SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto tunjung_ws@yahoo.co.id Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Sebelas Maret

Tundjung W. Sutirto tunjung_ws@yahoo.co.id Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Sebelas Maret

Tundjung W. Sutirto
tunjung_ws@yahoo.co.id
Pemerhati budaya
Dosen Ilmu Sejarah
di Universitas Sebelas Maret

Tahun 2014 disebut-sebut sebagai tahun politik. Ada pula yang mengatakan tahun pesta demokrasi. Faktanya memang betul demikian karena bangsa Indonesia akan mengulang peristiwa sejarah yaitu pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dua agenda politik utama dalam sistem demokrasi tersebut tak ayal juga punya dampak yang bersifat multidimensi. Salah satu dari dampak pesta demokrasi itu adalah sampah visual. Bahkan, sampah visual itu sudah mulai menumpuk sejak beberapa bulan yang lalu.

Yang dimaksud dengan sampah visual adalah residu dari material iklan luar ruang yang biasanya berbentuk baliho, spanduk, shopsign, umbul-umbul, dan billboard. Atau yang lebih kecil berbentuk stiker, poster, dan produk cetak lainnya yang ditempelkan di tempat-tempat umum yang ramai atau ruang publik dan tidak memiliki izin resmi dari pemerintah.

Bahkan, yang memiliki izin resmi pun kadang kita lihat tidak memenuhi kadar estetika untuk ditempatkan di lingkungan publik. Sampah visual itu akan berdampak besar dan penting bagi masyarakat saat mereka berinteraksi dan beraktivitas di ruang publik.

Sampah-sampah visual itu akan semakin menggila di 2014 ketika semua partai politik (parpol) dan para calon anggota legislatif (caleg) memproduksi alat kampanye visual secara besar-besaran untuk mempromosikan partai dan diri mereka.

Atas nama kampanye semua parpol dan caleg itu akan menghabiskan banyak uang untuk belanja berbagai alat kampanye visual.  Kalau dalam daftar calon tetap (DCT) caleg pada Pemilu 2014 ada 6.608 orang maka mereka dapat dipastikan akan berbelanja alat kampanye visual besar-besaran sebagai alat mempromosikan diri.

Mereka pasti akan memasang alat kampanye visual itu di arena publik dan pasti masalah sampah visual akan selalu berulang lagi. Akan kita saksikan pada 2014 ini bentuk-bentuk visual yang bertebaran di tiang listrik, tiang telepon, tembok-tembok bangunan, pohon, trotoar, jembatan,  dan arena publik lainnya.

Ambil saja kasus di kawasan Soloraya yang terbagi dalam dua daerah pemilihan (dapil) untuk DPR yaitu Jawa Tengah IV dan V. Di dua dapil  di Soloraya tersebut seorang caleg akan memasang bentuk visual dirinya sekurang-kurangnya di tiga daerah.

Seorang caleg di dapil V akan memasang alat kampanye visual di Solo, Boyolali, Sukoharjo, dan Klaten. Artinya, seorang caleg yang tercatat di dapil V akan memasang alat kampanye visual di satu kota dan tiga kabupaten.

Itu baru seorang calon anggota DPR. Kalau ditambah dengan caleg untuk DPRD Jawa Tengah dan caleg untuk DPRD kabupaten/kota maka bisa dibayangkan media visual akan bertebaran dan berserakan di berbagai tempat dan sudut-sudut kota.

Kalau cara pemasangannya benar dan tempatnya memang sesuai maka akan terkumpul di lokasi tertentu dan relatif lebih mudah dikelola. Tetapi, sejarah selalu berulang dan pemasangan alat kampanye visual itu pada 2014 pasti akan banyak penyimpangannya.

Penyakit para pemasang alat kampanye visual selalu sama, yaitu hanya memasang dan jarang mengontrolnya. Akan dijumpai alat kampanye visual-visual yang sobek, roboh, ternodai tangan jail, baliho runtuh, stiker dan poster berserakan di jalan, dan sebagainya yang pasti mengganggu kenyamanan dan keamanan publik.

Belum lagi kalau pemasangan itu di pohon-pohon di sepanjang jalan. Dengan cara dipaku, diikat di pohon, atau ditancapkan di pohon dengan tiang yang tinggi sehingga melebihi tingginya pohon. Pemandangan visualisasi politik di 2014 akan berdampak luas.

Mungkin perlu dipertanyakan dengan serius komitmen mereka (caleg dan parpol) terhadap pembangunan lingkungan hidup jika ada yang memasang alat kampanye atau promosi visual dengan cara dipaku di pohon-pohon tersebut.

Mungkin konstruksi kearifan lokal masih diyakini oleh para caleg yang memasang alat kampanye visual di pohon-pohon bahkan pohon besar, yaitu keyakinan masyarakat era dulu yang memosisikan pohon besar sebagai tempat berdiam yang ”mbaureksa” alias ”penunggu”.

Merekalah—para caleg dan parpol–yang sebentar lagi akan menunggu pohon-pohon itu dengan foto diri yang ganteng dan cantik atau setidaknya diganteng-gantengkan dan dicantik-cantikkan. Mereka yang nanti akan ”mbaureksa” pohon-pohon itu dengan menyakiti pohon dengan paku, kawat, atau bahkan menancapkan bendera, umbul-umbul, stiker dan poster di batang pohon.

 

 

Fisiologis dan Sosial

Mereka tidak menyadari apa yang dipasang itu akan menjadi sampah yang ketika pesta demorasi usai hanya akan menjadi onggokan sampah yang bisa jadi sangat tidak ramah lingkungan. Alat kampanye visual parpol dan caleg itu akan menjadi sampah secara fisiologis dan sekaligus akan menjadi sampah sosial.

Coba saja lakukan perjalanan di kota atau kabupaten dalam satu dapil. Banyak alat kampanye visual yang terpampang di persimpangan jalan yang bisa mengganggu para pengguna jalan. Baliho besar, spanduk besar, banyak dijumpai di persimpangan jalan bahkan melintang di atas jalan raya.

Pandangan orang akan tertuju kepada visualisasi caleg dan bagi yang sudah mengenal mungkin hanya sepintas saja memandang. Tetapi, dapat dipastikan caleg-caleg yang memasang foto diri berukuran raksasa itu pasti caleg yang kurang dikenal publik di dapil mereka.

Orang sering melihat lebih lama dan kalau itu dilakukan dengan mengendarai kendaraan bisa membahayakan keselamatan diri dan keselamatan orang lain. Baliho besar pasti mahal dan pasti berkaitan dengan durasi waktu pemasangan.



Kita melihat banyak baliho besar yang dipasang lebih dari dua bulan. Tentu itu secara psikososial akan menimbulkan kejenuhan bagi yang sering lewat di jalur itu. Belum lagi kalau wajah dan tampilannya tidak memesona, justru akan menimbulkan antipati.

Kalau kemudian kita mengalkulasi secara kasar, dapat dipastikan belanja visual parpol dan caleg akan berbilang miliaran rupiah, bahkan bisa menyentuh triliunan rupiah. Kalau dihitung segmentasi pelakunya, kelompok kepentingan yang akan memproduksi alat peraga visual adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk sosialsiasi; parpol, caleg, konstituen, dan partisan untuk kampanye.

Di hampir separuh waktu di 2014 ini bangsa Indonesia akan panen sampah visual. Dua agenda pesta demokrasi akan digelar di paruh pertama 2014 ini. Sungguh besar dampak sampah visual terhadap lingkungan yang lestari karena kecenderungan bias tatanan dan aturan akan terjadi lagi.

Media visual untuk sosialisasi dan promosi selalu penuh kreativitas. Tetapi, sangat disayangkan jika kreativitas-kretivitas yang begitu hebat ditempatkan di ruang yang tidak tepat. Menimbulkan rasa sadar diri yang kuat adalah langkah awal yang sangat penting.

Alangkah cerdasnya para calon elite politik negeri ini jika metode promosi visual mereka tidak merusak lingkungan dalam arti seluas-luasnya. Akan sangat menyedihkan jika secara siklus iklan visual politik kita masih sama saja dari pemilu ke pemilu. Ruang publik seharusnya milik publik dan tidak seharusnya ada privatisasi dengan alat visualisasi parpol dan caleg.

Harus ada aturan pelaksanaan yang tegas agar iklan visual luar ruang tidak menjadi sampah visual yang setiap hari menebar teror visual kepada masyarakat. Kini saatnya setiap daerah membuat masterplan untuk iklan visual luar ruang, terlebih lagi di tahun politik 2014 ini media visualisasi politik akan ”menyelimuti” semua arena publik.

Jangan sampai masyarakat kesal sehingga rasa bosan pada parpol atau caleg semakin bertambah dan mengubah perilaku rakyat yang aktif sebagai pemilih untuk akhirnya tidak mau memilih.

Perlu ada larangan agar visualisasi caleg dan parpol tidak dipasang di taman kota, ruang terbuka hijau, di tiang listrik, tiang kabel telepon, dipaku di pohon, ditancapkan di pohon, atau di tempat bangunan dan kawasan cagar budaya.

Jika hal itu sengaja dilakukan oleh para caleg dan parpol, keinginan KPU untuk menjadikan pemilih cerdas akan terwujud karena pemilih cerdas pasti tidak akan memilih parpol dan caleg yang jelas-jelas menggunakan alat kampanye visual seenak mereka sendiri yang berakibat pencemaran ruang publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya