SOLOPOS.COM - Aktivitas di penggilingan padi Umbul Rejeki Dusun Pandes, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Senin (19/3/2018). (Harian Jogja/Rheisnayu Cyntara)

Anjloknya harga GKP ditengarai karena panen raya yang dilakukan bersamaan di seluruh wilayah

Harianjogja.com, BANTUL-Gabah kering panen (GKP) mencapai harga terendah yakni Rp4.500 per kilogram. Harga gabah terus merosot sejak awal musim panen pada Februari lalu. Anjloknya harga GKP ditengarai karena panen raya yang dilakukan bersamaan di seluruh wilayah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sarjiyem, pemilik usaha penggilingan padi Umbul Rejeki, Dusun Pandes, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, mengamini hal tersebut. Menurutnya sejak awal bulan lalu harga GKP di tingkat petani terus menurun. Dari harga normal sekitar Rp6.500, selama sepuluh hari terakhir harga terus merosot dan kini mencapai titik terendah.

Ekspedisi Mudik 2024

Ia menengarai rendahnya harga GKP disebabkan karena panen raya di seluruh daerah yang berlangsung bersamaan, yaitu sejak Februari hingga akhir Maret 2018. Akibatnya stok gabah melimpah yang berpengaruh pada turunnya harga. “Panen raya di Bantul bareng dengan wilayah lain, bahkan di luar Jawa,” ucapnya, Senin (19/3/2018).

Saat panen raya seperti ini, Sarjiyem memastikan gilingan padi miliknya bakal memproses gabah kering lebih banyak. Bahkan bisa mencapai satu ton per hari. Da menyebut saat harga gabah turun, sebagian besar petani memilih menyimpan atau mengonsumsi hasil panennya sendiri ketimbang menjualnya. Sarjiyem tidak menampik ada petani yang menjual hasil panen dalam bentuk beras meski jumlahnya hanya sedikit.

Hal itu menurutnya dikarenakan harga beras juga anjlok drastis, bersamaan dengan harga GKP yang turun. Harga beras yang sebelumnya Rp11.000 hingga Rp12.000, kini turun menjadi Rp9.000 hingga Rp9.500 per kilogram. Selain karena panen raya, Sarjiyem menyebut rendahnya harga beras di tingkat petani juga dipengaruhi oleh masuknya 500.000 ton beras impor dari Vietnam dan Thailand.

Impor tersebut merupakan kebijakan Pemerintah Pusat melalui Menteri Perdagangan. Kebijakan tersebut kembali digulirkan setelah pemerintah mengimpor beras terakhir pada 2015. “Impor itu berpengaruh. Petani jadi susah menjual beras,” katanya.

Salah satu petani di Desa Wonokromo, Barnawi, mengakui sejak sebulan terakhir harga beras terus turun. Bahkan kini sudah mencapai angka Rp9.000 per kilogram. Penurunan harga itu menurutnya cukup menyusahkan petani. Menurutnya, petani harus menyiapkan musim tanam berikutnya yang membutuhkan biaya besar untuk membeli bibit, pupuk, perawatan, serta membayar buruh tani.

Apalagi untuk musim tanam yang akan datang, Barnawi mengaku tetap akan menanam padi karena kebutuhan air untuk lahannya cukup melimpah. “Kecuali kemarau panjang, kami baru menanam palawija,” ucap anggota Kelompok Tani Subur Makmur tersebut.

Petani lainnya, Zamjani, mengaku hanya menjual hasil panen berupa beras dan tidak pernah menjual gabah. Hal ini dia lakukan karena selisih harga keduanya cukup jauh. Namun menurut Zamjani, ia jarang menjual hasil panen karena lebih banyak ia simpan atau dikonsumsi sendiri. Apalagi saat harga beras sedang turun seperti saat ini. “Lahan saya rata-rata menghasilkan 2,5 ton sampai tiga ton sekali panen,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya