SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Erupsi Merapi 2010 diperingati dengan pameran foto

Harianjogja.com, SLEMAN– Lima tahun telah berlalu. 26 Oktober 2010 yang kelam, hingga puncaknya 5 November yang membuat bumi Cangkringan luluh lantah diterjang awan panas. Pohon, rumah, hewan ternak hingga penduduk yang masih bertahan di tengah status awas Merapi pun, luput tersapu panasnya lava pijar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berhari-hari bahkan berminggu-minggu, Kecamatan yang terletak di lereng Merapi itu senyap. Beberapa perkampungan ditinggalkan penghuninya mengungsi. Masih jelas dalam ingatan bagaimana pemandangan yang ada hanya hamparan abu vulkanik disertai bau bangkai yang menyengat menusuk hidung.

“Saya ngungsi di Maguwo dan baru kembali ke rumah tiga bulan kemudian. Rumah, satu sapi betina yang sedang bunting, dua sapi jantan dan semua perkakas, rata,” kata Warno Utomo, 49, salah satu warga Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Senin (26/10/2015).

Ibu lima anak ini tak bisa tinggal diam. Ia memilih berjualan makanan untuk menghidupkan roda perekonomian keluarganya kembali. Namun di tengah kehidupan barunya saat ini, satu hal yang ingin ia capai, yakni memiliki hunian tetap (huntap) seperti tetangga di dusun lainnya. “Saya sudah mendaftar tapi belum dapat sampai sekarang,” ungkapnya.

Ia hanya ingin tinggal di daerah yang aman karena sampai saat ini Warno dan empat anaknya masih berada di bekas rumahnya yang tersapu lahar. Sementara si sulung sudah tinggal bersama keluarganya di Huntap Plosokerep.

Lika-liku perjalanan hidup Warno dan penduduk Cangkringan lainnya, menjadi daya tarik bagi seorang juru foto asal Solo untuk mengabadikan detik-detik menjelang erupsi 2010. Boy Tri Harjanto, pria kelahiran 1974 ini secara khusus menggelar pameran di galeri Memori Omahku, Dusun Petung, Desa Kepuharjo.

70 bingkai foto ia pajang dengan alur yang berurut. Diawali dengan gambar yang diambil pada Juli 2010 ketika Juru Kunci Merapi Mbah Maridjan menggelar ritual labuhan. Lalu aktivitas warga yang sedang menambang pasir dan mencari rumput. Tergambar jelas suasana saat itu yang masih adem ayem dan tanah yang subur.

Berlanjut pada foto letusan pertama 26 Oktober 2010 yang akhirnya menewaskan Mbah Maridjan dan menghancurkan perkampungan Kinahrejo. Lalu beberapa kali letusan susulan dan puncaknya pada 5 November yang jarak luncur awan panas mencapai 17 kilometer.

Tampak dari foto-foto itu suasana malam yang mencekam, diselimuti lumpur yang menghujani tubuh yang tengah berupaya menyelematkan diri. Perempuan-perempuan tua menangis, bayi dalam gendongan yang masih terus minum ASI sang ibu meski lumpur memenuhi tubuhnya hingga kantong-kantong jenazah yang dibawa relawan, semua seakan menggugah ingatan akan keganasan Merapi saat itu.

“Ingat ketika tanggal lima, saya sempat berhenti motret karena tidak kuat melihat kondisi waktu itu,” tutur Boy sembari menunjukkan ke arah foto dengan matanya yang berkaca-kaca.

Jenazah yang ia lihat ditemukan di almari, masih membekas dalam ingatannya dan seakan menyiratkan usaha korban yang ingin menghindar dari panasnya lahar.

Foto-foto yang dipasang mulai 26 Oktober 2015 itu akan dibiarkan menggantung di Memori Omahku. Koleksi foto akan melengkapi sisa-sisa erupsi lainnya seperti bangkai motor, tulang hewan dan perkakas dapur.

Boy juga mempersilakan bagi wisatawan yang tertarik membeli karyanya. Lima tahun berjalan, ia melihat masyarakat Merapi kembali bangkit. Kesadaran akan tanggap bencana juga tumbuh. “Ketika ada peringatan mereka segera turun menyelamatkan diri,” pungkas Boy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya