SOLOPOS.COM - Ilustrasi uang tunai rupiah. (Nurul Hidayat/JIBI/Bisnis)

Lesunya dunia usaha dirasakan di semua daerah

Harianjogja.com, JOGJA-Lesunya dunia usaha dirasakan di semua daerah, terutama di sektor padat karya dengan komoditas ekspor yang diproduksi. Kendati demikian, tahun ini optimistis, sejalan dengan membaiknya negara utama tujuan ekspor maka dunia usaha diharapkan membaik.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kuartal IV 2017 secara nasional dunia usaha mengalami kelesuan. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) DIY, Hermelin Yusuf mengatakan kelesuan itu terjadi di hampir semua daerah.

“Di semua daerah merasakan kondisi tersebut, terutama di sektor padat karya,” ujar Hermelin kepada Harianjogja.com, Senin (12/2/2018).

Hermelin mengatakan tantangan yang dihadapi dunia usaha tidak hanya dari lesunya perekonomian. Sejumlah faktor juga turut kian memberatkan dunia usaha. Antara lain kenaikan upah minimum karyawan yang tidak sama antara daerah yang satu dengan yang lain, sehingga kondisi tersebut membuat bertambahnya biaya yang dikeluarkan.

Di samping itu, kata Hermelin, turunnya margin keuntungan yang diperoleh pelaku usaha. Salah satunya berasal dari potensi ekspor. “Sekarang untuk ekspor banyak persyaratan yang harus ditempuh, sehingga membuat keuntungan berkurang,” imbuh Hermelin.

Sektor usaha yang cukup terasa dampaknya yakni industri garmen. Hermelin menambahkan potensi-potensi komoditas ekspor banyak disumbang dari industri ini.

Di DIY, kata Hermelin, sektor-sektor produksi barang ekspor yang cukup terasa. Selain garmen, ada juga sarung tangan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dinilai masih bisa bertahan dengan kondisi yang ada saat ini.

“Kondisi ini suatu keprihatinan. Karena jangan sampai perusahaan kolaps dan berujung pada pemberhentian karyawan. Ini yang tidak diharapkan,” ungkap Hermelin.

Lebih lanjut Hermelin memaparkan para pengusaha saat ini tengah berupaya mengencangkan ikat pinggang. Artinya, upaya melakukan efisiensi biaya produksi dilakukan agar keberlangsungan usaha tetap terjamin. Misalnya dengan efisiensi bahan baku dan memaksimalkan bahan baku yang ada dengan lebih optimal.

“Namun, memang langkah efisiensi yang ekstrem adalah pemutusan hubungan kerja. Jika memang ini sampai harus terjadi, berarti ini adalah upaya yang harus ditempuh untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan,” papar Hermelin.

Sementara itu, Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia (KPw BI) DIY, Budi Hanoto mengungkapkan berdasarkan hasil survei Liaison, pada Triwulan I 2018, untuk industri pengolahan dengan pangsa pasar domestik secara optimis akan ada perbaikan kondisi usaha. Optimisme tersebut sejalan dengan mulai terjaganya daya beli konsumen di beberapa daerah.

“Secara keseluruhan pada 2018, pelaku usaha optimis untuk melakukan peningkatan usahanya,” ungkap Budi.

Sedangkan untuk industri pengolahan dengan pangsa pasar ekspor, kata Budi, beberapa kontak optimis meningkatkan penjualan sejalan dengan perbaikan ekonomi di negara tujuan ekspor. Terutama untuk pasar Eropa dan Amerika.

“Optimisme pelaku usaha tersebut dtunjukkan terutama pada industri mebel yang merupakan salah satu komoditas unggulan DIY,” jelas Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya