SOLOPOS.COM - Pendeta Palti H.Panjaitan? (Kiri), Ketua PBNU Kyai Haji Abdul Manan Ghani (dua dari kiri)?, Kabag Kesejahteraan Pemkab Gunungkidul Bambang Sukemi (dua dari knan), dan pemandu diskusi Winarta Hadiwiyono dalam diskusi lintas iman soal penguatan rumah ibadah yang ramah difabel. (Ujang Hsanudin/JIBI/Harian Jogja)

Fasilitas difabel yang menjadi sorotan adalah rumah ibadah.

Harianjogja.com, JOGJA — Keberadaan rumah ibadah di DIY baru sedikit yang ramah untuk penyandang disabilitas. Bahkan hampir semua rumah ibadah semua agama disebut masih diskriminatif.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kondisi itu dikeluhkan para penyandang disabilitas dalam diskusi lintas iman bertema ‘Penguatan Rumah Ibadah sebagai Agen Pengembangan Peradaban Kemanusiaan’ di Edu Hostel, Jalan Letjen Suprapto, Ngampilan, Rabu (9/8/2017).

“Kami sudah berkali-kali lobi dan audiensi dengan berbaga instansi pemerintah, tapi kendanya memang antar dinas belum ada persfektif yang sama.” kata Program Manager Dria Manunggal, Ninik Dwiyana. Dria Manunggal merupakan lembaga yang konsen dalam kajian tentang disabilitas untuk transformasi sosial.

Ninik meminta komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak untuk mengakses rumah ibadah. Menurutnya, bantuan pemerintah pada rumah ibadah sejauh ini baru sebatas pembinaan yang sifatnya non fisik.

Sementara fasilitas fisik yang aksesibel bagi difabel belum terpenuhi. Ia mengungkapkan, banyak rumah ibadah yang tidak menyediakan guiding Block atau ubin pemandu berjalan bagi tunanetra, tangga rumah ibadah yang tidak dilengkapi pegangan serta tidak menyediakan jalur khusus untuk kursi roda, dan lantai licin yang membahayakan.

Bahkan ada rumah ibadah di lantai dua yang sulit diakses difabel. Kondisi itu diakuinya terjadi di hampir semua rumah ibadah semua agama. Dalam dua tahun terakhir pihaknya baru berhasil mendorong lima rumah ibadah yang mulai bisa diakses difabel. Namun baru sebatas penyusulan bagi semua penyelenggara rumah ibadahnya dan menyediakan buku-buku doa dan kitab bertuliskan huruf braile.

Sementara penyediaan fasilitas fisiknya belum bisa dilakukan. Ninik mengatakan sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY sudah mengeluarkan edaran ke semua pengelola masjid dan musola untuk mewujudkan aksebilitas peribadatan bagi difabel. Namun edaran yang dikeluarkan 2016 lalu itu, kata dia, belum maksimal.

Keuskupan Agung Semarang tahun ini, sambung Ninik, merencanakan 50 persen gereja aksesibel bagi difabel.

“Kami menunggu implementasinya,” ucap Ninik.

Ia menambahkan belum lama ini Dria Manunggal berhasil mendorong pengelola Vihara di Banguntapan dan Pura yang akan merubah struktur bangunan tangganya agar bisa diakses difabel.

Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disbilitas DIY, Setia Adi Purwanta mengatakan masih kuatnya diskriminasi yang dihadapi difabel dari latar belakang agama dan kepercayaan dalam menjalankan ibadah, maka menjadi pertanyaan sejauh mana rumah ibadah difungsikan sebgai agen pengembangan peradaban kemanusiaan.

“Disamping kondisi fisik bangunannya yang tidak ramah difabel, pelaksanaan kegiatan peribadatan dan materi ajaran peribadatannya juga belum berperspektif difabel,” kata Setia Adi.

Dalam diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Kyai Haji Abdul Manan Ghani dari PBNU, Pendeta Palti H.Panjaitan dari Sobat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dan Kepala Bagian kesejahteraan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Bambang Sukemi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya