SOLOPOS.COM - Atmo Wiyono, 70, menuangkan air minum bagi ratusan ekor bebek milik di kandang belakang rumah di Dukuh Nusupan RT 015, Desa Celep, Kedawung, Sragen, beberapa waktu lalu. Perintah depopulasi ternak itik atau bebek di wilayah yang terjangkit flu burung dikhawatirkan memusnahkan populasi itik lokal dan mematikan usaha peternak bebek karena tak adanya kompensasi dari pemerintah. (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Atmo Wiyono, 70, menuangkan air minum bagi ratusan ekor bebek milik di kandang belakang rumah di Dukuh Nusupan RT 015, Desa Celep, Kedawung, Sragen, beberapa waktu lalu. Perintah depopulasi ternak itik atau bebek di wilayah yang terjangkit flu burung dikhawatirkan memusnahkan populasi itik lokal dan mematikan usaha peternak bebek karena tak adanya kompensasi dari pemerintah. (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

JAKARTA – Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) Ade Meirizal Zulkarnain mempertanyakan keseriusan upaya penanggulangan pencegahan penyebaran flu burung pada itik yang dilakukan pemerintah. Dia pesimistis peternak bersedia memusnahkan unggasnya tanpa ada kompensasi karena sama saja membiarkan usaha peternak ikut mati.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Meminta peternak untuk depopulasi tanpa kompensasi sama saja dengan mematikan usaha kami. Padahal 60% peternakan di Indonesia berada di pedesaan yang dimiliki masyarakat dengan kemampuan investasi terbatas,” tukasnya. Tanpa adanya kompensasi, lanjutnya, kemungkinan peternak akan menjual itiknya atau memotong langsung itik yang berpotensi terjangkit virus flu burung. Jika ini terjadi, maka penyebaran virus flu burung akan semakin meluas dan sulit dicegah dan dideteksi.

Dia menyebutkan total populasi itik di dalam negeri sekitar 53 juta ekor. Dengan kewajiban depopulasi itik, selain merugikan peternak, Ade juga khawatir akan membuat sumber daya genetik itik lokal hilang akibat dimusnahkan. Data yang dihimpun Himpuli dari anggotanya, virus flu burung setidaknya telah mematikan hampir 320.000 ekor itik. Flu burung menyebabkan kematian itik peternak di beberapa daerah, seperti di Pemalang dari total populasi 300.000 ekor yang mati sebanyak 70.000 ekor. Di Pati dari populasi 85.000 flu burung menyebabkan 70.000 ekor itik mati. Lalu di Tegal dari populasi 400.000 ekor yang mati sebanyak 4.000 ekor. Kemudian di Cirebon dari total populasi 404.000 ekor yang mati sebanyak 5.357 ekor.

Dalam perhitungan dia, setidaknya peternak akan mengalami kerugian dari kematian itik tersebut sekitar Rp1,28 triliun. “Kami hitung rata-rata harga itik Rp40.000 per ekor dikalikan total yang mati 320.000 ekor.” Namun, jumlah kerugian peternak dari virus flu burung ini bisa lebih tinggi karena jenis itik memiliki harga berbeda. Seperti harga itik petelur bisa mencapai Rp 200.000 per ekor jika sudah bertelur.

Ditambahkannya, data itik yang mati sampai saat ini akibat flu burung itu sekitar 320.000 ekor. “Kami meminta agar pemerintah menghentikan sementara impor DOD [anak itik]. Kedua kami juga meminta untuk menghentikan sementara itik impor yang ada di Indonesia,” ujarnya.

Pemerintah, katanya, harus memberikan stimulan kepada peternak yang melakukan depopulasi akibat flu burung, sehingga dapat terus melanjutkan usaha peternakannya. “Kenapa kami minta impor dihentikan, karena berkaca pada kasus 2003, pada 2003 ayam lokal dikambinghitamkan. Padahal, itu karena ayam ras. Bibit ayam ras itu impor. Saya tidak tahu ada impor itik ilegal. Saya minta impor itik diputus untuk sementara.”

Sementara itu, jika dilakukan depopulasi, maka dikhawatirkan akan mengilangkan sumber daya genetika itik lokal. Hal itu pernah terjadi pada serangan flu burung 2004, yang membasmi ayam lokal, sehingga saat ini lebih banyak dikuasai oleh ayam ras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya