SOLOPOS.COM - Agus, 30, penjual bakso keliling di Bantul menunjukan kompor berbahan bakar minyak tanah yang ia gunakan untuk membuat bakso, Jumat (17/5). Sejak dua minggu ini, ia berhenti menggunakan bahan bakar gas elpiji 3kg lantaran langka dan harganya naik. Foto JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani

Agus, 30, penjual bakso keliling di Bantul menunjukan kompor berbahan bakar minyak tanah yang ia gunakan untuk membuat bakso, Jumat (17/5). Sejak dua minggu ini, ia berhenti menggunakan bahan bakar gas elpiji 3kg lantaran langka dan harganya naik.
Foto JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani

Kelangkaan pasokan gas elpiji 3 kg di Bantul sejak sebulan terakhir mulai merepotkan para pedagang bakso keliling di wilayah ini. Tak sedikit kalangan rakyat jelata itu kini beralih menggunakan minyak tanah dan arang kayu lantaran sulitnya mendapatkan elpiji bersubsidi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sudah sebulan ini Agus, 30, pedagang bakso keliling pusing mencari gas elpiji 3 kg di Bantul. Tiga kali sudah ia pulang dengan tangan hampa lantaran tak ada satu pun agen, pangkalan atau pengecer yang masih menjual gas elpiji bersubsidi tersebut. Kalaupun berhasil menemukan, ia harus sabar berkeliling dari satu pengecer ke pengecer lain atau dari satu agen ke agen lain. Biasanya Agus mendapatkan gas yang tersisa dari warung-warung kecil di pelosok Kota Bantul.

Tak hanya langka, harga per tabung gas elpiji 3 kg juga naik. “Biasanya lima belas ribu rupiah sekarang sudah enam belas ribu sampai tujuh belas ribu rupiah. Sudah barangnya mahal langka lagi. Kalau mahal tapi ada masih mending,” tuturnya ditemui Jumat (17/5).

Agus akhirnya pasrah. Dua minggu lalu ia berhenti menggunakan elpiji dan beralih menggunakan minyak tanah. Risikonya, biaya produksi jualan bakso menjadi lebih mahal. Bila satu tabung gas elpiji cukup untuk kebutuhan selama enam hari, maka dengan minyak tanah seharga Rp12.000 per liter hanya cukup untuk dua hari.

“Mau bagaimana lagi daripada nggak bisa berjualan. Soalnya kalau harus berkeliling sampai jauh ke Kota untuk mencari gas saya nggak ada waktu. Jam sepuluh harus sudah berjualan. Kalau minyak tanah meski mahal tapi barangnya ada,” katanya.

Beralihnya penggunaan bahan bakar jelas membebani biaya produksi dan mengurangi pendapatan pria yang sudah delapan tahun berjualan bakso tersebut. Bila sehari ia biasa membawa pulang keuntungan bersih sebesar Rp70.000-Rp80.000 kini rata-rata hanya Rp55.000.
“Sekarang lima puluh lima ribu rupiah saja sudah syukur,” ujar Agus. Padahal menurutnya ia sudah mengurangi porsi bakso per mangkok untuk menekan biaya produksi, namun tetap saja tak seimbang dengan tingginya biaya yang tersedot untuk membeli bahan bakar.

Agus tak sendiri, sepengetahuanya tujuh orang rekanya sesama pedagang bakso keliling kini telah meninggalkan gas elpiji dan beralih menggunakan bahan bakar arang kayu. Meski biaya produksi naik, pedagang dilema bila hendak menaikan harga jual. Khawatir pembeli semakin berkurang. Saat ini bakso jualan Agus dibanderol rata-rata Rp5.500 per mangkok.

Siti, pedagang mie ayam di perempatan Ghose Bantul juga mengeluhkan sulitnya mencari gas elpiji 3 kg. “Maunya pemerintah itu bagaimana. Dulu waktu pakai minyak disuruh pindah pakai gas. Sekarang sudah pakai gas malah gasnya nggak ada,” keluh Siti.

Siti tak ada pilihan selain bertahan menggunakan elpiji meski ia harus berkeliling jauh demi mendapatkan barang yang dicari.

“Karena mau pindah pakai kayu bakar juga mahal. Satu ikat kecil kayu bakar sudah tiga ribu lima ratus. Minyak tanah dan arang juga mahal,” imbuhnya.

Ia berharap ada perhatian pemerintah terhadap nasib rakyat jelata seperti dirinya, Agus dan ratusan hingga ribuan pedagang kecil lainya yang menggantungkan hidup pada bahan bakar bersubsidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya