SOLOPOS.COM - Diskusi Film Klasik (Antara)

Film klasik Indonesia bisa bertahan hingga 200 tahun. Apa syaratnya?

Solopos.com,JAKARTA — Ketimbang restorasi, preservasi bisa menjadi jawaban untuk menyelamatkan film-film klasik Indonesia bahkan hingga 200 tahun lamanya, menurut praktisi restorasi film, Lisabona Rahman.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Preservasi sama seperti perawatan rutin tubuh kita. Sementara restorasi ibarat operasi, bisa menyembuhkan tetapi sangat rumit dan mahal. Kalau kita serius bisa kok mempertahankan film sampai 200 tahun,” ujar dia di Jakarta, seperti dikutip Solopos.com dari Antara, Kamis (22/9/2016).

Lisa mengatakan negatif film zaman dulu (1920-an sampai 1960-an) di antaranya berbahan selulosa asetat. Penyimpanan yang mempertimbangkan suhu dan kelembaban menjadi kunci menjaga mutu film tetap terjaga.

“Kalau film (asetat) disimpan di suhu 16 derajat celcius dengan kelembaban 80%, bisa bertahan hanya lima tahun saja,” kata dia. “Tetapi kalau suhu penyimpanan 12-4 derajat dengan kelembaban 80% umurnya bisa bertambah tiga kali lipat. Preservasi harus bernegosiasi dengan suhu dan kelembaban,” sambung Lisa.

Hanya saja, Indonesia belum mampu menyimpan film-film klasiknya secara baik. Padahal, film klasik merupakan medium sejarah. “Sayangnya kualitas preservasi di Indonesia sangat buruk. Saya yakin preseverasi masih bisa kita kembangkan ketimbang restorasi,” tutur dia.

“Sebagai medium sejarah, harus juga dibuatkan copy-nya supaya masyarakat masih bisa menonton film dalam bentuk copy. Aslinya disimpan,” imbuh Lisa.

Dia menambahkan, film merupakan produk kebudayaan yang memiliki daya jangkau yang luar biasa. Lisa percaya, gambar bergerak yang disertai suara sebagai komponen utama dari film perlu mendapat perhatian yang tidak kalah dengan buku maupun lukisan dalam pelestariannya.

“Di Amerika Serikat dan Eropa pun, film-film klasik tetap disimpan dengan baik dan dilestarikan. Film-film tersebut secara rutin diputar kembali untuk ditonton generasi muda di sana,” tambah Lisa.

Restorasi digital belum cukup untuk menyelamatkan film-film klasik Indonesia. “Restorasi ibarat membuatkan salinan yang lebih bersih dibandingkan copy analognya. Proses restorasi yang paling canggih sekalipun enggak akan mungkin menyelamatkan suatu film kalau material aslinya rusak,” ujarnya.

Kendati akhirnya restorasi bisa dilakukan, sambung dia, namun, upaya ini mahal dan lama. Terlebih, bila material filmnya rusak. “Dalam prosesnya, biayanya tergantung kondisi kerusakan. Secara umum, upaya mahal. Setiap tahapnya, kalau material rusak, 50:50. Proses ini lama,” tutur Lisa.

Selain itu, diperlukan riset mengenai kondisi film, kondisi kreatif penciptanya dan kondisi masyarakat, sehingga film yang direstorasi merupakan film yang penting untuk masyarakat. Sejauh ini, Lisa terlibat dalam restorasi sejumlah film klasik semisal Tiga Dara dan Lewat Djam Malam.

“Karena itu film yang dipilih dinilai dari segi apakah dia penting untuk masyarakat. Film Lewat Djam Malam misalnya soal trauma perang, anak-anak muda kehilangan harapan hidup,” kata Lisa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya