SOLOPOS.COM - Ilustrasi Gunung Merapi (JIBI/Dok)

Elang Jawa di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) rendah dalam perkembangbiakannya

Harianjogja.com, SLEMAN – Populasi Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi) yang berada di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terancam punah. Stres pada burung menjadi salahsatu faktor dominan yang memicu rendahnya perkembangbiakan pemangsa di Lereng Merapi itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) Edy Sutiarso menjelaskan, hingga 2016, inventarisasi Elang Jawa di lereng Merapi terpantau dengan jumlah enam ekor.

Pemantauan itu dilakukan mulai dari Plawangan, Turgo, ke arah Kemalang, Klaten hingga kawasan Srumbung Magelang. Ia mengakui, jika populasi Elang Jawa di area TNGM dalam status terancam punah. Memang bukan perkara mudah untuk membuat pemangsa ini rajin bertelur dan menetas.

“Saat ini ada enam ekor, ini boleh dikatakan terancam punah kan Elang Jawa,” terangnya, Minggu (27/3/2016).

Jumlah enam ekor itu sebenarnya masih lumayan. Karena pada Nopember 2015 lalu, sempat hanya tersisa tiga ekor saja yang berdiam di TNGM. Faktor yang mempengaruhi rendahnya reproduksi Elang Jawa, lanjutnya, antara lain adanya tingkat stres.

Minimnya populasi burung ini membuat banyak pihak termasuk penghobi ingin melakukan pengamatan. Hal ini bisa mempengaruhi Elang Jawa untuk berpindah ke tempat yang lebih tinggi atau melakukan pergeseran sementara dengan meninggalkan sangkar. Prediksi ini jelas berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan burung untuk berkembangbiak.

“Maka ketika kami melakukan pengamatan, itu sangat ekstra hati-hati. Agar tidak diketahui burung tersebut,” ujarnya.

Selain itu, hukum alam rupanya mempengaruhi perkembangbiakan. Menurut Edy, sebagian besar pemangsa tak terkecuali Elang Jawa, tingkat keberhasilan berkembangbiaknya sangat rendah. Itu menjadi alasan mendasar dikaitkan dengan alam, karena jika burung pemangsa berkembangbiaknya cepat maka akan berpotensi memusnahkan spesies non pemangsa lainnya.

“Kalau elang secara umum tidak setiap tahun bisa bertelur, kadang satu itu saja tidak bisa menetas, kesulitan itu. Karena predator kalau berbiaknya cepat nanti yang lain habis,” tegasnya.

Dari enam ekor Elang Jawa yang masih ada, rata-rata umurnya diperkirakan baru sekitar lima tahun. Bahkan ada juga yang tergolong anakan. Elang Jawa bisa hidup di alam antara 25 hingga 30 tahun.

Burung-burung ini biasanya terpantau pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB saat mencari makan. Siang harinya bertengger dan sore hari biasanya keluar untuk berkeliling di area tinggalnya.

Untuk mempertahankan populasi keenam ekor Elang Jawa itu, pihaknya mengupayakan keamanan di sekitar lokasi. Terutama dari incaran pemburu serta memberi rasa nyaman bagi burung tersebut.

Pemantauan lebih detail seperti dengan menempelkan microchip pada tubuh Elang, pihaknya belum bisa melaksanakan. Oleh sebab itu, belum didapatkan data secara detail jumlah enam ekor tersebut, tiga ekornya merupakan murni dari hasil kembangbiak atau pergeseran dari tempat lain.

Dengan kondisi yang hampir punah, ucap dia, sangat rawan jika dilakukan penangkapan terhadap Elang untuk dipasang alat pemantau. Kurun 2013 silam Gubernur DIY Sri Sultan HB X sempat melepas satu ekor Elang Jawa yang sudah dipasangi microchip di TNGM.

“Saat ini, kami belum ada program untuk menangkap lalu memasang microchip karena itu perlu perawatan ekstra hati-hati memasangnya. Karena harus menangkap, menjaring, untuk melakukan pengamatan saja juga blm bisa secara intensif. Lha kalau dipasangi jaring ditangkap nanti stres,” kata Edy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya