SOLOPOS.COM - (HARIAN JOGJA)

(HARIAN JOGJA)

“Semakin tua semakin lamban kita, semakin keluar dari rel…dan akhirnya dari tuna karya, kita jadi tuna hidup, selanjutnya, tinggallah kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang belulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran.”

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ungkapan kepasrahan seorang kakek tua di atas  merupakan penenang baginya sekaligus ironi bagi negerinya. Dalam ketidakberdayaan tubuh rentanya, tinggal di kolong jembatan adalah pilihan terakhir dan mungkin yang terbaik baginya. Meski tak layak, kolong jembatan adalah satu-satunya ‘rumah’ baginya dan para gelandangan seperti dirinya. Di kolong jembatan itulah terbangun rumah tanpa alamat: RT: Nol/ RW: Nol.

RT: Nol/ RW: Nol adalah sebuah naskah karya Iwan Simatupang yang sarat dengan realita sosial di negeri ini. Oleh Lita Pauh Indrajati, naskah tersebut diangkat dalam sebuah pementasan teater di auditorium jurusan teater Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Sabtu (7/1) malam.

“Judul RT: Nol/ RW: Nol artinya nggak punya alamat. Para gelandangan tinggal di sana cuma ingin diakui sebagai warga negara, mereka pengen punya alamat tetap. Bagi saya itu sangat menyakitkan, padahal mereka juga orang Indonesia,” ungkap Lita yang menyutradarai pementasan tersebut sebagai bagian dari tugas mata kuliah penyutradaraan realisnya di ISI jurusan teater.

Eksistensialisme dalam naskah ber-setting asli 1960an tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat Lita memutuskan untuk mengangkatnya ke dalam pementasan teater.

Menurut dia, tema sosial dalam naskah tersebut masih relevan dengan realitas yang terjadi sekarang ini. Tidak jauh-jauh, Lita membandingkannya dengan kehidupan warga di bantaran Kali Code.

“Saya tertarik mengangkat naskah ini karena eksistensialisnya. Naskah ini berbicara masalah sosial dan saya tidak bisa lepas dari masalah sosial. Dalam pementasan ini, saya menseting kondisi sosial saat ini. Kami ke Kali Code aja, itu relevan dengan kondisi sekarang,” tandas mahasiswi kelahiran Kalimantan Timur, 1987 itu.

Meskipun telah memadatkan durasi pementasan yang semula 1,5 jam menjadi hanya satu jam saja, Lita menegaskan esensi ceritanya masih sama dengan naskah aslinya. Baginya, naskah sama seperti kitab  suci yang harus ditaati.

“Semoga ini bisa menjadi ibadah dan bisa menjadi ilmu serta bermanfaat bagi saya dan teman-teman,” pungkas dia.(Wartawan Harian Jogja/Apriliana Susanti)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya