SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sita Maharani Putri, 12, harus menjalani ritual puasa sehari sebelum pementasan. Dengan niat yang tulus, penari cilik itu rela mematuhi pakem Keraton untuk berpuasa sebelum mementaskan tarian sakral Srimpi Renggowati.

“Saya puasanya sehari sebelum pentas agar pementasannya lancar,” ujar penari yang tergabung dalam sanggar tari yang dikelola Yayasan Pamulangan Beksa Sasmita Mardawa (YMBSM).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sebagai penari ke-5 dalam tari Srimpi Renggowati yang dipentaskan di Pendapa Sewatama Pura Pakualaman bulan lalu, Sita menjadi sosok yang istimewa. Hal itu karena ia memenuhi syarat utama yang harus dipenuhi penari ke-5 dalam tari Srimpi Renggowati, yakni  masih suci (belum mendapat haid) dan telah matang gerakan tarinya.

Syarat utama itu memang telah menjadi pakem Keraton untuk jenis tarian klasik ini.  Sita mengaku hanya berlatih selama tiga hari. “Ini pertama kalinya saya menarikan Srimpi Renggowati,” ujar siswi SD 3 Sedayu itu.
Mencari gadis yang belum mendapatkan haid bukan hal yang mudah. Menurut penuturan Ketua YMBSM, Siti Sutiyah Sasmita Dipura, 65, selain masih suci, penari juga harus memiliki dasar tari klasik.
 
“Tak hanya itu, harus juga ada keinginan kuat untuk menarikannya,” ujar Sutiyah yang juga pelatih tari klasik ini.
Sutiyah memaparkan, agar bisa mementaskan Srimpi Renggowati, seorang anak haruslah memenuhi beberapa syarat fisik dan syarat spiritual. Syarat fisik merupakan syarat wajib, sedangkan syarat spiritual dilakukan sang anak dengan kesadarannya sendiri.

Ekspedisi Mudik 2024

Syarat pertama, terang Sutiyah anak itu harus senang dengan dunia tari. Seorang anak yang akan mementaskan Renggowati harus telah belajar menari klasik gaya Jogja setidaknya selama 1-2 tahun sehingga ia memiliki dasar tari yang cukup kuat. 

“Untuk mementaskan tari ini [Srimpi Renggowati] tidak bisa dari nol. Anak tersebut harus punya basic menari klasik dulu,” ujar pelatih yang mendapat nama Keraton, Dwija Sasminta Murti itu.

Syarat kedua menurut Sutiyah yaitu, si penari harus memiliki kesungguhan, keteguhan, dan kerja keras. Hal itu sesuai dengan filosofi tari klasik gaya Jogja, yaitu greget, sengguh, ora mingkuh, yang dapat dimaknai dengan kemauan keras, sungguh-sungguh, dan tidak mudah terpengaruh.

“Penari harus sungguh-sungguh, tekun dan punya disiplin tinggi karena tingkat kesulitan tarian ini cukup tinggi terutama bagi anak-anak. Mereka harus rajin berlatih dan memahami filosofi tari klasik Jogja,” ujar istri almarhum KRT Sasmintadipura (Rama Sas) ini.

Siti Sutiyah mengaku, mengajarkan anak supaya bisa menyelaraskan gerak tari dengan irama adalah hal yang sulit. Anak-anak umumnya lebih menyukai irama yang rancak dengan gerakan yang dinamis.

“Tari Srimpi Renggowati iramanya mengalun dengan lambat, seorang penari Renggowati juga harus bisa duduk bersila dalam waktu yang lama dan bisa menyamakan gerakan-gerakan kakinya dengan irama gending. Kalau anaknya tidak sabaran, tidak akan bisa menguasai tarian ini,” ujarnya.

Oleh karena itulah seorang penari Renggowati haruslah seorang yang cerdas dan memiliki kepekaan rasa yang tinggi. Hal itu karena mereka harus bisa menyamakan irama dengan gerakan-gerakannya.

Selain keinginan dari si anak sendiri, dukungan orang tua cukup penting sebelum seorang anak mementaskan  tari Srimpi Renggowati. Menurut Siti Sutiyah Sasminta Dipura, hal tersebut termasuk salah satu syarat spiritual yang harus dijalani penari Renggowati.

Tarian sakral
Tari Srimpi Renggowati adalah tarian sakral dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbeda dengan tari Srimpi biasanya. Jika tari Srimpi lazimnya dibawakan oleh empat penari, pada Srimpi Renggowati ini, ada penari ke-5 yang gerakan, kostum, dan riasannya berbeda dengan empat penari lainnya.

Tarian yang  diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V pada 1823-1855 ini  merupakan tarian sakral yang hanya dipentaskan atas izin dari Keraton. Pada zaman dahulu, penari Renggowati harus berasal dari keluarga Keraton. Namun sekarang, penari Renggowati bisa siapa saja.

Dalam tarian ini, penari ke-5 yang berperan sebagai Dewi Renggowati membawa  boneka burung Belibis. Penari ke-5 tersebut mengenakan kostum dan riasan yang berbeda dengan empat penari lainnya.
 
Srimpi Renggawati mengisahkan tentang Prabu Anglingdarma yang karena kutukan Dewa menjadi burung Belibis putih. Dalam pengembaraannya, ia mencari titisan Dewi Setyowati isterinya yang telah meninggal dunia dengan cara membakar diri. Sampailah ia ke taman Bojonegara dan bertengger diatas pohon Sumarsana wilis. Secara kebetulan pada saat itu Dewi Renggowati sedang bercengkerama di taman dan tertarik pada burung Belibis putih tersebut.

Segeralah burung itu ditangkapnya lalu di bawanya ke peraduan. Akhirnya burung Belibis putih berubah kembali ke asalnya yaitu Prabu Anglingdarma dan dewi Renggowati memang benar titisan Dewi Setyowati istrinya. (Wartawan Harian Jogja/Apriliana Susanti)

Foto: Tarian Srimpi Renggowati di sebuah pementasan (baltyra.com).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya