SOLOPOS.COM - AM Hendropriyono (Dok. Bisnis Indonesia)

AM Hendropriyono (Dok/JIBI/Harian Jogja)

JAKARTA–Kasus LP Cebongan, Sleman yang melibatkan 11 anggota Kopassus dinilai akibat bisunya hukum. Sehingga, terbunuhnya Sertu Heri Santoso oleh para preman mengakibatkan senjata yang bicara.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Premanisme di Jogja yang merajalela ini membuktikan hukum bisu. Hukum tidak bisa menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya legalitas tapi sudah tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak mempunyai daya rekatnya, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi,” kata mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono saat berbincang dengan detikcom, Senin (8/4/2013).

Ekspedisi Mudik 2024

Di mata pendiri sekolah intelijen itu, hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Oleh sebab itu, apabila hukum tidak bisa melindungi rakyatnya maka senjata yang akan bicara.

“Makanya secara hukum mereka salah, tapi secara moral mereka baik. Kalau perlu mereka dapat bintang mahaputra,” papar Kepala BIN 2001-2004 ini.

Oleh sebab itu, Alumni Akmil 1967 ini meminta masyarakat memahami kasus ini secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Selain itu, Hendro juga meminta masyarakat menyeret-nyeret pimpinan Kopassus dalam perkara tersebut.

“Apa yang dilakukan prajurit-prajurit Kopassus ini di Cebongan, kalau secara moral dia adalah prajurit yang baik, tapi secara hukum dia salah. Seandainya dia harus dihukum, dia tetap seorang prajurit yang baik. Kalau perlu dikasih bintang jasa itu sama masyarakat. Hukum bicara yang benar dan yang salah. Moral bicara yang baik dan yang jelek. Hukumnya bisu, makanya senjata saja yang bunyi,” pungkas Hendro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya