SOLOPOS.COM - Ilustrasi bright gas atau elpiji kemasan tabung isi 5,5 kg produksi PT Pertamina. (Rachman/JIBI/Bisnis)

Solopos.com, SOLO — Para pengguna elpiji nonsubsidi di Kota Solo ancang-ancang pindah ke elpiji bersubsidi (tabung 3 kg) menyusul kian mahalnya harga gas tersebut.

Informasi yang diperoleh Solopos.com, dalam tiga bulan terakhir terjadi dua kali kenaikan harga elpiji nonsubsidi. Hal itu dikeluhkan para pengusaha maupun pelanggan rumah tangga.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Beberapa pengguna mulai ancang-ancang migrasi ke elpiji subsidi karena merasa semakin terimpit banyaknya bahan pokok yang mengalami kenaikan harga.

Baca Juga: Harga Naik, Elpiji Nonsubsidi 12 Kg dan 5,5 Kg di Sragen Tak Laku

Berdasarkan catatan Solopos.com, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) menaikkan harga elpiji nonsubsidi kali pertama pada akhir Desember 2021. Kenaikannya sekitar Rp1.600-Rp2.600 per kilogram (kg). Sementara kenaikan kedua pada Minggu (27/2/2022) senilai Rp2.000 per kg.

Salah satu pengguna elpiji nonsubsidi asal Laweyan, Solo, Tiara, mulai berpikir untuk pindah menggunakan elpiji tiga kilogram (kg) sejak Februari lalu. Tepat saat kenaikan harga kali kedua.

Saat itu harga elpiji berukuran 12 kg naik hingga Rp195.000 per tabung. “Belum lagi kenaikan bahan pokok lainnya di pasaran,” keluhnya saat diwawancarai Solopos.com, Kamis (10/3/2022) siang.

Baca Juga: Pelanggan di Boyolali Urung Beli Elpiji Nonsubsidi karena Harga Naik

Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok

Dalam sebulan, Tiara dan keluarga biasa menggunakan satu tabung elpiji 12 kg. Kalau dihitung per tabung, memang terasa sedikit yakni hanya Rp25.000. Namun, jika dikalkulasi dengan kenaikan bahan pokok lain cukup memberatkan.

Belum lagi kekhawatiran harga elpiji nonsubsisi bakal terus naik pada tahun-tahun berikutnya. “Pengin pindah ya karena terlalu mahal. Belum lagi harga lain ikut naik. Kenaikan gaji enggak sebanding sama kenaikan harga bahan pokok belum dibikin mikir karena kelangkaannya,” keluh Tiara.

Kendati demikian, karyawan perusahaan swasta di Solo itu belum bisa langsung migrasi dari elpiji nonsubsidi ke elpiji 3 kg karena tak banyak yang menjual tabung gas melon tersebut.  “Penginnya ya langsung pindah. Tapi ini harus inden dulu. Di dekat rumah, isi ulang elpiji 3 kg juga harus inden,” curhatnya.

Baca Juga: Harga Elpiji Naik, Pengusaha Roti Klaten Hitung Ulang Biaya Produksi

Sementara itu, pengusaha yang juga Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah (Jateng), Parjuni, mengatakan ia dan rekan-rekan sesama peternak unggas tombok banyak karena kenaikan elpiji nonsubsidi.

Berdasarkan kalkulasinya, biaya produksi meningkat mulai dari Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan. Sementara mereka tak mungkin migrasi ke elpiji nonsubsidi karena terganjal aturan. Oleh sebab itu, Parjuni meminta kebijakan pemerintah untuk membuat harga khusus bagi para pengusaha.

Gelagat Migrasi

“Migrasi elpiji, kalau bisa, iya. Tapi enggak mungkin. Kami bisa kena sanksi. Lagipula, pengusaha kalau mau pakai gas subsidi juga pasti dilarang oleh pedagang yang jual. Padahal kondisi kami cukup sulit saat ini,” kata Parjuni.

Baca Juga: Harga Naik, Elpiji Nonsubsidi di Wonogiri Sepi Pembeli

Pemilik pangkalan elpiji 3 kg di Solo, Yulianto, belum mencium gelagat migrasi dari elpiji nonsubsidi ke subsidi di Kota Bengawan. Sejauh ini penjualannya paling banyak yakni para bakul langganan. Namun, ia beberapa kali mendapati pembeli baru menggunakan mobil mewah.

“Pembeli eceran yang mau beli elpiji 3 kg pakai mobil mewah, saya enggak layani. Gas 3 kg kan untuk masyarakat miskin. Kalau ketahuan agen, saya juga bisa kena sanksi,” katanya.

Sementara untuk penjualan elpiji nonsubsidi, Yulianto mengakui memang sepi sejak beberapa bulan lalu. Selama sepekan ia biasa menjual 320-an tabung elpiji subsidi. Sementara untuk nonsubsidi baru terjual sekitar lima dalam dua pekan.

Baca Juga: Tenang, Pertamina Tak Akan Naikkan Harga Elpiji Subsidi 3 Kilogram

Pengguna Jual Tabung

Salah satu pedagang elpiji eceran di wilayah Banjarsari, Sri Rejeki, justru merasakan adanya migrasi sejak beberapa waktu lalu. Ada pelanggan baru yang tiba-tiba membeli gas melon. Disusul beberapa pelanggan lama yang menjual tabung kosong berukuran 5,5 kg dan 12 kg.

Warga Banjarsari, Solo, itu biasanya menolak membeli tabung elpiji nonsubsidi. Alasannya yakni sulit menjual barang tersebut mengingat mayoritas masyarakat menengah ke bawah menggunakan jenis gas melon.

“Banyak sih yang jual tabung elpiji nonsubsidi, saya tolak ni. Lha saya buat apa. Jualnya juga susah kan, yang pakai sedikit. Mayoritas yang pakai hanya pengusaha,” katanya.

Baca Juga: Elpiji 12 Kg Naik Rp24.000, Penjual Bakso di Klaten Tak Naikkan Harga



Dikutip dari antaranews.com, Jumat (4/3/2022), Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengintruksikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memantau potensi migrasi penggunaan elpiji. Migrasi besar-besaran dikhawatirkan bisa menyebabkan kelangkaan. Namun, Dinas ESDM Provinsi Jateng mengklaim hingga Jumat (4/3/2022) siang belum ditemukan indikasi migrasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya