SOLOPOS.COM - Aris Setiawan, Etnomusikolog Pengajar di Institut SeniIndonesia (ISI) Solo (FOTO/Dok)

Aris Setiawan, Etnomusikolog Pengajar di Institut SeniIndonesia (ISI) Solo (FOTO/Dok)

Beberapa waktu lalu Institut Seni Indonesia (ISI) Solo memberikan gelar Empu Batik kepada Santosa Doellah. ISI Solo menjadi institusi pendidikan seni pertama di Indonesia yang memberikan gelar tersebut kepada sosok atau tokoh tertentu yang dianggap memiliki kredibilitas tinggi dalam bidang seni.
Empu dalam narasi sejarah Jawa merupakan abstraksi ketokohan yang tidak nyata. Keberadaannya tidak pernah dikukuhkan dalam semangat ingar-bingar pesta apalagi dalam wisuda formal akademis. Masyarakatlah yang memberi kuasa dalam legitimasi atas gelar itu.
Walau tak bersentuhan dan dilahirkan dalam rahim institusi formal, justru dari para empulah ruang-ruang pemikiran intelektualitas kebudayaan dan terutama kesenian dicetuskan. FX Fidaryanto (2009) menuturkan pada masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu para seniman alam yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik. Mereka adalah pemegang otoritas kesenimanan yang mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang tak lain adalah para empu.
Lihatlah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dengan Affandi, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Solo dengan Martopangrawit, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan Surakarta dengan Sindusawarno dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto.
Pandangan dan pemikiran para empu menjadi gudang ilmu pengetahun yang belum terejawantah dan terumuskan. Tugas institusi pendidikan seni yang kemudian meresapi, mempelajari dan menjadikannya nyata sebagai bangunan ilmu. Tak mengherankan kemudian jika Santosa Doellah digadang-gadang mampu menularkan pemikiran-pemikiran serta guratan konsep dan kekaryaan batik terhadap generasi muda masa kini. Lembaga pendidikan formal semacam ISI Solo mengambil kesempatan itu dengan segera membuka program studi baru yakni ”batik” dan menempatkan sosok Santosa Doellah sebagai bintangnya.
Terlepas dari kepentingan tersebut, menjadi menarik kiranya untuk diketahui kembali tentang guratan jejak empu dalam tradisi Jawa, serta sejauh mana kontribusi nyata dari eksistensinya. Adakah perlakuan-perlakuan khusus dan hak istimewa terhadap gelar itu, layaknya guru besar atau doktor misalnya? Formulasi seperti apa sehingga seseorang layak mendapat gelar empu?

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Praktik dan Pengalaman
Menarik kiranya menilik pandangan RM Soedarsono (1994) yang menganggap bahwa menjadi doktor dan sarjana–terutama seni–itu lebih mudah daripada menjadi seorang empu. Menurutnya, seorang empu sudah pasti menguasai dan qatam pernik-pernik bidang yang dikuasainya, sedangkan seorang doktor belum tentu dan kadang hanya mampu dalam rutinitas ruang teoritis semata.
Empu tidak ditempa dengan pendidikan yang penuh teori, namun lebih mengandalkan kemampuan praktik dan pengalaman secara langsung. Otoritas karya yang dihasilkan lebih bermutu dan berbobot karena bidang yang digelutinya adalah denyut yang menghidupinya. Empu ada dan besar dari dunia seni yang disemainya.
Dalam jejak sejarah keempuan Jawa, Waridi dalam salah satu bukunya berjudul Martopangrawit: Empu Karawitan Gaya Surakarta (2001) dengan lugas menyatakan Martopangrawit boleh dikata menjadi satu-satunya empu di Jawa–Surakarta–yang dibekali kemampuan ganda. Martopangrawit tidak hanya mafhum dalam dunia paktik karawitan secara paripurna, namun juga mampu menularkan gagasan dan konsep pemikirannya secara jenius, runtut dan gamblang.
Oleh karena itu, banyak teori-teori karawitan Jawa lahir atas pemikirannya lewat tulisan dan ulasan analisis kritisnya. Sementara empu-empu karawitan yang lain justru sibuk dalam distorsi kekaryaan semata. Martopangrawit menjadi pilar yang menyangga berdirinya ASKI Solo terutama Jurusan Karawitan. Konsep pemikiran dan metodologi kekaryaannya masih menjadi rujukan penting hingga saat ini.
Sebutan empu bagi para tokoh seni mungkin terlalu Jawa sentris. Oleh karenanya pemahaman terhadap nilai-nilai arif konsep dan kekaryaan yang digoreskan kadang tak mampu terwacanakan dalam kompleksitas pemikiran nasional apalagi mendunia. Sebutan empu kemudian cair lalu menyublim menjadi aneka rasa gelar intelektual semacam sarjana, magister, doktor dan guru besar.
Empu yang sejatinya justru semakin tereliminasi dalam ingar-bingar dunia intelektualitas mutakhir. Empu kembali pada habitus akar tradisinya yang jika jujur diakui telah tersisih dalam realitas kehidupan nyata saat ini, secara masif tak lagi mendapat tempat dalam bangku sekolahan. Sejarah yang dibangun oleh Martopangrawit, Affandi, Hardjosoebroto tak tertampung dalam khasanah intelektual mutakhir. Kontribusinya lebih banyak mengabdikan diri dan hidup di luar tembok kampus.
Dalam peta sejarah, kuasa dan legitimasi keempuan seseorang justru tertampung lewat konstelasi keraton. Sebutan empu awalnya dicetak dan lahir dalam terminologi kemaestroan musisi dan seniman keraton. Martopangrawit misalnya, tidak hadir serta-merta dianggap sebagai empu. Namun, didasarkan atas pergulatan tajam dengan dunia yang digelutinya yakni karawitan dengan sebelumnya memegang sertifikat miji dari keraton (Waridi, 2005).
Miji adalah abdi dalem niyaga keraton yang dengan sah oleh komisi keraton dinyatakan telah memiliki kemampuan atau spesialisasi memainkan instrumen depan seperti rebab, kendang atau gender. Para musisi karawitan yang mampu mendapatkan sertifikat tersebut adalah sosok yang menjadi panutan, dianggap memiliki kelebihan dibanding dengan para musisi pada umumnya.
Bahkan tak jarang pemegang sertifikat tersebut di antaranya dapat dikategorikan sebagai empu. Martopangrawit, Mlayawidodo, Warsadiningrat, Tjakrawarsita adalah sebagian dari mereka. Keempuan mereka tidak semata qatam dalam memainkan gamelan, namun juga menjadi mahzab mutakhir perkembangan karawitan terutaman di Jawa dan Solo serta wilayah sekitaranya pada khususnya.
Selebihnya, seniman-seniman di luar tembok keraton dengan intuisi dan kemampuan sebanding kadang luput dari jepretan lensa kata empu. Nartosabdo misalnya, apakah ia seorang empu? Pada zaman keemasannya dia dianggap sosok nyeleneh, eksentrik, aneh, kolot, urakan oleh kalangan seniman keraton karena kegenitan dan kenakalannya dalam berkarya. Ia dihujat pada zamannya, namun dipuja sesudahnya. Ia salah satu pendobrak tradisi keraton yang dianggapnya stagnan. Barulah kemudian lewat pandangan dan gebrakan kekaryaan ia dikultuskan sebagai empu pedalangan paling masyhur dan belum tergantikan hingga saat ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Formulasi
Bagong Kussudiharjo dalam artikelnya berjudul Tari Gaya Yogyakarta Krisis Empu (1994) menjelaskan bahwa empu adalah orang yang mencurahkan segala daya hidupnya terhadap bidang seni yang digelutinya. Dengan demikian,empu sejatinya sebuah pilihan hidup. Seorang empu sebenarnya tidak dapat dicetak apalagi oleh pendidikan formal. Ia lahir dengan sendirinya dan masyarakatlah yang mengultuskannya.
Geliat pengakuan keempuan seseorang memang belum terformulasikan. ISI Solo yang mencoba membangunkan kembali wacana keempuan seseorang selayaknya memberi garis dan formulasi ideal terkait dengan bagaimana dan seperti apa batasan sosok empu dewasa ini. Apa yang didapat setelah seseorang menerima predikat empu juga belum terwacanakan secara bernas apalagi dalam kacamata kajian ilmiah.
Hanya sekadar embel-embel pemanis semata atau mampu berperan optimal dalam ruang pendidikan layaknya Martopangrawit dulu? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar ditujukan kepada ISI Solo agar gelar empu yang telah diserahkan tidak lagi sumir tujuan, banal arti atau bahkan sekadar euforia dan pesta semata. Pemberian gelar empu hendaknya memiliki pandangan dan konsep yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sahih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya