SOLOPOS.COM - Mbah Sukardi (kiri) pande besi tertua di Pasar Gawok bersama anaknya, Budi menunjukkan keahlian menempa besi bekas. (Solopos.com/Chelin Indra Sushmita).

Solopos.com, SUKOHARJO -- Perjalanan Tim Ekspedisi KRL Solo-Jogja, Chelin Indra Sushmita dan Adhika Ali, siang ini berlanjut ke Gawok, Sukoharjo, Jawa Tengah. Setelah puas berkeliling ke Candi Sewu di Prambanan, Klaten, kami melanjutkan ekspedisi naik KRL dari Stasiun Delanggu ke Stasiun Gawok.

Promosi Siap Mengakselerasi Talenta Muda, Pegadaian Lantik Pengurus BUMN Muda Pegadaian

Waktu perjalanan yang kami tempuh cukup singkat, sekitar lima menit saja. Di sepanjang jalan kami menikmati pemandangan areal persawahan yang berada di sisi rel. Tak terasa KRL pun berhenti di Stasiun Gawok, salah satu stasiun kecil yang lokasinya berada di Desa Luwang, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Stasiun ini biasanya hanya dilalui kereta api, tidak menjadi tempat pemberhentian. Namun, sejak 10 Februari 2021 lalu, Stasiun Gawok menjadi salah satu tempat pemberhentian KRL Solo-Jogja.

Baca juga: Ekspedisi KRL Solo-Jogja : KRL Gairahkan Wisata dan Buka Pintu Bisnis Baru Kawasan Delanggu

Stasiun Gawok pun berbenah menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. renovasi besar-besaran dilakuukan mulai dari pintu masuk sampai kawasan parkir. Aktivitas di area stasiun pun terlihat semakin bergeliat dengan lalu lalang sejumlah penumpang KRL.

Dari Stasiun Gawok, Ekspedisi KRL Solo-Jogja yang digelar Solopos bersama  PT KAI CommuterBadan Otorita Borobudur (BOB), dan Perum Perumnas  melanjutkan perjalanan ke Pasar Gawok.

Perekonomian warga di sekitar Pasar Gawok kian berkembang berkat adanya KRL Solo-Jogja yang menumbuhkan pusat bisnis baru. Pasar tradisional yang memiliki keunikan tersendiri dan menjadi surganya belanja bagi masyarakat di kawasan Sukoharjo hingga Klaten.

pasar gawok
Pasar Gawok di Gatak Sukoharjo. (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Pasar Gawok yang sempat tutup selama dua bulan akibat pandemi Covid-19 kini bergeliat kembali meski menurut beberapa pedagang tidak seramai biasanya. Salah satu pedagang peralatan dapur yang kami temui, Wasinem, 70, menyebut pengunjung pasar yang hanya buka setiap pasaran Pon dan Legi itu cenderung menurun dan memengaruhi pendapatannya.

Baca juga: Ekspedisi KRL Solo-Jogja : Serunya Mengeksplorasi Keindahan Candi Prambanan hingga Candi Sewu

Meski demikian, wanita tua asal Delanggu, Klaten, itu pun tetap mensyukuri berapapun rezeki yang diperoleh karena sempat menganggur saat pasar ditutup.

Sakniki [sekarang] alhamdulillah saget [bisa] buka, mbak. Sakderenge kula namung tura-turu ten ngomah [Sebelumnya saya cuma tidur-tiduran di rumah], pasar ditutup amargi [karena] Covid. Sakniki pun buka melih [lagi], tapi nggih sepi. Disyukuri mawon, rezeki saking Gusti Allah,” katanya sembari menata barang dagangan.

Wasinem menjual aneka peralatan dapur mulai dari pisau, tampah, caping, talenan, centong kayu, parut, hingga cobek dengan harga terjangkau, mulai Rp5.000-an. Berdagang di Pasar Gawok adalah pekerjaan utamanya sejak 1973 lalu. Dia adalah salah satu saksi perputaran roda ekonomi di Pasar Gawok yang eksistensinya masih terjaga sampai sekarang.

Pande Besi

Selain pedagang peralatan dapur, ciri khas lain dari Pasar Gawok adalah keberadaan para pande besi yang membuka lapak dengan konsep ala open kitchen. Mereka yang berjumlah belasan orang itu menempati los di sisi barat Pasar Gawok.

Atraksi mereka menempa besi bekas dan mengubahnya menjadi aneka bentuk perkakas yang berguna menjadi daya tarik bagi pengunjung. Siang ini kami beruntung bisa bertemu dengan salah satu pande besi legendaris di Pasar Gawok yang akrab disapa Mbah Sukardi.

Baca juga: Cerita Warga Solo Kaget Rasakan Gempa 10 Detik hingga Berhamburan Keluar Mal

Pria asal Delanggu, Klaten, itu telah berdagang di Pasar Gawok sejak 1985. Meski usianya sudah tak lagi muda, tangannya yang berurat masih sangat lincah dan kuat menempa besi bekas. Dibantu oleh anak sulungnya, Budi, Mbah Sukardi dengan lincah menempa besi panas sampai berubah bentuk sesuai yang diinginkan.

“Bapak saya di sini sudah lama, mungkin sejak 1985. Bapak menjadi pande besi pertama yang berdagang di Pasar Gawok ini,” kata Budi.

Keahlian Mbah Sukardi menempa besi diwariskan oleh ayahnya. Kebetulan desa tempat tinggalnya merupakan sentra pande besi di Klaten.

“Dulu bapak saya juga pande besi. Makanya ilmunya diwariskan ke saya. Mungkin saya ini ada keturunan empu,” kata Mbah Sukardi sambil terkekeh.

Baca juga: Jadwal Imsak Muhammadiyah & Kemenag Beda, Gus Yasin Bilang Begini

Keahlian menyulap besi bekas menjadi perkakas yang berguna itu kini diturunkan kepada anaknya, Budi. Siang itu kami melihat mereka bekerja sama menempa besi bekas tersebut untuk membuat linggis.

“Karena keturunan empu makanya dibilang pande. Mungkin maksudnya pandai ya. Pandai memanfaatkan besi bekas, jadinya disebut pande besi,” kelakar Budi.

Bakul Rewo-Rewo

Perjalanan kami lanjutkan mengitari area pasar yang ternyata sangat komplet.



Bukan hanya pande besi dan bakul perkakas, ada juga bakul rewo-rewo atau aneka baju serta celana kolor, sayuran, bibit tanaman, makanan ringan, jajanan kekinian, sarapan pagi, hewan ternak, burung, jam tangan dan aksesori, racun tikus, hingga bakul yang menyediakan jasa pengisian MP3 lewat ponsel maupun USB.

pasar gawok

Salah satu bakul rewo-rewo di Pasar Gawok menawarkan dagangannya. (Solopos/Chelin Indra Sushmita).Anda cukup membayar Rp5.000 untuk 75 lagu atau Rp10.000 untuk 200 lagu format MP3, MP4, maupun AVI. Ada juga pedagang masker, remote control TV, aneka peralatan elektronik, hingga handphone.

Pasar Gawok buka setiap pasaran Pon dan Legi mulai pukul 07.00 WIB hingga 15.00 WIB. Area pasar ini mulai padat sekitar pukul 09.00 WIB dan akan ramai pengunjung saat hari Minggu Pon. Para pengunjung biasanya datang bersama keluarga untuk sekadar jalan-jalan atau membeli kebutuhan sehari-hari yang diperlukan.

“Tadi saya datang ke sini sengaja jalan-jalan sama istri. Saya memang sudah biasa ke Pasar Gawok. Barangnya komplet, harganya pun murah meriah. Bawa uang Rp100.000 sudah pasti cukup untuk belanja banyak barang termasuk njajan (makan). Pokoknya harganya lebih murah dibandingkan pasar lainnya, harga obral semua,” terang salah satu pengunjung, Slamet, asal Grogol, Sukoharjo.

Kuliner Pasar Gawok

Blusukan kami di Pasar Gawok diakhiri dengan santap siang di warung sate kambing Bu Dewi di tengah Pasar Gawok. Bukan cuma rica-rica tengkleng, warung yang cukup ramai didatangi pengunjung ini menyediakan olahan kambing lainnya, yakni gulai, satai, dan tongseng.

Siang ini kami mencicipi kuliner rica-rica tengkleng dan sate kambing yang menggoyang lidah. Perpaduan aneka rempah yang sempurna mampu menghilangkan aroma prengus daging kambing yang khas.

pasar gawok
Rica tengkleng di Pasar Gawok. (Solopos-Chelin Indra Sushmita)

Rasa dagingnya pun cukup empuk dengan perpaduan cita rasa manis dari kecap, gurih santan, serta pedas dari lada dan cabai. Seporsi rica-rica tengkleng plus nasi dan minum berupa es teh kampul di sini cukup dibayar dengan mahar Rp25.000. Murah bukan?

Pasar Gawok ini bisa dibilang menjadi surganya wisata belanja di kawasan Sukoharjo. Perlu diketahui semua wisata yang berada di Jateng-DIY berada di wilayah koordinatif Badan Otorita Borobudur (BOB).

Setelah berkeliling ke Pasar Gawok, kami melanjutkan Ekspedisi KRL Solo-Jogja ke Stasiun Purwosari untuk selanjutnya menikmati kuliner malam di Kota Solo, Jawa Tengah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya