SOLOPOS.COM - Tahok Pak Citro Pasar Gede Solo. (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Solopos.com, SOLO – Kruyuk kruyuk kruyuk, suara perut saya pagi ini, Sabtu (10/4/2021) riuh berdendang meminta diisi makanan. Setelah bersiap-siap, saya dan Adhika Ali berangkat ke Pasar Gede Solo untuk berburu kuliner.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menurut berbagai informasi yang kami dapatkan, Pasar Gede merupakan surganya kuliner tradisional yang legendaris dan tentu saja lezat. Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit dari penginapan, saya bertemu dengan rekan tim Ekspedisi KRL Solo-Jogja dari Solopos Group, Dhika di depan Pasar Gede Solo. Kami pun berkeliling sejenak mencari kuliner lezat untuk sarapan.

Akhirnya, kami memutuskan mencicipi seporsi nasi liwet yang lapak penjualnya berada di bagian belakang pasar buah. Nasi Liwet Bu Sri namanya. Warung Nasi Liwet Bu Sri ini ada sejak 1978. Kini, usaha kuliner tersebut dilanjutkan oleh anak Bu Sri yang menjadi generasi kedua.

Baca juga: Aneka Kuliner Pasar Gede Solo…

Nasi liwet Bu Sri di pasar Gede Solo. (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Lapak nasi liwet ini berada di emperan pasar buah persis di tangga menuju ke lantai II pasar yang kini menjadi tempat berjualan aneka kuliner kekinian seperti dimsum, roti bakar, hingga cofee shop. Sayangnya saat kami ke sana pusat kuliner itu belum buka, karena masih terlalu pagi.

Monggo, mbak. Nasi liwetnya mau pakai lauk apa?” tanya si penjual nasi liwet yang juga bernama Bu Sri kepada saya.

Nasi Liwet

Saya pun memesan nasi liwet komplit tanpa tambahan topping. Seporsi nasi liwet yang harganya cuma Rp10.000 ini berisi nasi gurih, sambal goreng labu siam, telur rebus, areh santan, telur pindang, dan suwiran ayam.

Cita rasa nasi dan ayam yang gurih berpadu dengan sambal goreng labu siam yang manis menghasilkan kombinasi rasa yang sempurna. Bagi kalian penyuka sambal bisa meminta tambahan cabai rawit rebus yang dimasak bersama sambal goreng labu siam seperti yang saya sarankan kepada salah satu pelanggan asal Jakarta ketika meminta sambal.

“Kalau nasi liwet ini enggak menyediakan sambal, mas. Kalau mau pedas pakai cabai rawit rebus di dalam sambal goreng itu,” kata saya kepada pelanggan tersebut.

Baca juga: Ekspedisi KRL Solo-Jogja : Mengulik Legenda Bandung Bondowoso di Balik Eksotisme Candi Sewu

Pria yang datang bersama teman wanitanya itu baru kali pertama mencicipi nasi liwet. Menurut dia rasa nasi liwet khas Solo enak, hanya saja kurang pedas.

“Enak sih, cuma kurang pedas saja. Rasanya cenderung gurih manis, ciri khasnya begini ya?” tanya dia.

“Kalau nasi liwet memang enggak pakai sambal, mas. Nyeplus cabai rawit di dalam sambal goreng saja. Tapi karena sudah direbus mungkin pedasnya berkurang,” jelas Bu Sri.

Lapak Nasi Liwet Bu Sri ini buka mulai pukul 06.00 WIB sampai siang. Kalau masih pagi, Bu Sri berjualan di pinggiran pasar buah. Tetapi mulai pukul 10.00 WIB dia akan berpindah ke warungnya yang terletak di lantai II pasar buah.

Baca juga: 5 Kuliner Kambing Lezat Khas Solo, Nyam Nyam Nyam…

Tahok

Setelah menyantap nasi liwet, kami melanjutkan perburuan kuliner lezat di Pasar Gede Solo dengan mencicipi tahok. Hayo siapa yang tahu tahok itu makanan apa?

Saya sendiri awalnya enggak paham apa itu tahok, sampai akhirnya melipir ke gerobak pedagang tahok di depan pasar buah Pasar Gede.

Jika dilihat sekilas, tahok yang terbuat dari sari kedelai ini bentuk dan teksturnya seperti puding. Rasanya hambar karena memang tidak diberi bumbu apapun. Namun dibubuhi pandan agar aromanya lebih wangi.

Baca juga: Ekspedisi KRL Solo-Jogja : Berbagi Kasih nan Romantis di KRL Solo-Jogja

Tahok itu disantap dengan air jahe yang diberi gula merah. Tekstur tahok yang lembut dan hangat ditambah air jahe memberikan rasa yang lezat dan sangat cocok untuk sarapan.

Pagi itu dagangan Pak Sentot, satu-satunya penjual tahok di Pasar Gede Solo cukup laris. Kami datang ke lapaknya sekitar pukul 07.30 WIB. Beruntung kami masih dapat mencicipi tahok buatan Pak Citro.

“Tahok ini buatannya Pak Citro, kami gantian jualan di sini sejak pukul 06.00 WIB sampai habis, biasanya sekitar jam 08.00 WIB sudah habis,” kata Pak Sentot.

Pak Sentot sudah membantu Pak Citro berjualan tahok selama 20 tahun. Sementara Pak Citro sendiri sudah sekitar 40 tahun menjajakan tahok.

Baca juga: KCI Luncurkan KMT KRL Edisi Solo, Ada Gambar Mangkunegaran dan Tugu Pemandengan Hlo

Tahok merupakan makanan tradisional khas masyarakat Tionghoa yang menetap di kawasan pecinan Kota Solo. Jadi, sebenarnya kudapan yang satu ini bisa ditemukan di tempat lain, khususnya yang memiliki kawasan pecinan seperti Semarang dan Singkawang di Kalimantan Barat.

Kalau di Semarang, kampung halaman ibu saya, masyarakat setempat menyebut tahok dengan sebutan wedang tahu. Tetapi kalau di Singkawang, Kalimantan Barat, kota kelahiran teman spesial saya, tahok biasa disebut dengan istilah bubur tahu. Di sana tahok disajikan dengan dua macam kuah, yakni air jahe atau air tahu.

Meski namanya berbeda, bahan pembuatan tahok tetaplah sama, yakni sari pati kedelai yang dicampur tepung. Tahok Pak Citro Pasar Gede Solo yang sudah masyhur dibuat dengan resep rahasia. Saya cukup beruntung karena Pak Sentot mau berbagi sedikit rahasia dapurnya.

Proses pembuatan tahok dimulai dengan merendam biji kedelai dengan air panas kurang lebih 30 menit. Kemudian kedelai itu dikosek atau dikupas untuk menghilangkan kulitnya. Setelah itu kedelai digiling dengan gilingan manual dari batu.

“Setelah itu disaring, diambil airnya dan direbus sampai mendidih. Nah biar menggumpal dikasih tepung maizena sedikit saja,” tutur Pak Sentot.

Tahok Pak Citro Pasar Gede Solo. (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Takaran tepung maizena yang dipakai harus pas agar adonan yang dihasilkan sempurna. Kalau terlalu sedikit akan lembek, tapi kalau kebanyakan pasti akan kenyal.

Kelembutan tahok yang diberi kuah air jahe menciptakan rasa lezat yang lumer di mulut. Ini adalah pengalaman pertama kami mencicipi tahok di Pasar Gede Solo. Saya sih sering ke sini, tapi selalu kehabisan karena hanya ada dua penjual tahok di sana yang sama-sama laris. Harga seporsi tahok sangat terjangkau, cukup Rp8.000 saja. Murah kan?

Setelah mencicipi tahok, tim Ekspedisi KRL Solo-Jogja yang digelar Solopos bersama PT KAI Commuter, Badan Otorita Borobudur (BOB), dan Perum Perumnas mengeksplorasi aneka kuliner tradisional lain di dalam Pasar Gede Solo.



Baca juga: Di Jogja, Ada Bule Prancis Jual Bakpia Paris

Es Dawet Telasih

Pilihan kami kali ini jatuh ke kios Es Dawet Telasih Bu Dermi yang legendaris. Konon, es dawet ini sudah ada sejak tahun 1930. Wajar saja kalau jadi langganan banyak orang, termasuk Presiden Joko Widodo dan beberapa pejabat lainnya.

Lokasi kios Es Dawet Bu Dermi berada di deretan stand kuliner, tepatnya di sisi utara bangunan dalam Pasar Gede. Nah daripada bingung dan celingukan, saya kasih tahu ya…

Berjalanlah lurus ke dalam dari pintu masuk Pasar Gede. Jangan lupa tengok kanan-kiri, kalau sudah tiba di tengah setelah penjual buah, tepat di sisi kiri ada deretan penjual lenjongan. Berbeloklah ke kiri, kemudian lurus mentok sampai ujung melewati aneka penjual makanan seperti nasi sayur, pecel, sambal pecel, kolang-kaling, rebung, hingga ayam potong.

Baca juga: 5 Keuntungan Tinggal di Solo, Kota Paling Nyaman di Indonesia 

Jangan meleng, pastikan pandangan mata tetap fokus. Biasalah ya, kaum wanita seperti saya ini biasanya senang lirik sana-sini kalau berada di dalam pasar. Lorong pasar ini tidak terlalu lebar, jadi kalian harus bersabar dan berbagi jalan dengan pengunjung lain.

Sesekali ucapkan kata permisi atau nuwun sewu kepada pengunjung yang sedang berbelanja dan berdiri di depan salah satu lapak. Kearifan lokal yang seperti ini menjadi pengalaman berkesan bagi kami di sepanjang perjalanan.

Es dawet telasih Bu Dermi Pasar Gede. (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Nah kios Es Dawet Bu Dermi ini berada di sisi kiri, persis di depan lapak penjual kolang-kaling. Saat kami tiba di sana, mbak-mbak penjual yang saya lupa namanya sedang sibuk memeras santan dari kelapa untuk menyiapkan pesanan beberapa pembeli yang sudah mengantre.

Saya pun bertanya kepada bapak-bapak asal Ibu Kota, Jakarta, yang duduk di kios es dawet itu dengan membawa dua termos mini. Dia sengaja membeli es dawet dari Solo untuk oleh-oleh keluarga di rumah.



“Istri saya orang sini, mbak. Kebetulan saya ada pekerjaan di Solo dan ini nanti mau pulang, jadi mampir beli dawet di sini. Sudah langganan sih kalau ke Solo pasti mampir ke sini,” katanya.

Baca juga: Ekspedisi KRL Solo-Jogja : Asyiknya Belanja Rewo-Rewo & Nonton Atraksi Pande Besi di Pasar Gawok

Seporsi es dawet ini berisi cendol dawet dari tepung beras, bubur sumsum, bubur ketan hitam, sirup gula pasir, biji telasih, tape ketan, serta disiram kuah santan. Semuanya terbuat dari bahan alami tanpa pengawet. Bahkan santannya pun tidak direbus, alias fresh langsung diperas di tempat dengan air matang.

Jadi saat ada orang yang hendak membungkus es dawet, si penjual akan memisahkan isian dawet dengan santan. Santannya dikemas dalam plastik terpisah yang kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik berisi es batu agar lebih tahan lama, mengingat es dawet ini sering dibeli sebagai oleh-oleh. Harga seporsi es dawet di sini Rp10.000 dan tambah Rp1.000 menjadi Rp11.000 jika kalian meminta tambahan tape ketan.

Seperti yang dilakukan salah satu pembeli asal Semarang dan Pati, Jawa Tengah. Mas-mas dari Semarang itu diajak mampir oleh rekannya dari Pati yang bernama Pak Widi untuk mencicipi kesegaran Es Dawet Bu Dermi.

Saya kaget sewaktu tahu Pak Widi membungkus 10 porsi es dawet telasih itu sembari menyantap dua mangkuk bersama saya. “Bungkus 10 porsi buat siapa pak, banyak banget? Memang sudah langganan di sini?” tanya saya kepo.

Baca juga: Kisah Mbah Pang, Penunggu Pasar Tunggul Sragen Berambut Gimbal 2 Meter

Pak Widi pun mengatakan sengaja membeli es dawet sebagai oleh-oleh untuk rekan sejawatnya. Es Dawet Telasih Bu Dermi menjadi kuliner wajib disantap saat dia bertandang ke Solo. Kami berbincang panjang lebar soal aneka kuliner lezat di Solo sembari menyeruput es dawet. Sebagai putri pinggiran Solo, saya pun memberikan beberapa kuliner lezat yang wajib dicicipi.

Setelah pesanan siap, Pak Widi pun berpamitan kepada saya. Saat membayar, dia juga mentraktir saya dan Dhika. Dia juga berjanji mengajak kami jalan-jalan ke Pati suatu saat nanti. Terima kasih Pak Widi, semoga lain waktu kita berjumpa lagi.



Kios es dawet ini tidak begitu besar, luasnya sekitar 2×2 meter saja, namun ramainya luar biasa. Bertemu dengan banyak orang dari luar kota di pasar tradisional terbesar di Kota Solo ini menjadi pengalaman paling berkesan.

Baca juga: Dulu Keliling Di Pasar, Ini Alasan Warung Sambal Tumpang Bu Wardi Sragen Buka Tengah Malam

Host tim Ekspedisi KRL Solo-Jogja Solopos Group, Chelin Indra Sushmita, di depan Pasar Gede Solo, Sabtu (10/4/2021). (Solopos TV/Adhika Ali)

Pasar Kekinian

Pasar rupanya bukan hanya sebagai tempat jual beli saja. Tetapi juga ruang publik, pusat pertukaran informasi, serta pertukaran budaya. Pasar tradisional pun jauh dari kata kumuh karena sudah ditata dan dipercantik sedemikian rupa.

Akses ke Pasar Gede yang terletak di jantung Kota Solo juga sangat mudah. Kalian bisa menumpang angkutan umum seperti bus Batik Solo Trans maupun angkot kecil dari Stasiun Balapan maupun Stasiun Purwosari. Yuk segera agendakan jalan-jalan ke Pasar Gede untuk berburu kuliner lezat.

Setelah kenyang jajan di Pasar Gede, kami masih akan meneruskan Ekspedisi KRL Solo-Jogja ini. Nah, masih penasaran dengan keseruan perjalanan kami selepas kulineran di Pasar Gede? Ikuti terus update perjalanan Ekspedisi KRL Solo-Jogja di Solopos.com.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya