SOLOPOS.COM - FESTIVAL FILM-Penonton bersiap menyaksikan sejumlah film yang diputar dalam ajang Festival Film Solo (FFS) di Teater Besar, Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, Rabu (9/5/2012) malam. FFS tahun ini akan memutar 31 film hasil kiriman peserta, hasil seleksi dari 218 film yang masuk kategori Ladrang dan Gayaman Award.

FESTIVAL FILM--Penonton bersiap menyaksikan sejumlah film yang diputar dalam ajang Festival Film Solo (FFS) di Teater Besar, Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, Rabu (9/5/2012) malam. FFS tahun ini akan memutar 31 film hasil kiriman peserta, hasil seleksi dari 218 film yang masuk kategori Ladrang dan Gayaman Award. (JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto)

Mei ke Solo! Begitulah tagline acara Festival Film Solo (FFS) tahun ini. Seakan membuktikan keampuhan mantra itu, ratusan pengunjung datang berduyun-duyun di pembukaan FFS 2012 di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Rabu (9/5/2012) malam. Mereka hadir dari beragam kota.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Seorang pembuat film asal Palu, Charles Edward, mengaku sangat apresiatif dengan ajang ini. Tahun ini, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Sosial Politik Palu itu pun memutuskan berpartisipasi dalam acara. “Anak-anak Palu banyak yang bersemangat mengikuti ajang ini. Kami melihat FFS yang pertama sukses menggaungkan film pendek di Indonesia,” tuturnya kepada Solopos.com.

Malam itu, penonton disuguhi tiga film pendek yang menggugah suasana. Langka Receh karya Miftakhatun dan Eka (Purbalingga) sukses menyitir fenomena uang receh di masyarakat. Dengan jeli, mereka memotret transaksi di toko-toko yang sering mengganti uang receh dengan permen sebagai kembalian. “Langka receh (Tidak ada uang receh),” ujar seorang penjaga warung kepada pembelinya.

Di film lain, Anganku Tinggi ke Bawah, Charles Edward merekam kehidupan anak pegunungan di Kalimantan. Hanya dengan durasi 3 menit 20 detik, film itu sukses dihujani tepuk tangan pemirsa. “Film ini ingin menggali cara pandang anak pedalaman melihat kehidupan kota. Pada akhirnya, mereka percaya bahwa kampung halamannya-lah yang paling nyaman, bukan kota,” tutur Charles.

Ajang yang digelar hingga Minggu (13/5/2012) ini juga diapresiasi para sineas lokal. Sineas asal ISI Solo, Abdurachman Syabani, menilai penyelenggaraan FFS makin profesional. Ia menganggap FFS mampu memantik sineas muda Solo untuk terjun berkarya. “Bagi saya, FFS ibarat rumah. Sudah selayaknya rumah ini digunakan untuk menggali potensi dan kemampuan.”

Direktur FFS, Ricas CWU, dalam sambutannya, mengatakan inilah saatnya film fiksi pendek Indonesia diperhitungkan di mata dunia. “Ruang temu seperti ini sangat penting untuk menemukan ide dan gagasan tentang film pendek. Sudah saatnya film kita dilihat di mata dunia,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya