SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Telaah antroposentrisme akan sampai pada kesimpulan bencana adalah epifani. Epifani berasal dari bahasa Yunani epiphaneia yang berarti menampakkan diri. Sesuatu yang sekian lama tersembunyi, tak pernah tampak, bahkan tak terpikirkan, suatu ketika tiba-tiba tampak di hadapan manusia.

Penampakan itu mengejutkan penglihatan manusia. Bahwa segalanya itu memang ada. Bencana adalah ”jalan legal” alam menunjukkan subjektivitas. Pengingat tentang keangkuhan manusia yang sekian lama larut dalam antroposentrisme.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada antroposentrisme manusia menyatakan klaim sebagai satu-satunya makhluk hidup yang ”berkesadaran” di alam raya ini. Manusia memandang dan menganggap segala sesuatu di luar dirinya yang tak berkesadaran sebagai objek.

Mereka—flora, fauna, dan semesta raya di luar manusia—diposisikan sekadar sebagai pelengkap kehidupan. Manusia kemudian berpola pikir yang mewujud dalam tindakan semata-mata mengobjekkan hal-hal di luar tubuhnya.

Antroposentrisme yang sekian lama menguntungkan manusia kemudian berbuah kesewenang-wenangan terhadap berbagai entitas di luar diri manusia. Lewat bencana itulah—mungkin—alam menunjukkan subjektivitas dirinya, termasuk mengobjekkan manusia.

Alam yang sekian lama sekadar menjadi objek dan diam saja menerima segala macam tindakan manusia tiba-tiba ”berinisiatif” menjadi subjek yang mengobjekkan manusia. Alam dengan dayanya yang epifani selayaknya manusia yang seolah-olah menentukan nasib alam.

Ternyata alam bisa menentukan hidup dan matinya manusia. Disebut subjektivitas alam  karena hanya kualitas-kualitas subjektif yang mampu menimbulkan aneka perasaan seperti terancam, terintimidasi, jatuh dalam kesedihan, serta menjadikan ”objek” tak ubahnya ”benda”.

Saya memaknai antroposentrisme tak sekadar perilaku manusia yang mengeksploitasi alam habis-habisan. Antroposentrisme dalam konteks ini dengan mudah akan membawa pada kesimpulan bencana sebagai modus eksistensi alam atas kesewenang-wenangan manusia memperlakukan alam.

Penambangan pasir dan batu yang semena-mena, asal keruk, demi mendapatkan uang sebanyak-banyaknya logis berdampak tanah longsor, kekeringan karena sumber air kehilangan daerah tangkapan air, atau banjir bandang karena permukaan tanah kehilangan pepohonan dan vegetasi lain,

Antroposentrisme sangat kentara dalam praktik demikian. Sama dengan menebang pepohonan semau-maunya demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya yang berujung tanah longsor, kekeringan, dan banjir bandang.

Sikap manusia yang mengabaikan alam menurut pemaknaan saya juga masuk dalam antroposentrisme. Pengabaian yang sangat tidak arif karena sebenarnya alam telah berkomunikasi dengan manusia tentang potensi bahaya bagi manusia yang ”disimpan”.

Antroponsentrisme juga bisa mewujud menjadi sikap tak peduli pada substansi informasi yang disampaikan alam itu. Bahwa kita hidup di permukaan bumi yang sesungguhnya sangat labil karena berada di busur gunung berapi dan garis patahan di cekungan Pasifik yang dikenal sebagai cincin api atau ring of fire.

Manusia yang merasa sebagai pusat alam semesta merasa dan meyakini alam akan selalu baik-baik saja karena berada di bawah kuasa mereka. Pengabaian yang sangat berbahaya karena potensi bahaya yang disimpan alam itu bisa sewaktu-waktu muncul dan menjadikan manusia sebagai objek.

Gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur, Jawa Barat, pada Senin (21/11/2022) lalu, yang hingga saat esai ini saya tulis telah menyebabkan lebih dari 270 orang meninggal dunia dan melukai ratusan orang lainnya bisa dimaknai sebagai buah pengabaian pesan-pesan yang disampaikan alam sejak berabad-abad lalu.

Peringatan

Korban gempa di Cianjur kebanyakan tertimpa bangunan yang roboh. Kekuatan gempa seperti di Cianjur itu biasanya hanya menyebabkan kerusakan ringan pada rumah dan bangunan. Persoalannya adalah kedekatan dengan garis patahan dan kedangkalan pusat gempa menambah daya merusak.

Ihwal garis patahan dan seberapa dalam pusat gempa sebenarnya telah disampaikan alam kepada manusia sejak bergenerasi-generasi lalu. Pengetahuan bahwa kita hidup di bagian muka bumi yang layak disebut “supermarket” bencana telah disampaikan para ilmuwan, sarjana, dan cerdik pandai.

Pengetahuan sangat penting itu sering diabaikan, terutama oleh pengelola negara ini. Penyebabnya antroposentrisme itu. Pengetahuan tersebut tak berbuah kesadaran untuk membangun infrastruktur yang memadai sehingga mampu menahan gempa. Dampaknya telah kelihatan jelas—bahkan sebenarnya telah berulang kali terjadi, infrastruktur yang ”tidak ramah gempa” berkontribusi signifikan pada kerusakan dan jumlah korban jiwa.

Bangunan-bangunan yang didirikan tanpa memperhatikan potensi gempa—yang tentu bersifat tidak elastis terhadap guncangan gempa—berperan memperberat bencana. Gempa adalah bencana alam yang tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Hanya bisa dipastikan ”pasti akan terjadi”, apalagi di Indonesia yang berada di wilayah patahan bumi dan kaya gunung berapi.

Tidak ada satu pun skala gempa yang menjamin seberapa parah atau seberapa ringan kerusakan yang akan terjadi. Gempa bermagnitudo kecil bisa sangat merusak kala pusat gempa dangkal dan tanah sangat labil. Gempa bermagnitudo besar bisa saja hanya berefek kecil karena pusat gempa sangat dalam dan tanah stabil.

Daya rusak gempa tergantung pada variabel lain, seperti jarak dari pusat gempa, jenis tanah yang terkena, konstruksi bangunan, dan faktor-faktor lainnya. Indonesia yang berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa sering dilanda gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami.

Kesadaran tentang realitas itu menjadi sangat penting untuk membangun sistem mitigasi. Aneka bencana—gempa, gunung meletus, tsunami—yang pernah terjadi harus membangkitkan kesadaran tentang mitigasi berkelanjutan—konstruksi bangunan, pemilihan lokasi permukiman, dan sebagainya—dan mitigasi saat bencana dan pascabencana.

Bencana yang layak disebut epifani itu dalam konteks Indonesia telah muncul berkali-kali sejak bergenerasi-generasi lalu. Seharusnya telah cukup mengubah cara pandang manusia terhadap alam: menjadikan manusia lebih rendah hati. Nyatanya itu belum cukup membangun sikap dan kesadaran manusia menjadi ramah alam.

Mungkin karena kesombongan berbasis antroposentrisme atau karena berdaya ingat pendek. Tsunami di Aceh pada 2004; gempa dahsyat di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di Klaten, Jawa Tengah, pada 2006;  Gunung Merapi meletus pada 2010; dan banyak bencana lain yang terjadi adalah epifani alam yang menjadi subjek dan mengobjekkan manusia. Peringatan itu telah cukup, cukup banyak…



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 November 2022. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya