sini hukum tidak bisa hanya dilihat dan diterima sebagai sesuatu yang rasional semata.

Contohnya kendati masyarakat terkadang mengalami kekecewaan terhadap pengadilan namun masyarakat tetap menerima keberadaan institusi pengadilan itu sendiri.

Profesi advokat juga demikian, mengawal hukum sebagai institusi moral dan institusi kepercayaan. Advokat berinteraksi di dalam institusi moral dan institusi kepercayaan tersebut.

Interaksinya tidak berdiri sendirian, melainkan terdapat pihak lain seperti polisi, jaksa, hakim, dan pihak-pihak lain. Dalam menjalankan profesinya, advokat harus menjaga nilai-nilai moral dan kepercayaan.

Jelas dan terang bahwa profesi advokat memang benar-benar profesi yang terhormat (officium nobile). Jika saat berproses dalam peradilan sangat erat dengan moral dan kepercayaan, mengapa praktik kotor dalam peradilan masih terjadi?

Sistem pencarian keadilan yang bertingkat dan panjang serta melibatkan banyak stakeholders tentu berpengaruh besar pada setiap proses pencarian keadilan tersebut. Tentunya kita tidak bisa serta-merta menyalahkan sistem dalam proses pencarian keadilan.

Berbicara mengenai sistem peradilan dan manusia yang menggerakkan sistem tersebut, ada pendapat filsuf Taverne. Ia pernah mengatakan, ”Berikanlah aku seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah aku seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang paling buruk pun, aku akan menghasilkan putusan yang adil.”

Dengan demikian, bagaimanapun peliknya sistem peradilan, tetap akan menjadikan hal yang baik jika yang menjalankan sistem tersebut adalah orang baik.



Berkaca dari operasi tangkap tangan oleh KPK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatra Utara, yang melibatkan profesi advokat, ini hendaknya dijadikan momentum untuk lebih memperkuat organisasi advokat (yang saat ini masih mengalami perpecahan) untuk bersatu ke dalam wadah organisasi tunggal advokat atau single bar.

Dengan organisasi advokat yang single bar tentu dapat lebih mudah menjaga kewibawaan profesi advokat. Jika ada advokat yang bertindak melanggar etika maupun hukum, dewan kehormatan profesi dapat menindak advokat yang bersangkutan sesuai dengan aturan di kode etik advokat.

Dengan demikian, masyarakat umum pencari keadilan secara otomatis dilindungi dari praktik-praktik yang tidak selayaknya dilakukan oleh advokat.

Peristiwa operasi tangkap tangan oleh KPK di PTUN Medan menyisakan pelajaran berharga bagi semua pihak. Marilah kita bersama-sama menjaga hukum di Indonesia. Dengan menjaga hukum secara otomatis kita akan menjaga moralitas dan kepercayaan terhadap dan di dalam hukum itu sendiri.

Terlepas seburuk apa pun hukum di Indonesia, kita tetap harus mengakui keberadaannya. Di lain sisi, peran organisasi advokat harus semakin ditingkatkan untuk menjaga kewibawaan profesi advokat dan untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa advokat adalah proofesi yang terhormat (officium nobile).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya