SOLOPOS.COM - Psikolog forensik, Reza Indragiri (Youtube/Metrotv)

Es kopi berujung maut yang menewaskan Mirna menyet Jessica sebagai tersangka.

Solopos.com, JAKARTA — Polda Metro Jaya telah menetapkan Jessica Kumala Wongso dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna, 27, menggunakan racun sianida. Namun, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, menilai pembunuh Mirna bukanlah Jessica. Mirna merupakan korban salah sasaran.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Reza Indragiri Amriel menyatakan ada berbagai kejanggalan jika dilihat dari ilmu yang dipelajarinya.

“Saya sampai hari ini tidak yakin pelaku adalah J, kedua saya tidak yakin ini pembunuhan yang mengincar korban sesungguhnya, saya kuat menduga ini salah sasaran,” ungkap Reza dalam diskusi Polemik di Waroeng Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (30/1/2016) sebagaimana dikutip Detik.

Dari pandangan Reza, ada seorang intellectual leader dalam kasus Mirna ini. Terlebih senjata pembunuhan adalah racun, yang berarti, menurut Reza, pelaku ingin mengambil jarak dari TKP pembunuhan.

“Teori itu mengatakan bahwa kejahatan hanya bisa terjadi kalau ada tiga unsur. Ada pelaku, lokasi, dan korban di situ. Kita lupa alat kejahatan racun. Kalau badik atau tangan kosong, harus berhadap-hadapan secara frontal. Tapi ini racun, logikanya karena pelaku ingin mengambil jarak. Itu sebabnya dia menggunakan racun. Hanya racun yang memungkinkan mengambil jarak sejauh-jauhnya. Ada eksekutor di situ, tapi saya yakin ada yang membuat master plan-nya. Matang dalam perencanaan tapi kacau balau saat pelaksanaan,” sambung Reza.

Tidak di Lokasi

Untuk itu Reza menduga pelaku sebenarnya dalam kasus ini justru berada di luar lokasi pembunuhan. Mirna tewas saat meminum kopi di sebuah kafe yang berada di Mall Grand Indonesia.

“Walaupun korban dan lokasi ada, pelaku belum tentu ada di situ. Ketika mengatakan pelaku, kita membayangkan orang yang melakukan hanya satu. Kita harus kembali bahwa senjatanya adalah sianida. Jadi menurut saya pelaku tidak ada di meja korban,” tutur Reza.

Sianida bukan racun yang gampang dibeli di pasaran. Untuk bisa bisa membunuh seseorang yang bukan tokoh penting, risikonya disebut Reza sangat berat.

“Saking berbahayanya, di beberapa negara hanya bisa beli khusus, via online karena pembeli harus memasukkan data, lisensinya, ingin digunakan untuk apa dan seberapa banyak. Kalau data yang dibeli siampang siur, maka pembelian akan dicegah. Kita bandingkan sianida yang ekslusif, sangat tidak sebanding antara instrumen dengan korban. Saya tidak yakin kasus ini akan terungkap,” tambah dia.

Reza justru menggarisbawahi mengenai dampak terhadap Jessica jika memang ia bukanlah pelaku sebenarnya. Dengan segala publisitas yang akhirnya memunculkan opini publik, akan sangat tidak tepat jika ternyata pengungkapan kasus ini salah.

“Yang dialami Jessica itu mimpi buruk. Bahwa ketika proses pidana ketika teman-teman di Polda Metro Jaya mengalami kekikukan, itu terasa. Bukan itu muncul sedemikian rupa, yang parah adalah sanksi sosialnya itu menciptakan ketersiksaan tersendiri bagi seseorang,” tukas Reza.

Banyak Bumbu

Hal senada juga diungkapkan oleh Peneliti Hukum dan Pakar Viktimologi UI Heru Soesetyo. Menurutnya, ada banyak bumbu yang tidak perlu dalam kasus kematian Mirna.

“Saya khawatir walau Jessica ditangkap, kasus tidak akan terungkap. Ini sudah kasus publik. Saya khawatir polisi hanya melindungi selera masyarakat bukan untuk peradilan sendiri. Maka yang harus dilakukan adalah due of law,” ujar Heru.

Heru juga menekankan kepada petugas kepolisian untuk benar-benar mengedepankan aturan hukum dalam mencari siapa pembunuh Mirna sebenarnya.

“Jangan takut dibilang tidak populer. jangan hanya mengikuti keinginan selera masyarakat timbul viktimisasi. Sehingga muncul korban lain selain Mirna. Keterlibatan segala ahli sangat diperlukan, untuk memberikan kontribusi dalam penyidikan,” bebernya.

Masyarakat juga diminta untuk tidak langsung menjudjing seseorang jika belum ada peradilan di pengadilan. Jessica berpotensi menjadi seorang korban terkait kasus ini.

“Potensinya memang ada seperti itu. Penyidik tidak cepat menetapkan tersangka, tapi polisi terdesak, terpacu oleh masyarakat dan media. Polisi perlu membuktikan capable, sehingga saya khawatir mereka menentukan tersangka karena desakan masyarakat. Bukan karena benar-benar dia (Jessica) tersangkanya,” tutup Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya