SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Di antara ribuan buku di rumah saya, ada beberapa buku favorit. Buku favorit yang saya maksud adalah buku yang membuat saya selalu membaca berulang kali tanpa pernah merasa bosan. Tiap kali membaca ulang seperti selalu menemukan sesuatu yang baru.

Dalam esai ini saya hanya menyebut dua buku di antara sekian banyak buku favorit saya. Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu karya P. Swantoro (KPG, 2002) dan Bukuku Kakiku dengan editor St. Sularto, Wandi S. Brata, dan Pax Benedanto (Gramedia, 2004).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dua buku ini punya kesamaan. Cerita tentang pergaulan dengan buku. Swantoro mengisahkan pergaulan dirinya dengan banyak buku. Kisah terhimpun dalam satu buku tebal. Kisah perjalanan dari buku ke buku.

Membaca buku ini saya menangkap kemampuan ”aduhai” Swantoro menangkap esensi setiap buku yang dia baca. Esensi yang dia tangkap itu kemudian dia ceritakan dengan bahasa dia sendiri dalam buku itu. Saya termotivasi kuat untuk membaca sebagian buku-buku yang dibaca Swantoro tersebut.

Sayang sekali, sangat sedikit buku bacaan Swantoro itu yang bisa saya temukan dan kemudian saya miliki. Mayoritas tidak bisa saya temukan, apalagi saya baca. Buku-buku itu adalah ”buku induk” yang sebagian berbahasa Belanda dan Jerman!

Bukuku Kakiku adalah himpunan pengalaman sejumlah tokoh negeri ini bergaul dengan buku. Mereka adalah orang-orang besar: Ajip Rosidi, Ariel Heryanto, Azyumardi Azra, Benjamin Mangkoedilaga, Budi Darma, Daoed Joesoef, Franz Magnis Suseno, Sindhutana, Yohanes Surya, dan sejumlah orang besar lainnya.

Mereka berkisah tentang pengaruh bacaan terhadap perkembangan minat mereka. Di sana sini terkesan bahan bacaan akhirnya bisa berpengaruh pada keputusan seseorang memilih karier, bahkan menentukan arah jalan hidup mereka.

Saya menangkap kesamaan pengalaman orang-orang besar itu dengan pengalaman saya: mendapat pengaruh kuat dari bahan bacaan untuk menentukan sikap, menentukan jalan hidup. Pilihan saya menjalani profesi jurnalis dan mengabaikan tuntutan ibu saya agar saya menjadi guru atau dosen berstatus pegawai negeri sipil juga dibentuk oleh bahan bacaan saya sejak kecil.

Dalam Bukuku Kakiku semua orang besar itu mengemukakan esensi buku-buku yang mereka baca. Esensi itu membentuk sikap, pilihan, dan keteguhan langkah menapaki jalan hidup. Kemampuan mengungkap esensi inilah yang sangat saya kagumi dari para pembaca buku.

Fuad Hassan di pengantar Bukuku Kakiku menuliskan membaca memang merupakan kesanggupan yang sangat istimewa pada manusia. Membaca diawali dengan kemampuan mengenali huruf-huruf atau tanda-tanda. Perkenalan ini dimulai sejak ribuan tahun lalu.

Mengeja adalah tahapan berikut setelah mengenal huruf dan tanda. Kemampuan mengeja belum berarti fungsi membaca telah efektif. Kesanggupan membaca baru efektif ketika sanggup menyerap arti bahan bacaan—kata demi kata dan kalimat demi kalimat—serta sanggup pula menyerap gagasan ringkas yang dikandung bahan bacaan.

Membaca menjadi efektif ketika sanggup menemukan esensi bahan bacaan. Itulah penyebab membaca adalah pekerjaan ”berat”. Sekadar tidak buta huruf, sekadar mampu mengeja kata-kata dan kalimat-kalimat, adalah kemampuan mendasar yang wajib dimiliki warga bangsa ini yang dulu dipacu dengan program memberantas buta aksara, tapi belum tentu sanggup menangkap esensi bahan bacaan.

Sangat sedikit di antara warga bangsa yang bebas dari buta aksara itu mampu menjalani pekerjaan ”berat” membaca. Jamak saya temui orang-orang yang gemar dengan pekerjaan berat ini selalu mampu menangkap esensi dari setiap fenomena. Mereka terbiasa bernalar. Mereka terbiasa ”ngulir budi”. Mereka terbiasa berpikir panjang sebelum berkesimpulan.

Saya berkesimpulan salah satu media membangun pribadi yang selalu bernalar adalah dengan membiasakan diri bekerja ”berat” membaca buku. Pada Mingggu (13/6/2021) malam lalu saya bertemu empat orang dari Jakarta dan Bali yang mengelola komunitas generasi milenial.

Mereka sedang berusaha membangun jaringan antara komunitas generasi milenial yang mereka kelola itu dengan komunitas ”para pembaca buku”. Mereka hendak mengenalkan generasi milenial di Jakarta dan Bali yang mereka kelola itu dengan budaya bekerja ”berat” membaca buku.

Saya teringat dengan diskusi—yang bagi saya—sangat menarik ketika saya bertemu dengan para ”begawan” jurnalisme di Indonesia dalam sebuah seminar di Kota Jogja pada 2018 lalu. Dalam diskusi di seminar itu mengemuka ”kebudayaan” kita hari ini dibangun oleh search engine (mesin pencari), social media (medis sosial), dan e-commerce (perdagangan daring).

Salah seorang ”guru jurnalisme” saya, Ashadi Siregar alias Bang Hadi, dalam Ruang Publik Patologis: Media dan Suksesi Kepemimpinan Nasional 2014, Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi Prisma edisi Media dalam Zaman Perubahan, Nomor 1 Volume 34 Tahun 2015, terbitan LP3ES menuliskan kebudayaan kita mengonsumsi berita atau informasi hari-hari ini adalah tidak lebih dari big talks on small things dan small talks on small things.

Nir-esensi. Kosong. Tak bermakna. Ini adalah dampak berpikir instan yang menjadi jamak, lumrah, biasa. Berpikir mendalam—yang salah satunya dibangun oleh kerja ”berat” membaca buku—atau deep thingking dianggap membuang-buang waktu.

Di tengah masyarakat kita hari ini, yang berkebudayaan di atas search engine, social media, dan e-commerce, yang jamak bukanlah menyelami persoalan sampai akar-akarnya. Hari-hari ini yang jamak adalah menjelajahi persoalan sepanjang permukaan sejauh mungkin dan sebanyak mungkin sampai tidak bisa lagi dibedakan mana informasi, mana kebisingan, mana gibah, mana berita.

Tak jelas lagi mana gabah mana sekam. Esensi tak tergapai. Hal-hal yang esensial diabaikan, yang sensasional lebih menarik perhatian. Hal-hal yang esensial tak dicari, tak diperhatikan. Hanya yang sensasional yang jadi penguat identitas diri.

Inilah mungkin, dalam telaah saya, yang menyebabkan masyarakat kita hari ini—mengutip ucapan Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh dalam acara penyegaran dan pelatihan ahli pers se-Indonesia di Monumen Pers Nasional Solo pada Kamis (10/6/2021) malam lalu—adalah masyarakat yang defisit etika.

Bagaimana mau beretika kalau bernalar saja tidak? Bagaimana bisa memosisikan etika sebagai panduan arah menjalani hidup ketika memahami yang esensial saja tak bisa dan selalu memosisikan hal-hal yang sensansional sebagai yang utama dan penting?

Bersama tamu dari Bali dan Jakarta itu saya berkesimpulan gerakan membaca buku perlu digalakkan lagi agar masyarakat kita terbiasa memahami yang esensial dan meminggirkan yang sensasional, agar tidak ”kewolak-walik”, agar tidak tunggang langgang….

 



 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya