SOLOPOS.COM - Ilustrasi penjaja cinta (Dok/JIBI)

Solopos.com, JAKARTA – Fenomena gadis cabe-cabean belakangan kian jadi tren. Fenomena cabe-cabean sudah menjadi tren dalam dua tahun terakhir ini.

Setelah sebelumnya dijejali istilah alay, lebay, jablay, kini muncul fenomena cabe-cabean. Efnie Indriani, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranata Jakarta mengatakan fenoma cabe-cabean memang sudah terjadi hampir dua tahun belakangan ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Rerata perilaku tersebut dialami oleh anak berusia tanggung yang ingin eksis dalam sebuah kelompok atau grup yang mereka naungi.

“Jadi jika salah satu dari mereka ada yang tidak berulah menyerupai kelompoknya, maka seseorang itu tidak akan diakui keberadaannya. Tak heran jika mereka kerap bertingkah sama,” katanya kepada JIBI/Bisnis, belum lama ini.

Keberadaan gadis cabe-cabean memang perlu dikhawatirkan oleh kalangan orangtua. Fenomena tersebut lebih berkesan negatif lantaran bisa saja mencoreng nama baik keluarga dan institusi.

Kebiasaan berkelompok dan ugal-ugalan di tengah jalan menggunakan motor berboncengan, bisa membahayakan keselamatan. Bahkan, dalam kondisi tertentu tidak menutup kemungkinan kelompok remaja tanggung ini memiliki hasrat untuk mencoba mengkonsumsi drugs dan minuman alkohol.

Sikap untuk mewaspadai sebaiknya dilakukan orangtua sedini mungkin. Tentu saja orangtua tidak langsung melarang jika anak gadisnya pamit pergi bersama teman-temannya. Karena, semakin dilarang, anak akan semakin frontal dan melawan.

“Alangkah baiknya orangtua mengajak bicara anak secara baik-baik. Ikutin kemauan mereka. Kalau perlu orangtua bisa masuk ke dalam dunia mereka agar proses interaksi bisa berjalan dengan lancar. Dan si anak merasa punya teman bicara yang menyenangkan, di situlah orangtua bisa memberikan masukan positif,” katanya.

Fenomena cabe-cabean adalah satu produk budaya moderen yang tidak terlepas dari kehadiran teknologi. Pengaruh media sosial dan gadjet menjadikan pola pikir anak remaja tanggung kerap dihinggapi keingintahuan yang berlebihan. Hal tersebut memang tidak bisa dicegah secara sekaligus, meskipun tidak semua kehadiran media sosial dan gadjet berdampak buruk bagi perkembangan anak.

Efnie menjelaskan, jika saja kesabaran semua pihak baik orangtua maupun anak sendiri bisa dikontrol, pikiran positif akan selalu hinggap di setiap otak anak. Pengalihan paradigma positif ini bisa dilakukan dengan melihat kemampuan potensi anak.

Dia memberi contoh, jika anak senang gadjet dan maniak internet, orangtua bisa mengalihkan kemampuan anak melalui perilaku positif yang diciptakan. “Misalnya di internet sering ada lomba tulis, game danquiz, doronglah anak untuk ikut. Atau misal jika anak sering kebut-kebutan di jalan, doronglah mereka untuk ikut klub resmi balap supaya keinginan mereka terarahkan.”

Efnie menambahkan yang harus diwaspadai orangtua justru menghindari pembatasan kemauan anak dengan cara yang tidak fair. Karena, lanjutnya, salah satu alasan anak terjerumus ke dalam perkumpulan remaja yang tanggung seperti cabe-cabean justru karena sikap orangtua yang tidak bisa membuat anak bahagia.

“Bisa saja di ketika rumah, anak selalu bersikap manis dan baik. Tetapi siapa tahu di luar, anak terkenal sebagai gadis nakal yang kerap membuat ulah dengan kelompoknya,” tutur Efnie.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya