SOLOPOS.COM - Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang juga dikenal sebagai tokoh lingkungan hidup Prof. Dr. Emil Salim (kanan) menyampaikan pidatonya seusai menerima penghargaan "The Leader for the Living Planet Award" di acara perayaan 50 tahun misi WWF di Indonesia di Jakarta, Jumat (14/9/2012). (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang juga dikenal sebagai tokoh lingkungan hidup Prof. Dr. Emil Salim (kanan) menyampaikan pidatonya seusai menerima penghargaan "The Leader for the Living Planet Award" di acara perayaan 50 tahun misi WWF di Indonesia di Jakarta, Jumat (14/9/2012). (JIBI/SOLOPOS/Antara)

JAKARTA – Partai politik di Indonesia selama ini masih terlalu banyak berkonsentrasi pada perpolitikan dan terjerat dalam masalah uang untuk Pemilu. Belum ada Parpol yang bisa berbicara dengan gamblang mengenai masalah riil seperti lingkungan dan konsep pembangunan.

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

Hal ini disampaikan mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim dalam ceramahnya seusai menerima penghargaan The Leader for the Living Planet Award oleh WWF atas dedikasi, kepemimpinan dan kontribusinya pada upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan dunia, Jumat (14/9/2012).

“Adakah kau mendengar partai ngomong lingkungan? Ngomong daerah tertinggal? Ngomong ketimpangan timur dan barat?” sindir Emil Salim.

Salah satu tokoh arsitek program pembangunan Orde Baru ini juga menyoroti pembangunan selama ini berjalan pada jalur yang salah. Pembangunan berjalan di tempat-tempat yang sudah maju seperti di India selatan yang maju tapi di India utara terbelakang, Vietnam selatan maju, tapi Vietnam utara terbelakang. “Begitu juga di Indonesia, di bagian barat maju sedangkan di bagian timur terbelakang,” ujarnya.

Pembangunan yang mulai dilakukan di Indonesia sebagian besar tidak tepat sasaran. Menurutnya, daerah yang mulai membangun itu keliru pembangunannya karena terjadi ketimpangan yang cukup tinggi di daerah-daerah itu. Dari data yang dimiliki Emil, beberapa daerah yang mulai membangun tetapi terjadi ketimpangan diantaranya Banten, Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Ketimpangan yang dimaksud adalah hanya di beberapa wilayah tertentu yang menjadi konsentrasi pembangunan, sedangkan wilayah lainnya kemiskinan semakin tinggi.

Dia berpesan, jangan sampai generasi saat ini saja yang menikmati sumber daya alam yang ada di Indonesia. Tapi tanah, hutan, laut juga harus diwariskan kepada anak cucu generasi berikutnya. “Harus dipelihara dan melihat pembangunan bukan hanya Jakarta dan Jawa. Tapi juga Sabang sampai Merauke dan seluruh Indonesia. Kita punya 238 juta manusia, semua berhak membangun, bukan hanya pemerintah, bisnis dan yang punya uang saja, tapi semuanya,” ujarnya.

Pembangunan, kata Emil, harus diubah arah dan jalurnya. Tidak hanya pembangunan dari sisi ekonomi, tetapi juga pembangunan sosial dan lingkungan. Itu yang disebut sustainable development. Pembangunan harus didasarkan pada pembangunan infrastruktur, pembangunan sekuritas pangan serta pembangunan sekuritas energi.

Dia mempunyai mimpi untuk peringatan 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045 mendatang. Emil berharap pada masa itu Indonesia menjadi contoh bagi living planet, Indonesia menjadi contoh tidak menghancurkan lingkungan dan penghargaan lebih besar adalah jika nanti pada 2045 Indonesia dapat bersatu, maju dan sejahtera tanpa kemiskinan serta lingkungan tetap hijau. “Kalau saya melihat generasi muda yang bersemangat, saya yakin Indonesia lestari akan tetap berlanjut,” ujarnya.

Emir Salim lahir di Sumatera Selatan pada 8 Juni 1930. Kecintaannya pada konservasi dimulai dari masa kecilnya yang hidup di daerah dekat dengan hutan Sumatera. Orang tuanya berasal dari Desa Koto Gedang, Sumatera Barat. Pamannya, H Agus Salim adalah salah seorang tokoh pendiri Indonesia dan merupakan menteri luar negeri pada awal 50-an.

Peran yang dimainkan Emil Salim dalam agenda pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan telah mendunia serta berpengaruh hingga diluar garis batas negaranya. Dia adalah anggota PBB untuk Komisi Dunia bagi Lingkungan dan Pembangunan (1984-1987), wakil ketua PBB untuk UN High Level Advisory Council for Sustainable Development (1992), Ketua Komisi Dunia untuk Hutan dan Pembangunan Berkelanjutan (1994), Ketua Komisi PBB untuk pembangunan Berkelanjutan yang ke-10 (2001-2002), Ketua Panitia Persiapan World Summit (2002) dan ketua Konferensi Menteri-Menteri Lingkungan Hidup ASEAN yang ke-3.

Di dalam negeri, Emil pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Bappenas (1970-1973), Menteri Perhubungan, Komunikasi dan Pariwisata (1973-1978), Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), Menteri Kependudukan dan Lingkungan (1983-1993), Ketua Dewan Ekonomi Nasional (2001-2002), anggota Dewan Penasehat Presiden (2007-2009) dan sejak Maret 2010 menjadi Ketua Dewan Penasehat Presiden.

Emil telah mendapatkan sejumlah penghargaan termasuk Bintang Mahaputera Adipradana (Indonesia 1973), Golden ARK (Commandeur) (The Netherlands, 1982), Paul Getty Award (USA, 1990), The Hamengkubuwono IX Award dari Universitas Gajahmada (2003), the Zayed Prize for Environmental Action Leading to Positive Change in Society (2006), Mercu Buana University Award (2006), The Blue Planet Asahi Prize Award (2006) serta Sarwono IndonesianScience Institute Award. Emil Salim juga mendapatkan Doktor Kehormatan dari University Kebangsaan Malaysia (1995) dan Institute of Tekonologi Bandung (2009).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya