SOLOPOS.COM - Pembuatan karya animasi Doraemon juga melibatkan animator Indonesia. (ail.com.hk)

Solopos.com, SOLO — Penggarapan sejumlah film dan serial televisi yang ditayangkan secara internasional seperti Saint Saiya, Doraemon, Tintin, Transformer, hingga Pacific Rim tak lepas dari peran para animator asal Indonesia. Sayang, kiprah animator lokal yang berjaya di luar negeri ini tidak didukung industri animasi yang mandul dalam negeri.

Kondisi ini membuat animator muda dan mereka yang ingin terjun ke dunia animasi harus berpikir dua kali menekuni bidang ini. Hal itulah yang dirasakan Apriani Alfa, 21, mahasiswi Semester V Jurusan Broadcasting, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, yang tertarik menekuni animasi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Sebenarnya saya tertarik sekali mendalami animasi. Lewat animasi kita bisa membuat setiap imajinasi menjadi nyata. Namun waswas juga melihat kita belum memiliki industri animasi,” kata Alfa ketika mengikuti seminar Animation Creativeprenuer, di Grha Soloraya, Kantor Bakorwil II Jawa Tengah, Minggu (6/10/2013).

Namun kebimbangan Alfa buru-buru ditepis Ketua Jogjanimations, Hanitianto Joedo. Menurutnya, peluang mencari uang lewat animasi masih terbuka luas. Walaupun Indonesia belum memiliki industri animasi, namun peluang di pasar internasional makin terbuka lebar.

“Hampir semua negara di dunia saat ini menggunakan animasi. Pasar internasional masih cukup luas, jangan berorientasi [pasar] di dalam negeri saja. Kualitas yang dibuat juga harus sesuai spesifikasi pasar internasional. Saat ini alih daya [outsourcing] animator dari raksasa industri animasi sudah biasa. Bukan semata karena bayaran, tapi terkadang mencari cita rasa lokal,” terang Joedo kepada puluhan peserta seminar.

Jauh dari Harapan

Menurut Joedo, mimpi membangun industri animasi dalam negeri masih jauh dari ekspektasi. Pasalnya, banyak animator yang bekerja secara mandiri melalui studio ruangan dan studio rumahan. Selain itu iklim dalam negeri juga tidak mendukung.

“Di luar negeri, industri ini didukung pemerintah, asosiasi, pengusaha, dan penonton. Pendapatan sektor animasi hanya 20%, 80% lainnya mengandalkan industri merchandising dan hak cipta. Penontonnya aktif melihat dan membeli. Sementara di sini, animatornya parsial, banyak sekali yang tidak terakomodasi untuk mengembangkan industri,” ujarnya.

Joedo memaparkan saat ini segmentasi animasi di Indonesia terbagi menjadi 12, antara lain layar lebar, serial televisi, iklan, video klip, pendidikan, penyuluhan, eksperimental, website, game, arsitektural, motion grafis, dan modelling. Namun pasar lokal yang bisa digarap saat ini hanya iklan (50%), alih daya (20%), retail bidang religi dan pendidikan (15%), serta serial televisi (5%).

“Penonton film layar lebar belum familiar dengan animasi. Industrinya juga demikian. Tempo hari saya sempat dihubungi produser film. Dia bertanya waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi film animasi sekelas Kungfu Panda. Saya jawab animator lokal bisa menggarap itu. Namun waktunya sekitar lima tahun dengan biaya Rp30 miliar. Melihat peluang penonton dan waktunya, dia memilih mundur,” keluhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya