SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ayo sejenak kita layangkan ingatan ke Taman Impian Jaya Ancol! Saya rasa banyak di antara pembaca budiman yang  pernah menikmati  indahnya Ancol. Karena sudah berulang-ulang berkeliling Ancol, saya memang tidak lagi terlalu tertarik masuk ke sejumlah gerai pertunjukan,  ketika baru-baru ini keluarga saya bertandang ke sana.

Maka alih-alih masuk gerai, saya justru memilih duduk-duduk di luar gerai dalam cuaca yang sedikit gerah.  Sambil menunggu keluarga keluar gerai, saya melihat-lihat apakah ada fakta kebahasaan yang dapat saya sampaikan pembaca budiman. Saya sejak awal memang berkeputusan, untuk selalu berusaha menyampaikan problem kebahasaan natural alias yang nyata-nyata terjadi dalam masyarakat kepada pembaca.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Nah, saya lantas menemukan deretan tulisan berikut ini pada jalur masuk dan keluar tempat wisata kaliber internasional itu. Dalam hemat saya, inilah dua cuplikan teks yang barangkali menarik bagi banyak orang. Maka, dengan serta-merta saya mengambil kamera, lalu saya abadikan tulisan khas yang mungkin luput dari perhatian orang ini. 

Teks pertama  berbunyi, ‘SELAMAT DATANG, WELCOME, AHLAN WA SAHLAN, YOKU IRRASSHAIMASHITA, HUAN YING, BIEN VENUE’.  Adapun teks kedua, ‘SELAMAT JALAN, SAMPAI JUMPA LAGI, GOODBYE, HOPE TO SEE YOU AGAIN, MA’ ASSALAMAH, SAYONARA, ZAI JIAN, BON VOYAGE, AU REVOIR’. Tulisan yang berjati diri tuturan fatis dalam pelbagai bahasa ini sangat menarik bagi saya. 

Saya sangat meyakini, siapa saja yang sadar akan hakikat pluralisme tentu merasa tidak sederhana menentukan benar salahnya bahasa.  Sebaliknya dalam masyarakat monolingual,–bilamana masyarakat tipe itu diyakini ada–, keberagaman fakta bahasa demikian itu tentu jauh lebih mudah ditolak alias ditiadakan.
Masyarakat bahasa Indonesia yang pluralistik, –karena pernah terbukti lewat penelitian seorang linguis bahwa bahasa-bahasa di sentero Nusantara berjumlah  706 buah–, tentu saja akan cenderung lebih mudah menerima perbedaan wujud-wujud kebahasaan itu.

Untuk menyatakan maksud ‘selamat datang’, misalnya saja, pada tempat wisata tertentu dimunculkan tuturan fatis seperti di depan itu.  Demikian pula untuk menyatakan maksud ‘selamat jalan’, ungkapan fatis familiar yang pasti hadir ketika orang sedang saling berpisahan (parting), itu boleh juga dimunculkan. Jadi, semua itu adalah ungkapan fatis, ungkapan yang lazimnya digunakan untuk sekadar mengukuhkah interaksi dan kerja sama dalam kerangka komunikasi antarpersonal.    

Di lokasi-lokasi wisata lokal, juga sangat mungkin dimunculkan ungkapan fatis berdimensi kelokalan. Di Jogja dan sekitarnya, yang masih kental dengan nuansa-nuansa kejawaannya, barangkali ungkapan ‘sugeng rawuh’, ‘sugeng tindak’, sangat sering muncul.

Bahkan di rumah-rumah makan bernuansa lokal,  ungkapan fatis berbahasa Jawa hampir dipastikan muncul menyambut  dan mengantar pulang para pengunjung. Tidak peduli  apakah pengunjung itu menguasai atau tidak menguasai bahasa Jawa, terap saja ungkapan fatis Jawa tersebut dimunculkan.

Beberapa fakta kabahasaan di depan sekaligus menegaskan bahwa sesungguhnya pemahaman  pluralisme bahasa sangatlah penting  dalam masyarakat multikultural dan/atau multilingual seperti Indonesia. Jadi, memang sepertinya mutlak bahwa pemahaman falsafah ‘bahasa menunjukkan bangsa’, atau yang juga dikenal dengan  ‘language is a social mirror’, haruslah bersifat multidimensional. Dalam masyarakat plural yang multidimensional demikian ini, sangat lazim muncul bentuk-bentuk kebahasaan yang berbeda-beda untuk menyatakan maksud sama seperti yang dicontohkan di depan.

Maka, janganlah terlampau mudah menjustifikasi bentuk kebahasaan tertentu sebagai bentuk salah atau bentuk tidak benar dalam masyarakat multilingual. Orang dapat menjustifikasi bentuk kebahasaan dengan tepat hanya apabila sungguh memahami konteks pemakaian kebahasan itu dengan pasti. Konteks kebahasaan yang  bermanifestasi bermacam-macam seperti situasi  tuturan, maksud atau tujuan tuturan, sarana atau saluran tuturan, penutur dan mitra tutur, waktu dan tempat penuturan, di dalam konteks pragmatik Jawa dapat saya disebut  ‘empan papan’.

Jadi, siapa saja yang hendak bertutur, atau siapa saja yang hendak menafsirkan makna  tuturan, harus selalu mempertimbangkan dan memperhitungkan manifestasi konteks yang bermacam-macam itu. Maka misalnya saja, tidak bisa orang dengan serta-merta mengatakan negator ‘tidak’ dan ‘bukan’ adalah negator yang paling tepat, yang dapat diterapkan dalam segala konteks kebahasaan.  Sebab adakalanya pula, sesuai dengan konteks kebahasaannya, justru negator ‘ndak’ atau ‘nggak’ atau ‘gak’ yang lebih tepat digunakan.

Demikian pula, siapa pun tidak boleh dengan serta-merta mengatakan bahwa bentuk Jawa ‘rawuh’ dan ‘sowan’ adalah kata-kata yang sama sekali tidak boleh ikut andil dalam tuturan berbahasa Indonesia pada masyarakat pluralistik ini. Jadi, tuturan yang bermacam-macam bentuknya, tetapi dengan maksud yang sama itu, dapat saja muncul dan digunakan asalkan sesuai dengan manifestasi konteksnya. Maka, itulah sesungguhnya hakikat  konsep konteks pragmatik Jawa ‘empan papan’. Dengan ‘empan papan’ dalam menuturkan dan memaknai tuturan, tidak bakal  hadir keambiguan atau ketidakjelasan. Dengan demikian, kesalahpahaman pun dapat dengan gampang diminimalisasikan.

Sebab sesungguhnya, manifestasi kebahasaan dalam masyarakat pluralistik itu selalu berhakikat multidimensional, seperti yang juga tergambarkan dalam contoh ungkapan fatis berbahasa Jepang, ‘YOKU IRRASSHAIMASHITA’ dan ‘SAYONARA’,  yang sama maknanya dengan ungkapan fatis berbahasa Mandarin, ‘HUAN YING’ dan ‘ZAI JIAN’, atau dengan ungkapan fatis Jawa, ‘ SUGENG RAWUH’ dan ‘SUGENG TINDAK’. Tuturan-tuturan fatis itu semuanya harus digunakan, dan juga harus dimaknai dengan  ‘empan papan’. 

R.  Kunjana Rahardi
Dosen ASMI Santa Maria, Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya