SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO—Pemerintah kota (pemkot) tidak selamanya memberi program matang seperti Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) kepada rakyat miskin. Program pro rakyat itu hanya program antara yang sifatnya sementara agar masyarakat bisa berdaya dan mandiri.

Persoalan itu disampaikan Sekretaris Komisi IV DPRD Solo, Abdul Ghofar Ismail, saat dihubungi solopos.com, Sabtu (14/6/2014), sebagai evaluasi kinerja pemkot pada momentum Hari Ulang Tahun (HUT) Pemkot Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Saya berharap program matang seperti PKMS, BPMKS, dan griya tidak layah huni (RTLH) tidak selamanya diberikan. Program itu hanya perantara saja. Kalau daya beli masyarakat tinggi, program itu bisa dikurangi seiring dengan berkurangnya jumlah warga miskin (gakin).

Sebenarnya program itu hanya meninabobokan rakyat, bukan memberdayakan rakyat,” tegas Ghofar, sapaan akrabnya.

Secara umum, terang dia, Komisi IV belum merasakan program pemberdayaan masyarakat, seperti biaya pendidikan agar terjangkau, warga miskin berkurang, dan kesejahteraan rakyat terwujud. Menurut dia, istilah terjangkau itu belum tentu murah. Ketika masyarakat berdaya beli tinggi, kata dia, mereka bisa memilih pendidikan dan kesehatan mereka.

“Pemkot mestinya lebih memberi kail agar masyarakat berdaya. Yang terjadi sekarang, perilaku masyarakat pasrah dengan program yang ada. Gandeng ora duwe duit masuk sekolah plus, ikut PKMS dan seterusnya,” imbuhnya.

Selain itu, Ghofar ingin realisasi program itu didasarkan pada konsep dan grand design yang terukur dan fokus. Dia mengamati program-program yang dilakukan pemkot cenderung sporadis, seperti dulu ada sekolah plus sekarang dihapus. Di bidang pendidikan, pemkot sebenarnya memiliki grand design standar nasional pendidikan (SNP) mulai 2012-2025.

“Tapi, saya belum melihat impelentasi grand design itu. Termasuk tahapan konkret pelaksanaan pembangunan pasar, kelurahan, kecamatan, pelayanan publik. Konsekuensinya memang anggaran,” jelasnya.

Sementara, Wakil Ketua DPRD Solo Supriyanto lebih melihat aspek reformasi birokrasi dengan struktur yang kaya fungsi di lingkungan pemkot belum berjalan maksimal. Reformasi birokrasi itu, kata Supri, bisa berjalan dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Namun, realitas di lapangan, menurut dia, SDM aparatur pemkot tidak ada peningkatan yang berarti, terutama dalam pengambilan kebijakan. Dia menyontohkan proporsi petugas di kelurahan tidak didasarkan pada rasio luas wilayah.

“Dari aspek pelayanan sudah lumayan, meskipun banyak hal-hal yang masih kurang. Bagi saya, prioritasnya pada kualitas SDM. Saya melihat profesionalisme pegawai negeri sipil (PNS) tidak ada perkembangan. Perencanaan yang dilakukan pemkot tidak didukung dengan skill yang memadai. Contohnya, pemkot belum bisa menggratiskan biaya pendidikan, tetapi lebih banyak pungutan. Di bidang kesehatan juga demikian,” tandasnya.

Supri berharap Wali Kota bisa melakukan reformasi birokrasi, penataan personal, dan membangun sistem yang baik, serta peningkatan kedisiplinan PNS. Dia meminta mengurangi adanya like and dislike dalam pengangkatan pejabat dan mengurangi diskriminasi pelayanan.

“Selain itu, pemkot harus bisa mewujudkan belanja publik dan belanja pegawai 50:50 dengan menekan biaya honor, peralatan, operasional kantor, dan seterusnya. Selain itu, pemkot bisa mengoptimalkan pendapatan dari sektor parkir, pajak hotel, restoran, dan seterusnya,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya